ArsipMenggapai Kampung Moso di Batas Negara

Menggapai Kampung Moso di Batas Negara

Jumat 2013-03-01 14:57:15

Laporan : Julian Howay*

PAPUAN, Feature — Meski masuk dalam wilayah Kota Jayapura, Kampung Moso terkesan tertinggal. Pelayanan pendidikan dan kesehatan masih menjadi masalah klasik.

Peristiwa masa lalu yang kelam membuat warga aslinya terus hidup di bawah kungkungan militer.

Sekitar pukul 08.00 pagi, Sabtu 10 November 2012 tahun lalu, puluhan ibu-ibu sudah berkumpul di depan ruko, Lingkaran Abepura Jayapura (Papua). Mereka kelihatan bersemangat. Ada yang bercengkerama sambil mengunyah sirih pinang.

Para ibu ini berdiri bergerombol sambil memegang tas dan noken masing-masing. Ada yang berdiri terpisah. Semuanya berpakaian rapi seperti hendak beribadah. Beberapa orang mengenakan baju seragam batik khas Papua dengan warna latar kuning.

Di samping mereka, tersusun beberapa karton air mineral dan karton lain yang berisi barang bawaan. Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, dua bus telah terparkir. Di dalamnya sudah dipenuhi para penumpang yang umumnya kaum ibu.

Setelah menunggu beberapa menit, kedua bus itu lalu bertolak menuju tempat tujuan. Kebetulah, saya pagi itu berada di tempat yang sama setelah mengunjungi SMPN 2 Abepura, berjarak 100 meter dari Lingkaran Abepura.

Beruntung, saya berpapasan dengan mama Herlina Manufandu yang pagi itu tampak bersemangat mengkoordinir rombongan kaum ibu ini. Karena sudah saling kenal, mama Manufandu yang tidak lain koordinator Persekutuan Wanita (PW) GKI tingkat Klasis Jayapura, merangkap koordinator PW GKI Harapan Abepura, lantas mengajak saya bergabung dalam rombongan.

Saya tidak menolak dan segera menuju kios terdekat membeli sebotol air mineral dan sebungkus biskuat sebagai bekal perjalanan.

Dari mama Manufandu, saya bisa tahu bahwa rombongan ini berasal dari PW GKI Harapan Abepura, sebuah jemaat tertua di Jayapura. Mereka hendak mengikuti ibadah gabungan sekaligus pelayanan kasih yang dilakukan kaum ibu yang tergabung dalam PW GKI se-Klasis Jayapura di Kampung Moso. Sebuah kampung kecil di Distrik Muara Tami yang berjarak puluhan kilometre dari Kota Jayapura.

Setelah menunggu beberapa menit, dua bus yang mengangkut rombongan pertama kemudian berangkat. Saya dan mama Herlina yang ikut dalam rombongan terakhir masih harus menunggu bus jemputan lain yang sedang mengisi bahan bakar solar.

Selepas menunggu hingga hampir satu jam, bus yang ditunggu tiba. Beberapa ibu yang tadinya jemu menuggu langsung berserobot masuk. Kursi terisi penuh, barang bawaan telah dinaikan. Sopir menghidupkan mesin dan bus pun bertolak.

Perjalanan rombongan terakhir PW GKI Harapan Abepura ini dimulai pukul 09.15 WIT. Sementara rombongan PW lain dari sejumlah jemaat di wilayah Klasis Jayapura sudah lebih awal berangkat menuju Moso.

Ada sekitar 200-an anggota PW yang mengikuti ibadah gabungan ini. “Jumlah itu melewati perkiraan awal yang hanya 100 orang,” ujar mama Herlina dengan wajah bersemangat.

Bus yang kami tumpangi sempat singgah beberapa menit di Kampung Nafri untuk mengecek anggota PW di kampung ini. Mereka hendak ke Moso namun belum mendapat kendaraan tumpangan.

Mama Herlina sempat memberi tambahan beberapa lembar uang rupiah untuk membiayai kendaraan yang akan ditumpangi para anggota PW di kampung yang hanya berjarak lima kilo meter dari Abepura. Selepas itu bus kembali melanjutkan perjalanan.

Perjalanan

Matahari baru mulai muncul untuk memancarkan sinarnya saat kami bertolak dari Kampung Nafri. Kabut pagi masih tampak bergerombol di atas puncak pepohonan yang bertebaran di perbukitan. Udara pagi yang dihempas kecepatan bus terasa menyejukan saat menampar wajah kami para penumpang.

Di luar bus terpampang panorama alam yang memikat mata. Perbukitan dan lembah yang dipenuhi untaian aneka pepohonan dan hamparan rerumputan yang luas.

