Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

0
160
Seorang mama Papua sedang membeli pinang sama mama non Papua di pasar modern Rufei kota Sorong, Papua Barat Daya, Kamis (18/4/2024). (Maria Baru - Suara Papua)
adv
loading...

SORONG, SUARAPAPUA.com — Ronald Kinho, aktivis muda Sorong, menyebut masyarakat nusantara atau non Papua seperti parasit untuk monopoli sumber rezeki warga pribumi atau orang asli Papua (OAP) mulai dari perebutan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) hingga berjualan bahan lokal seperti pinang.

Ronald Kinho melihat fakta itu hingga kini sedang terjadi di kota Sorong. Khusus kursi DPRD kota Sorong, tahun 2019 diborong non Papua sebanyak 24 kursi, sedangkan Papua hanya enam kursi dari 30 kursi. Berlanjut di tahun 2024, OAP hanya delapan kursi dan non Papua 22 kursi dari 30 kursi DPRD kota Sorong.

Selain kursi DPRD yang didominasi non OAP, lebih miris lagi adalah tertutupnya ruang ekonomi mama-mama pedagang asli Papua. Bahan-bahan lokal Papua seperti pinang, sagu, sayur gedi, dan lainnya di pasar marak dijual pedagang non OAP.

Saat melakukan observasi ke pasar Remu dan pasar modern Rufei kota Sorong, ia mengaku melihat non Papua monopoli perdagangan pinang di pasar dengan meja jual yang cukup besar dan tumpukan pinang, sirih, kapur yang lebih banyak. Sementara OAP hanya meja kecil dengan tumpukan pinang kecil untuk sekedar mencari 100 atau 200 ribu per hari buat mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari.

Baca Juga:  Hasil Temu Perempuan Pembela HAM dan Pejuang Lingkungan Bersama WALHI Nasional

“Amber sudah kuasai kursi DPRD sampe jual juga pinang, daun gatal, sayur pakis. Itu dorang jual tiap hari. Mereka cari hidup memang benar, tetapi semuanya diambil. Kamu seperti parasit monopoli rezeki orang pribumi sama seperti dulu VOC Belanda monopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Itu stop sudah. Semua maunya dorang saja monopoli, baru kita tinggal pasrah. Sampai kita ini kamu bunuh juga hanya pasrah,” tuturnya kepada suarapapua.com, Rabu (24/4/2024).

ads

Kata Ronald, OAP bisa berdagang, tetapi butuh dukungan yang besar seperti modal, lahan, dan lainnya karena OAP tumbuh dari zaman  komunal, kapak dan batu langsung dipaksa ke modern. Berbeda dengan non OAP yang sudah melalui proses peradaban panjang seperti jaman purba, komunal, kesukuan, kerajaan, hingga bernegara.

Kitong OAP dalam hal dagang dan bisnis tidak memiliki kemajuan dan kecakapan seperti non OAP yang punya peradaban secara bertahap. Kalau OAP mengalami fase lompatan kebudayaan dari kebudayaan komunal; kapak batu, langsung ke periode zaman kapitalis, makanya kita butuh adaptasi secara perlahan dengan segala bentuk modernisasi dalam segala sektor kehidupan, salah satunya berdagang. Kita baru mau beradaptasi, amber atau migran dari luar langsung datang rampas semua ruang itu dari kami,” tuturnya.

Baca Juga:  Suku Abun Gelar RDP Siap Bertarung Dalam Pilkada 2024
Salah satu sisi gambaran bagaimana penguasan dagang pinang oleh warga non Papua di kiri dan kanan ruas jalan pasar modern Rufei, Kamis (18/4/2024). Mereka menyewa tempat dan menjual pinang dalam jumlah yang banyak. (Maria Baru – Suara Papua)

Sementara itu, mama Ludifina Watam, yang memulai berjualan di pasar Remu sejak 2007, tak menampik adanya perebutan ruang mama-mama menghidupi keluarganya.

Mama Ludifina menilai peluang berdagang mama-mama Papua telah direbut dan dimatikan oleh para pedagang non Papua.

“Lihat orang Papua jual pinang, sagu, sayur pakis, sayur gedi, daun gatal laris, jadi mereka juga mau jual seperti itu. Mereka cepat melihat peluang itu. Langsung ambil alih. Rebut semua dan mereka matikan pedagang mama-mama Papua. Barang hasil bumi lokal Papua harusnya mama-mama Papua yang jual. Kenapa mereka lagi ikut jual? Itu mereka bunuh kami,” kesal mama Ludifina saat bercerita tentang persaingan di pasar.

Diakuinya, para pedagang non OAP punya modal besar karena mudah akses modal dan beli lahan yang luas, sedangkan OAP hanya berjualan dari hasil kebun kecil saja.

“Kami bawa noken ke kebun. Hasil jualan sebentar beli garam, minyak dan barang untuk bawa pulang ke rumah. Kami makan habis dan besoknya pergi ke kebun lagi. Begitu lagi, begitu terus, jadi uang hasil jualan beli kebutuhan rumah habis. Beda kalo orang seberang buka lahan hektar-hektar. Di dalamnya tanam macam-macam selang seling di dalam kebun. Ya, kitong mau kejar seperti itu tidak dapat. Orang luar itu dari tete nene su lama di pasar, jadi dong paham persaingan dalam berdagang. Dulu orang Papua jual gedi itu cepat laku dengan harga 10 ribu, sekarang orang amber jual lima ribu, tujuh ribu, dan delapan ribu. Itu mereka matikan mama-mama Papua,” cerita mama Ludifina.

Baca Juga:  Berlangsung Mulus Tanpa Masalah, KPU Maybrat Diapresiasi

Sedangkan, mama Rosita Howay menyadari hal itu terjadi karena pemerintah daerah selalu memilih diam dan tidak membuat suatu regulasi untuk melindungi pedagang asli Papua.

Mama Rosita mau para pedagang mama Papua perlu dibentengi dengan regulasi agar orang pribumi jual hasil bumi dan pendatang jual barang-barang modern atau lainnya saja. Dengan begitu tidak lagi ikut matikan pendapatan mama-mama Papua dengan menjual hasil kebun.

Selama pemerintah kota Sorong membiarkan hal itu terus berlanjut, ia prihatin sama nasib mama-mama Papua yang akan kehilangan ruang hidupnya akibat terus dikuasai pedagang nusantara.

“DPRD, Walikota, semua diam-diam saja. Semua penakut dan tidak mau melindungi pedagang asli Papua. Ruang hidup kami dirampas semuanya. Kami bisa tidak berdaya dan mati,” ucap mama Rosita. []

Artikel sebelumnya20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong
Artikel berikutnyaParpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw