Gerakan “All Eyes on Papua” Viral, Perjuangan Kembalikan Tanah Adat!

0
455
Poster kampanye “All Eyes on Papua”. (Ist)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Menyusul gerakan “All Eyes on Rafah” yang digemakan warganet seluruh dunia, belakangan ada pula gerakan “All Eyes on Papua”. Aksi itu tidak kalah gencar di media sosial.

Poster bertuliskan. “All Eyes on Papua” beredar di media sosial X beberapa hari terakhir. Poster itu bernada sama dengan upaya masyarakat global yang menyuarakan penderitaan warga Palestina yang tengah dibombardir serangan Israel di Rafah.

Adapun arti “All Eyes on Papua” dalam bahasa Indonesia berarti “semua mata tertuju pada Papua”. Maksudnya, masyarakat peduli dengan apa yang tengah terjadi di Papua.

Gerakan ini dilatarbelakangi isu soal hutan Papua yang akan dibabat untuk dijadikan perkebunan sawit. Lahan yang bakal dibabat pun tidak main-main, luasnya mencapai separuh Jakarta.

Tak hanya gerakan di sosial media, masyarakat adat Papua pun tengah memperjuangkan hak mereka atas tanah adat. Suku Awyu dan suku Moi pun sampai menggelar aksi di Jakarta pada Senin (27/5/2024) pekan lalu. Mereka sembari mengenakan pakaian adat menggelar aksi damai untuk mengaspirasikan penolakan.

ads
Baca Juga:  DPD KNPI Tambrauw Gelar Rapat Pleno Satu untuk Kemajuan Pemuda

“Di tempat kami itu ada terancam oleh perusahaan atau investasi perkebunan kelapa sawit. Ini pelanggaran HAM. Kami ini korban pelanggaran HAM. Ini hak kami hak mutlak,” kata masyarakat Adat Awyu, Hendrikus Woro, dalam aksinya di Jakarta, dikutip dari video @wespeakup.org di Tiktok.

Aksi damai masyarakat adat Papua di depan gedung Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia dilakukan usai gugatan mereka di pengadilan tingkat pertama dan kedua gagal. Gugatan kini masuk ke tahap Kasasi, sebagai harapan terakhir masyarakat adat Papua dalam mempertahankan hutan adat mereka.

Adapun masyarakat adat Papua menolak rencana pembabatan hutan seluas 36 ribu hektar. Itu karena hutan adat adalah sumber penghidupan utama bagi masyarakat adat.

Baca Juga:  MRP Papua Pegunungan Apresiasi Masyarakat Adat Mulai Olah Tanah

Gerakan pun telah dilakukan melalui laman petisi di change.org yang diinisiasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat sejak 2 Maret 2024. Petisi itu menyerukan pencabutan izin sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL).

Dukungan tersebut sangat berarti bagi masyarakat adat dalam perjuangannya hingga saat ini. Sebab jika pembabatan terjadi, diprediksi hilangnya hutan Papua akan menghasilkan emisi 25 juta ton CO2.

Menurut Greenpeace, selain kasasi perkara PT IAL, masyarakat suku Awyu juga mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama (KCP) dan PT Megakarya Jaya Raja (MJR). Dua perusahaan sawit itu juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel. Adapun PT KCP dan PT MJR sebelumnya kalah di PTUN Jakarta. Setelah ajukan banding, mereka dimenangkan oleh hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.

Baca Juga:  Lindungi Rakyat Sipil, TNI Polri dan TPNPB Wajib Terapkan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949

“Kalau separuh wilayah Jakarta diratakan, kemudian dibangun perkebunan sawit, pasti langsung jadi berita dan banyak orang menentang. Warga Jakarta pasti menolak pergi. Tapi, kalau terjadi di wilayah timur Indonesia, apalagi di Papua, apakah orang-orang akan peduli?,” demikian Pusaka menulis di petisi itu.

“Di Boven Digoel, hutan seluas 36 ribu hektar, atau lebih dari separuh luas Jakarta, akan dibabat. Dan dibangun perkebunan sawit oleh PT Indo Asiana Lestari,” lanjutnya.

Masyarakat adat marga Woro dan suku Awyu jelas menolak. Hutan adat tempat mereka hidup turun temurun, akan hilang. Begitupun sumber penghidupan, pangan, budaya, dan sumber air mereka.

Didampingi Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, marga Woro dan suku Awyu menggugat izin lingkungan kebun sawit PT IAL. []

Artikel sebelumnyaGenerasi Muda Anim Ha Perlu Membangun Pemahaman Dampak Investasi
Artikel berikutnyaButuh Koordinasi dan Kerja Kolaborasi Untuk Turunkan Angka Stunting