ArsipJurnalis Profesional, Bertanggungjawab Terhadap Profesinya

Jurnalis Profesional, Bertanggungjawab Terhadap Profesinya

Jumat 2013-02-15 08:59:45

Sebelum membahas lebih jauh tentang pengertian profesionalisme, profesionalisme jurnalis, serta konsekuensi-konsekuensi atas jurnalis profesional, saya mengajak kita melihat sebuah “kesalahan” yang dilakukan  Bill Kovach, mantan pemimpin redaksi Atlanta Journal-Constitution, dan salah satu penulis buku “Sembilan Elemen Jurnalis”.

Kovach pernah menulis esei tentang Charles Longstreet Weltner dalam buku Profiles in Courage for Our Time, suntingan Caroline Kennedy, putri almarhum Kennedy. Welter anggota Konggres asal negara bagian Georgia, yang terkenal berani.

Dalam esei itu, Kovach menulis bagaimana Weltner memilih mundur dari Konggres pada 1966 karena Lester Maddox, dicalonkan partainya dalam kampanye pemilihan gubernur Georgia. Maddox seorang pendukung segregasi atau seorang rasialis. Weltner melawan partainya sendiri, mengambil risiko dikucilkan, karena Weltner percaya bahwa tiap warga punya hak sama. Kulit putih maupun hitam. Weltner pun kehilangan karir politiknya.

Repotnya, sesudah mundur, Weltner punya kehidupan yang kacau. Dia cerai dari istrinya, suka mabuk, naik sepeda motor besar, dan bergaya macam anak muda. Kovach juga menerangkan bahwa pada periode ini Weltner menikah dengan istri keduanya. Pernikahan hanya bertahan lima bulan. Kovach tak menyebut nama istri kedua itu tapi pernikahan tersebut berakhir dengan perceraian juga. Belakangan Weltner menikah dengan istri ketiga. Weltner lantas jadi hakim agung dan meninggal pada 1992.

Sesudah buku terbit, Kovach menerima sebuah bungkusan besar, dari mantan istri kedua Weltner. Isinya, berupa fotokopi surat, dokumen, foto, dan sebuah surat panjang. Dalam surat ini, si istri mengatakan Kovach keliru dan telah menghancurkan hidupnya hanya dengan tiga kalimat tersebut. Memang Kovach tak menyebut nama tapi banyak orang tahu siapa mantan istri kedua Weltner. Si mantan istri mengatakan dua tahun itu termasuk periode hidupnya yang paling bahagia. Mereka hidup bahagia. Bahkan sesudah cerai pun, mereka masih sering berkomunikasi.

Apakah Kovach salah? Ya! Dampak dari eseinya telah menghancurkan hidup mantan istri kedua Weltner. Secara tak langsung, sebenarnya juga telah menghancurkan reputasi Kovach sebagai wartawan yang dihormati oleh kebanyakan jurnalis di Amerika Serikat.

Pertanyaannya, kenapa Kovach tidak melakukan riset yang lebih mendalam tentang esei yang akan ia tulis, apalagi menyangkut kehidupan pribadi – walaupun Waltener telah meninggal – agar tak menimbulkan masalah di kemudian hari?

Dari contoh diatas, sedikit memberikan pemahaman kepada kita, bagaimana seorang jurnalis harus bekerja 6M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi) secara profesional. Jika tidak, dampak negatif yang ditimbulkan jauh lebih berbahaya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1994), profésionalisme ialah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang sewajarnya terdapat pada atau dilakukan oleh seorang professional.

Sedangkan, menurut Longman (1987), profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualiti dari seseorang yang profesional.

Kalau begitu, apa pengertian profesionalisme jurnalis setelah melihat beberapa penjelasan diatas? Apakah lama atau cepatnya menjadi jurnalis? Atau justru dengan bekerja di sebuah perusahaan media mapan – semacam Kompas, Tempo, Media Indonesia, atau kalau di Papua di Cenderawasih Pos – seseorang langsung dapat predikat jurnalis profesional?

Seorang Boaz Salosa – striker andalan tim Persipura Jayapura – telah menunjukan dirinya sebagai pemain sepak bola yang profesional. Ukurannya, menjadi pencetak gol terbanyak di ajang Indonesia Super League di tahun 2010, dan membawa tim mutiara hitam – julukan untuk Persipura Jayapura – menjuarai ajang tersebut.

Untuk menjadi seorang pemain sepak bola profesional macam Boaz, tentu harus berlatih keras sejak kecil. Harus disiplin. Mampu mengikuti arahan pelatih, termasuk memahami aturan-aturan dalam persepakbolaan nasional, serta tunduk pada kebijakan manajemen klub yang menggaji profesionalitasnya.

Apakah menjadi pemain sepak bola seperti Boaz susah? Jawabannya tentu tidak, tapi bisa iya. Arti lainnya, susah-susah gampang. Lantas, bagaimana menjadi seorang jurnalis yang profesional?

Seorang jurnalis bisa menyandang “gelar” profesional jika ia mampu memahami apa tugas dan tanggung jawab, serta bagaimana ia harus menjalankan profesi tersebut secara baik dan benar.