Saat bus menanjak di ketinggian perbukitan yang mencapai 100 meter dari permukaan laut, di sebelah barat terbentang pemandangan Telok Teluk Yotefa dan Kota Jayapura nan eksotis. Sempat terlihat seonggokan tanjung kecil yang menjorok ke teluk, berpapasan dengan Kampung Engros dan tanjung Tobati yang diapit pulau bersejarah Metu Debi. Pemandangan Teluk Humbold (Teluk Yos Sudarso) di Kota Jayapura pun terlihat samar-samar dari kejauhan.

Sementara di sebelah timur, terbentang pemandangan Teluk Holte Camp dengan hamparan pepohonan yang tampak laksana tebaran permadani hijau. Pepohanan ini sambung-menyambung hingga ke wilayah negara tetangga Papua New Guinea (PNG).

Dari jauh terlihat kawasan pertanian yang subur di daerah Koya dan Skouw. Selepas dari posisi ketinggian itu, mata kami juga terlena oleh pemandangan rumah-rumah perkampungan tradisional yang dikelilingi deretan kebun warga. Sesekali ada warga yang melintas atau berdiri di tepi jalan.

Dalam perjalanan menuju Moso, bus melewati kawasan pertanian yang subur dan pemukiman warga transmigran yang modern di Koya dan Skow. Bus selanjutnya berbelok ke arah timur.

Selama perjalanan, kami telah melalui beberapa jembatan yang air sungainya selalu berwarna keruh. Jalan yang kami lalui pun tak mulus. Sesekali ada jalan tak beraspal. Kami juga melewati beberapa pos TNI dengan personil berseragam loreng yang selalu berjaga-jaga dengan senjata M16 dan SS1 di tangan.

Bus yang kami tumpangi sempat berhenti di pos TNI yang di papan namanya tertulis: Pos Moso 408/SBH, Pos 09 Moso. Mama Herlina Manufandu turun sebentar. Sebagai ketua tim, ia melaporkan perjalanan kami kepada 4 orang anggota TNI yang sedang berjaga-jaga, sekaligus menitipkan KTP.

Kami juga melewati dua pos TNI dengan jarak yang berbeda. Untuk menuju Kampung Moso, bus harus melewati jalan bergelombang dengan gumpalan tanah becek sejauh 4 kilo meter.

Setelah menempuh perjalanan selama 2 jam lebih, kami akhirnya tiba di Kampung Moso pada pukul 11.13 siang. Sopir lalu memarkir bus di tepi jalan bersama puluhan kendaraan lain yang sudah lebih awal tiba.

Rombongan merasa lega selepas menempuh perjalanan dari Kota Jayapura. Sayangnya, rombongan kami sudah terlambat. Ibadah gabungan di gereja kecil yang dituju: Jemaat GKI Betlehem Kampung Moso, sudah dimulai beberapa menit lalu.

Tapi keterlambatan itu tak mengurangi antusiasme rombongan kami saat tiba di Kampung Moso yang masih terisolasi oleh jarak dan pembangunan. Apalagi untuk sampai di lokasi kampung, kami harus melewati jembatan gantung sepanjang belasan meter dengan lebar 2 meter lebih. Hhhhmmm….,ini memang pengalaman yang sangat mengesankan!

Potret Kampung

Letak geografis Kampung Moso memang unik. Diberi nama ‘Moso’ karena kampung ini berada di seberang kali Moso yang airnya selalu berwarna keruh dan sesekali dijumpai buaya. Bagi mereka yang belum pernah berjalan di jembatan gantung setinggi belasan meter di atas sungai, melintasi jembatan gantung di kali Moso bakal membuat nyali menciut.

Walau begitu, jembatan gantung yang dibangun atas prakarsa masyarakat dengan dukungan anggaran PNPM Mandiri Respek tahun 2011 ini tergolong kokoh.

Jembatan ini telah menjadi penghubung utama bagi warga Kampung Moso. Memang ada jalan darat yang memutar. Tapi medannya cukup rumit. Kampung Moso terbentuk sekitar tahun 2000 silam. Memiliki jumlah penduduk sekitar 188 jiwa dan 42 kepala keluarga. Dihuni sekitar 90 persen warga asli.

Kampung ini berada di Distrik Muara Tami. Letaknya sangat strategis karena berada paling dekat dengan batas negara RI-Papua New Guinea (PNG) di timur. Karenanya hampir semua penduduk aslinya fasih berbahasa Inggris Pidjin (tok pidjin), bahasa resmi PNG.

Orang Moso punya hubungan kekerabatan dengan penduduk asli yang bermukim di sekitar daerah perbatasan yang masuk dalam wilayah PNG. Faktor kekerabatan inilah yang menyebabkan orang Moso sering keluar masuk melintasi batas negara mengunjungi sanak keluarga mereka di negara tetangga PNG.

Tak heran mereka fasih berbicara dalam 3 bahasa: bahasa asli Moso, Inggris Pidjin dan bahasa Melayu (Indonesia). Kampung Moso juga dihuni sekitar 10 persen warga pendatang dari daerah lain.

