ArsipKontraS dan JATAM Kritik Kebijakan Negara Perpanjangan Izin Ekspor Freeport Indonesia

KontraS dan JATAM Kritik Kebijakan Negara Perpanjangan Izin Ekspor Freeport Indonesia

Minggu 2015-02-01 00:58:15

JAKARTA, SUARAPAPUA.com — Komisi Orang Hilang untuk Tindak Kekerasan (KontraS) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai, 100 hari Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, pemerintah justru menunjukkan ketidakberdayaannya berhadapan dengan PT. Freeport Indonesia.

“Pemerintah malah mengeluarkan perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga hingga Juli 2015. Fakta dan bukti sudah cukup menunjukan bahwa tindakan ini telah melawan hukum dan merupakan pelanggaran HAM,” kata aktivis KontraS, Syamsul Munir, dalam siaran pers, yang diterima suarapapua.com, Sabtu (31/1/2015).

 

Menurut Syamsul, pada tanggal 23 Januari 2015 lalu, pemerintah malah mengeluarkan perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga untuk perusahaan tambang ini hingga Juli 2015, padahal terus terjadi sederet pelanggaran HAM.

 

Sederet pelanggaran hukum dan HAM tersebut, yakni, mulai dari penghancuran tatanan adat, perampasan lahan masyarakat lokal, penangkapan sewenang-wenang masyarakat sipil, perusakan lingkungan hidup. (Baca: Menggagas Wilayah Pertambangan Rakyat di Areal PT FI)

 

“Termasuk perusakan sendi-sendi ekonomi sampai pengingkaran atas eksistensi masyarakat suku Amungme, hingga pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan dan setoran illegal uang keamanan kepada aparat Negara sebesar US 5,6 juta dolar,” ujar Syamsul.

 

Sementara itu, aktivis JATAM, Ki Bagus Hadi Kusuma, mengatakan, hingga saat ini limbah tailing Freeport setidaknya telah mencapai lebih dari 1,187 milliar ton yang dibuang ke sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa. (Baca: Enembe: Freeport Tidak Serius Menangani Masalah di Papua)

 

Kata JATAM, longsor besar terakhir bahkan telah merenggut 28 nyawa pekerja sekaligus pada 14 Mei 2013. Hingga akhirnya Komnas HAM telah menetapkan PT. Freepot Indonesia sebagai pelanggar HAM berat dalam kasus tersebut.

 

“Belum lagi ingkar janji (wansprestasi) atas kewajibanya membangun smelter (pabrik peleburan logam) sebelum izin ekspor tersebut habis sejak Desember 2014,” kata Kusuma.

 

Namun kenyataannya, menurut JATAM, hingga izin habis, PT. Freeport Indonesia tidak ada itikad baik untuk membangun smelter tersebut. (Baca: Ini Komentar Tokoh Adat Papua Terkait Perpanjangan Izin Kontrak Freeport Indonesia)

 

Bahkan, saat perpanjangan izin eksport kedua perusahaan itu baru akan memastikan kepada Pemerintah tentang lokasi lahan yang akan digunakan untuk pembangunan smelter, yakni dengan menyewa lahan PT. Petrokimia di Gresik Jawa Timur seluas 80 hektare dalam jangka waktu 20-30 tahun.

 

Kewajiban membangun smelter dan larangan ekspor bahan mentah sebenarnya sudah dikeluarkan pemerintah sejak tahun 2009, melalui UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan berlaku efektif setelah lima tahun sejak keluarnya UU tersebut.

 

“Namun setelah larangan ekspor bahan mentah tersebut berlaku efektif, pemerintah malah memberikan pengecualian kepada pertambangan besar seperti Freeport dan Newmont untuk tetap mengekspor konsentrat tambang dengan beberapa poin renegosiasi kontrak karya. Pemerintahan SBY saat itu melalui Menteri ESDM mengakui, kelonggaran ekspor itu melanggar UU.”

 

“Berdasarkan fakta dan bukti dilapangan, kami mengecam tindakan Pemerintah yang tak berdaya kepada PT. Freeport Indonesia,” kata Kusuma. (Baca: DAD Paniai: PT Freeport Harus Libatkan Masyarakat Adat Pemilik Hak Ulayat).

 

Dalam pernyataan tertulis, JATAM dan KontraS meminta, pertama, pemerintah melalui Kementerian ESDM wajib mencabut Nota kesepakatan terkait perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga untuk perusahaan tambang ini hingga Juli 2015 perpanjangan, karena kebijakan pemberian izin ekspor konsentrat PT. Freeport sejak awal telah jelas-jelas melanggar UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

 

Kedua, mendesak Ketua DPR-RI membentuk pansus atas pelanggaran pemerintah yang tidak konsisten menerapkan pasal 5 UU UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dimana tidak adanya transparansi kepada DPR sebagai lembaga pengawas.

 

Ketiga, PT. Freeport Indonesia harus segera bertanggung jawab atas tindakan pelanggaran hukum dan HAM sejak melakukan penambangan melalui kontrak karya I. Selain itu merealisasikan atas kewajibannya membangun smelter sebagaimana perintah UU No. 4 Tahun 2009. (Baca: Gubernur Papua Ancam Usir Freeport Jika Tetap Bangun Smelter di Gresik).

 

Keempat, kementrian lingkungan hidup dan kehutanan segera melakukan audit lingkungan atas tindakan PT. Freeport Indonesia yang merusak tatanan ekosistem lingkungan hidup. (Baca: Gubernur Papua: Freeport Silakan Angkat Kaki dari Papua!).

 

Kelima, kementrian Tenaga Kerja melakukan investigasi atas pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan yang menimpa buruh PT. Freeport Indonesia selama ini yang terus dihadapkan ketidakpastian atas nasib hak atas pekerjaannya.

 

OKTOVIANUS POGAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.