Arsip1 Desember Harus Jadi Momen Melawan Lupa Pelanggaran HAM di Papua

1 Desember Harus Jadi Momen Melawan Lupa Pelanggaran HAM di Papua

Kamis 2014-11-27 18:21:45

MANOKWARI, SUARAPAPUA.com — Kepada semua komponen rakyat Papua agar 1 Desember 2014 dijadikan sebagai momen untuk "Melawan Lupa" atas segenap tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah dilakukan Negara, terhadap rakyat di Bumi Cenderawasih, khususnya Orang Asli Papua (OAP), semenjak tahun 1963.

Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan CH Warinussy, dalam siaran pers yang dikirim kepada redaksi suarapapua.com, Kamis (27/11/2014).

 

Menurut Warinussy, telah ada cukup banyak data tentang berbagai bentuk tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM Berat, sebagaimana telah diatur di dalam pasal 7, pasal 8 dan pasal 9 dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

 

Yang juga diamini dalam konteks implementasinya di Tanah Papua, berdasarkan ketentuan pasal 45 dan pasal 46 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

 

“Penyelesaian berbagai bentuk tindakan pelanggaran HAM Berat, yang diduga telah terjadi semenjak 1 Mei 1963 sudah seharusnya menjadi agenda yang didesak oleh rakyat Papua agar menjadi titik perhatian Presiden Jokowi saat ini, termasuk pemerintah daerah di Tanah Papua,” kata Warinussy.

 

Dikatakan, kasus terbunuhnya mantan Pemimpin Rakyat Papua, Theys Hiyo Eluay, sebenarnya masih menyimpan banyak misteri yang perlu segera diinvetigasi dan diproses hukum kembali. 

 

Demikian halnya juga dengan dugaan pelanggaran HAM Berat berkategori genosida yang terjadi di wilayah Pegunungan Tengah, antara Tahun 1977-1978, sebagaimana dilaporkan oleh Asian Human Rights Commision (AHRC), yang berkedudukan di Bangkok, bekerjasama dengan Human Rights and Peace for Papua yang berkedudukan di Wuppertal-Jerman.

 

Kasus Biak Berdarah 6 Juni 1998, sebagaiman telah dilaporkan oleh Lembaga Studi Advokasi HAM (ELS-HAM) Papua dalam laporannya yang berjudul “Nama Tanpa Pusara, Pusara Tanpa Nama” Juli 1999.

 

“Kiranya laporan tersebut dapat dijadikan sebagai pintu masuk bagi rakyat Papua untuk mendesak upaya penyelesaian menurut hukum,” ujarnya.

 

Selain itu, kasus pembunuhan kilat terhadap 53 warga sipil asli Papua pada tanggal 28 Juli 1969 di markas Batalyon TNI 753 di Arfay-Manokwari, yang diduga berindikasi genosida juga sangat urgen dan mendesak untuk diselesaikan lewat mekanisme hukum sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

 

Sebagai peraih penghargaan Internasional di Bidang HAM "John Humphrey Freedom Award", Warinussy juga mendesak Presiden Amerika Serikat Barack Obama, beserta semua Pemimpin Negara Sahabat Indonesia yang sangat menaruh perhatian pada isu-isu HAM di Dunia seperti Kanada, Australia, Selandia Baru, Inggris, Belanda, Uni Eropa, Swedia, Swiss, Perancis, Jerman, Papua New Guinea (PNG), Vanuatu, Fiji, Solomon Island, Senegal, Afrika Selatan, Singapura, Korea Selatan dan Jepang untuk memberikan perhatian yang serius.

 

“Atas nama Hak Asasi Manusia buat semua bangsa dan penduduk asli di muka bumi ini, dan demi kepentingan hukum orang-orang Asli Papua, saya ingin mendesak para pemimpin dunia tersebut untuk mendukung upaya penyelesaian berbagai pelanggaran HAM di Tanah Papua.”

 

“Juga ikut mendesak Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi untuk memenuhi pernyataan politiknya tentang Papua dalam kampanye Pemilihan Presiden belum lama ini,” tegas Warinussy. 

 

OKTOVIANUS POGAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.