Ada orang Papua asal pesisir, pegunungan dan beberapa warga non Papua. “Anggota polisi dan TNI yang menjaga perbatasan juga sering tinggal di sini,” kata seorang pria Papua anggota TNI yang berpakaian preman saat berbincang-bincang dengan saya.

Dengan begitu, kesan adanya dominasi aparat keamanan memang sangat terasa di kampung ini. Kondisi ini tentu terkait dengan sejarah kelam Kampung Moso di masa lalu.

Sekitar 1960-an hingga 1980-an, Kampung Moso termasuk ‘zona gerilya’ para pasukan gerilyawan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kala itu disebut anggota separatis Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) oleh Pemerintah RI. Konon, peristiwa politik masa silam itu telah merenggut banyak nyawa orang Moso.

Makannya warga aslinya selalu bersikap was-was terhadap orang luar yang datang dan belum dikenal. Mereka cukup sensitif. Kisah itu kini masih membekas kuat dalam ingatan kalangan generasi tuanya dan terus diceritakan ke generasi mereka.

Semenjak terbentuk belasan tahun silam, ada pembangunan bagi masyarakat asli di kampung ini. Misalnya pada 2003 telah dibangun beberapa rumah layak huni bagi warga. Pemerintah juga memberi bantuan fasilitas penerangan solar cell yang terpasang di tiap rumah warga dan sebagai penerangan jalan kampung.

Hanya sayangnya, lantaran persoalan ekonomi dan kurangnya pemahaman telah membuat beberapa warga terpaksa menjual fasilitas bantuan itu ke wilayah PNG.

Pada tahun 2004 telah dibangun tambahan 30 unit rumah layak huni melalui program Tentara Masuk Desa (TMD). Sedangkan di bidang pendidikan, pada 2006 dirintis pembangunan sekolah dasar (SD) di kampung ini. Sebab untuk bersekolah, anak-anak Moso sebelumnya harus ke Ibukota Distrik Muara Tami yang jaraknya cukup jauh. Sejak Juli 2012, keberadaan bangunan SD itu dijadikan sekolah satu atap untuk menampung siswa jenjang SD dan SMP.

Sudah begitu, proses belajar mengajar tetap disesuaikan dengan jumlah ruangan yang terbatas. Bangunan sekolah tersebut sepintas terlihat masih berdinding papan dan berlantai semen. Beberapa rumah guru juga dibangun berdampingan dengan sekolah. Saat ini bangunan yang berdiri diatas tanah berawa ini selalu tergenang air saat turun hujan.

Di sekolah satu atap ini pun, murid SD yang terdiri dari kelas satu hingga kelas enam hanya berjumlah 37 orang. “Siswa kelas satu dan dua digabung dalam satu ruang karena ruangan terbatas,” ungkap Alfaris Tarisai, kepala sekolah satu atap Kampung Moso saat berkesempatan berbincang-bincang mengenai kondisi sekolahnya.

Menurut dia, untuk jenjang SMP siswa hanya bisa menempuh pelajaran hingga kelas VII. Padahal, idealnya harus sampai kelas IX. Siswa kelas VII ini diberi satu ruang tersendiri dengan jumlah murid hanya 8 orang.

Yang menjadi keluhan kata dia, aktivitas pendidikan di sekolah ini belum berjalan efektif. Murid sering tidak masuk sekolah karena mengikuti orang tuanya berpergian selama berhari hari. Sudah begitu, jumlah guru di sekolah ini masih sangat terbatas.

Hanya ada 3 orang guru aktif. Para guru yang aktif melaksanakan tugas rangkap: mengajar murid SD dan SMP sekaligus. Menurut Tarisai, pihaknya telah berupaya memperjuangkan masalah ini ke Dinas Pendidikan Kota Jayapura. Namun belum ditanggapi.

Untuk menangani masalah ketidakhadiran siswa di sekolah, dirintis pembangunan asrama. Tujuannya agar murid bisa mengikuti proses pendidikan dengan baik. Tidak hanya itu, melalui pola hidup berasrama pula, para siswa nantinya bisa dididik menjadi pribadi yang mandiri, disiplin dan taat aturan.

Kini selain persoalan masih kurangnya sarana pendidikan dan tenaga pengajar, masalah lainnya yang masih membelit warga asli di Kampung Moso adalah pelayanan kesehatan di kampung ini belum berjalan efektif.

Ada Puskesmas Pembantu (Pustu), tapi petugasnya tidak menetap karena lebih tertarik hidup di Kota. Terpaksa urusan kesehatan biasanya ditangani langsung oleh tim klinik berjalan (mobile clinic) dari Puskesmas Muara Tami. Keterasingan pembangunan inilah yang menjadi perhatian rombonfan PWI GKI se-Klasis Jayapura untuk berkunjung melakukan pelayanan kasih di Kampung Moso.

Saat kunjungan, rombongan juga melibatkan tim medis dari Puskesmas Tami. Rombongan telah memberi bantuan dana, bahan pangan dan barang layak pakai bagi warga dan pelayan jemaat di kampung ini. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.