ArsipKomnas HAM Harus Bentuk KPP-HAM, Bukan Tim Penyelidikan untuk Pemantauan

Komnas HAM Harus Bentuk KPP-HAM, Bukan Tim Penyelidikan untuk Pemantauan

Kamis 2015-01-08 23:57:30

JAKARTA, SUARAPAPUA.com — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) diminta membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP-HAM), dengan basis Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, bukan justru membentuk tim penyelidikan biasa dengan basis UU 39/1999 tentang HAM.

“Komnas HAM harus mendengarkan tuntutan unsur-unsur masyarakat, baik di tingkat nasional mapun di Papua, yang menghendaki pembentukan KPP-HAM Paniai, bukan justru membentuk tim penyelidik seperti hasil sidang paripurna tadi malam,” ujar Zelly Ariane, aktivis #PapuaItuKita, dalam siaran pers yang dikirim kepada suarapapua.com, Kamis (8/1/2015) siang.

 

Menurut Zelly, para tokoh agama, budayawan, akademisi, aktivis HAM, juga masyarakat dari Koalisi Masyarakat Sipil Papua, Dewan Adat Daerah Paniai, dan Sinode Kingmi Paniai, telah jelas-jelas menghendaki segera dibentuknya KPP-HAM. (Baca: Komnas HAM RI Resmi Bentuk Tim Penyelidikan Pelanggaran HAM di Paniai).

 

“Dalam pleno 7 Januari 2015, Komnas HAM telah merekomendasikan pembentukan tim penyelidikan berdasarkan UU HAM 39/1999, penyelidikan berdasarkan UU tersebut adalah penyelidikan pemeriksaan dalam rangka pemantauan saja.”

 

“Sementara yang kita butuhkan adalah penyelidikan pro justisia yang bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya suatu tindak pidana pelanggaran HAM yang berat,” ujar Zelly.

 

Padahal, lanjut Zelly, Komnas HAM sudah mendapatkan kesimpulan adanya pelanggaran HAM dalam kesimpulan sementara yang dikeluarkan pada 22 Desember 2014 lalu.

 

“Sehingga penyelidikan seharusnya bisa meningkat ke pro justisia berdasarkan UU No.mor 26/2000. Kedua penyelidikan ini memang penyelidikan terkait pelanggaran HAM, tetapi pelanggaran HAM dalam kedua penyelidikan ini memiliki makna yang berbeda.”

 

“Pelanggaran HAM dalam penyelidikan pro Justitia berarti tindak pidana yang mempunyai sanksi pidana, sedangkan dalam penyelidikan pemeriksaan pelanggaran HAM berarti pelanggaran prinsip-prinsi HAM, makanya kami dengan tegas menolaknya,” ujar Zelly.

 

Marten Goo, salah satu aktivis HAM di Jakarta mengungkapkan, hasil pleno Komnas HAM belum secara tegas dan bulat menyatakan akan membentuk KPP HAM sesuai tuntutan seluruh masyarakat Paniai, dan masyarakat sipil yang sedang berada di Jakarta. .

 

“Kami minta Komnas HAM tidak ragu mengambil keputusan untuk membentuk KPP-HAM dengan basis UU 26/2000, bukan dengan basis UU 39/1999,” tegas Goo. (Baca: Ini Nama-nama Anggota Tim Penyelidikan Pelanggaran HAM Paniai).

 

Menurut Goo, mestinya unsur-unsur pelanggaran HAM berat telah dapat disimpulkan terjadi pada kasus penembakan di Paniai, 8 Desember 2014, saat tim Komnas HAM pertama kali turun.

 

“Segera membentuk KPP HAM (Tim Ad hoc) Paniai berdasarkan mandat UU Nomor 26 tahun 2000 untuk penyelidikan Pro Justisia yang diatur dalam pasal 18 ayat (2), dengan unsur-unsur independen dari masyarakat,” tegasnya.

 

Goo juga meminta dalam prosesnya, dapat melibatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan perlindungan dan perawatan pada saksi dan korban yang memerlukan, mencegah intimidasi pada saksi dan penghilangan barang bukti.

 

“Komnas HAM perlu ingat, bahwa konteks sejarah pelanggaran HAM di Papua, mayoritas pelaku adalah anggota lembaga pertahanan dan keamanan negara (TNI) atau kepolisian negara (Polri),” kata Goo.

 

Dalam berbagai laporan, menurut Goo, Komnas HAM sendiri telah menarik kesimpulan bahwa aparat keamanan negara bertanggung jawab atas peristiwa kekerasan di Abepura 7 Desember 2000, Wasior 2001 dan Wamena 1 April 2003.

 

Kasus besar lainnya, seperti Operasi Pembebasan Sandera di Mapnduma tahun 1996, Biak Berdarah tahun 1998 atau Pembubaran Kongres Papua III tahun 2011, hingga tidak pernah diusut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

 

“Inilah saatnya Komnas HAM membuktikan sebagai lembaga Negara yang perjuangkan HAM, tanpa keberanian menggugat impunitas TNI-Polri, selamanya Hak Azasi Manusia Indonesia, apalagi Papua, akan terus dikebiri.”

 

“Kita tidak boleh biarkan, kita tidak boleh menyerah, keadilan harus ditegakkan,” tegas Goo.

 

Baca: #PANIAIBERDARAH

 

OKTOVIANUS POGAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

Sebanyak 127 Peserta Memulai Program Pelatihan di Institut Pertambangan Nemangkawi

0
"Program ini dirancang untuk memberikan siswa pengalaman praktis yang mendalam dan keterampilan teknis yang dibutuhkan untuk sukses dalam industri pertambangan," kata IPN General Superintendent Suzan Kambuaya selaku Penanggung Jawab Program.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.