Oleh: Andy Tagihuma*
*)Pengasuh rubrik Jendela Papua di SP
Angin Pasifik membelai Jayapura, sejuk. Di pinggir tungku ini Jalikoe mengalun, membelah hutan yang tersisa di kaki bukit ini.
Hutan seluas 200 meter persegi menjadi tempat yang nyaman bagi beberapa jenis kupu-kupu, ular, kadal, belalang dan beberapa serangga lainnya, termasuk lima jenis nyamuk dan tentu saja tikus tanah.
Mereka sering manjadi tamu, yang bertandang tanpa di undang. Biarlah mereka menikmati dunianya yang tersisa tanpa merasa terganggu.
Ketika Jalikoe mengalun ada kegelisahan, dan dorongan yang selalu membangkitkan semangat dan keberanian untuk pergi berburu, sayangnya yang tersisa hanya tikus tanah, babi hutan yang telah menyingkir jauh.
Jalikoe merupakan syair tua dari distrik Maprik yang di kenal juga dengan nama “Kominibus” di pedalaman Provinsi Sepik Timur Papua New Guinea.
Sambil mempersiapkan peralatan berburu, Jalikoe di nyanyikan, bagai mantra ia memberi kepercayaan, semangat dan keberanian untuk berburu dalam hutan – hujan tropis. Di Papua lagu Jalikoe mungkin mirip Huembello, bahasa Moi Klabra, Sorong Selatan.
Tahun 1978, versi asli lagu Jalikoe dinyanyikan oleh gurp band Sangguma dengan menggunakan alat-alat musik tradisional Papua Nieuw Guinea.
Sanguma lahir di sekolah seni PNG tahun 1977, di prakarsai oleh Ric Halstead, dosen di sekolah tersebut.
Mereka memadukan alat musik tradisional dengan instrumen Barat. Personil Sangguma berjumlah tujuh orang dengan dua kreatornya Tony Subam (East Sepik Province) dan Sebastian Miyoni (Milne Bay Province).
Sangguma juga tercatat sebagai grub band pertama PNG yang tampil di festival internasional seperti Festival Art Pasifik Selatan tahun 1980.
Black Brothers kembali mengaransmen Jalikoe dibawah lebel EMI Records Holland B.V tahun 1982, dan menjadi hits dan dilaporkan sempat mencapai tempat ketiga di Eropa disco grafik.
Sebelum ke Belanda, antara tahun 1979 – 1980, Black Brothers bermukim di Papuan Nieuw Guinea dan tercatat sebagai salah satu grup musik yang punya andil dalam perkembangan musik moderen di Papua Nieuw Guinea.
Begitulah penggalan tentang si syair tua Jalikoe, tamu-tamu “drakula” semakin banyak dan semakin pekat sementara api telah mengecil.