Ada dua gagasan utama yang ingin saya kemukakan di bawah ini, terkait bagaimana seorang jurnalis yang profesional :

Pertama, ia harus memahami standar-standar jurnalistik yang baku ditempat (negara) dimana ia tinggal. Mustahil, seseorang bisa menjadi jurnalis profesional jika ia tak tahu cara meliput sebuah peristiwa dengan baik dan benar sesuai standar-standar jurnalistik yang ada di wilayah tersebut.

Di samping itu, ia juga harus memilki kemampuan untuk melakukan wawancara (interview) terhadap seorang narasumber yang akan dijadikan topik sebuah tulisan (berita). Dan termasuk, mampu mengerti tugas dan tanggung jawab sebagai corong informasi bagi publik.

Kedua, ia harus memahami kode etik jurnalistik secara menyeluruh. Seperti seorang pemain sepak bola memahami aturan dalam pertandingan sepak bola , seorang jurnalis juga harus memahami kode etik jurnalistik atau rambu-rambu yang mengikat dirinya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab.

Seorang jurnalis juga harus memahami, bahwa kode etik jurnalistik dibuat supaya dapat menuntun dirinya agar tak melakukan kesalahan yang pasti membuat banyak pihak akan dirugikan – terutama masyarakat umum, termasuk di perusahaan media tempat ia bekerja. Kode etik jurnalistik bisa di katakan sebagai “buku saku” bagi para jurnalis yang menjalankan kerja-kerja jurnalistik.

Kemudian, apa konsekuesni-konsekuensi – entah negatif atau positif – yang dihadapi seorang jurnalis profesional? Jika seorang jurnalis benar-benar memahami konsekuensi-konsekuensi tersebut, tentu ia dapat bekerja dengan baik dan benar, serta mampu mempertanggung jawabkan profesinya di depan publik.

Bagaimana jika ia tak memahami konsekuens-konsekuensi yang akan terjadi dengan status dirinya yang sebagai seorang jurnalis profesional?

Contoh Kovach diatas, apakah ia dikategorikan sebagai jurnalis yang tak memahami konsekuensi-konsekuensi dari pekerjaannya? Jawabannya tidak, wartawan senior macam Kovach tentu memahami semua itu, namun perlu di pahami juga, wartawan bukan malaikat, tentu ada salah dan kelalaian.

Membayar kesalahan tersebut tentu dengan meminta maaf, dan bila perlu melakukan klarifikasi terbuka di media massa. Dalam kasus Kovach, ia telah berjanji kepada mantan istri kedua Waltner, bahwa akan melakukan interview dikali berikutnya, dan menulis bentuk klarifikasi agar dibaca oleh publik.

Saya sendiri tak tau, apakah Kovach telah melakukannya, sebab peristiwa diatas terjadi di tahun 2010 lalu saat ia akan melakukan perjalanannya ke Indonesia untuk meluncurkan buku karya dia bersama Tom Rosentiel yang diterbitkan di tahun 2001.

Nah, kembali lagi, jika seorang jurnalis tak memahami konsekuensi-konsekuensi yang dihasilkan, ia bukannya saja merusak citra dirinya, namun juga merusak citra perusahaan media dimana tempat ia bekerja, termasuk di organisasi wartawan tempat dia di bina.

Profesionalisme jurnalis tak bisa diukur dari berapa lama ia menjadi wartawan, juga dimedia mana ia bekerja, namun memahami dan menyelesaikan tanggung jawabnya untuk menulis, meliput, dan bahkan mempublikasikan secara baik, dan tentu tak merugikan siapapun.

Jurnalis profesional harus bertanggung jawab terhadap profesinya; profesi sebagai jurnalis yang adalah amanah masyarakat di sekitarnya.

Selain itu, seorang jurnalis professional juga harus memahami secara baik dan benar kode etik jurnalistik, Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, serta patuh dan taat pada organisasi wartawan dimana tempat ia bergabung. Selain itu, ia juga pernah dinyatakan lolos dari sebuah uji kompetensi yang diadakan oleh sebuah lembaga atau organisasi pers tertentu.

Kalau begitu, sudahkah anda menjadi jurnalis yang profesional? Dan, sudahkah anda bertanggung jawab terhadap profesi mulia yang dipercayakan oleh publik? Semoga iya!

*Penulis kelolah portal berita http://10.8.1.24/suarapapualama, artikel ini menjadi salah satu tugas saat mengikuti Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) yang di selenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), di Hotel Numbay, Jayapura, sejak tanggal 8-10 Februari 2013.

 

Oleh : Oktovianus Pogau*

Terkini

Populer Minggu Ini:

Literasi di Papua Sangat Rendah, 30 Persen Anak Belum Bisa...

0
"Pemahaman literasi yang baik adalah fondasi penting dalam pendidikan. Pendidikan yang baik dan layak adalah kunci untuk masa depan yang lebih berkualitas bagi anak-anak dan masyarakat Papua," ujar Marthen S Sambo.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.