ArsipSKP HAM Papua Kenang Satu Tahun Paniai Berdarah

SKP HAM Papua Kenang Satu Tahun Paniai Berdarah

Kamis 2015-12-10 08:15:07

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — “Orang Papua tidak boleh diam, sedih apalagi takut atas berbagai tindakan kekerasan yang terjadi selama ini. Kita semua menghendaki agar jangan ada penjajahan, penderitaan dan tetesan darah terus menerus menghiasi Bumi Cenderawasih”.

Demikian ditegaskan Peneas Lokbere, koordinator Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP HAM) Papua seusai ibadah 1 Tahun Tragedi Paniai Berdarah di Enarotali-Paniai, 8 Desember 2014.

Kegiatan ibadah diadakan SKP HAM Papua di aula Santo Yosep, kampus STFT “Fajar Timur”, Padang Bulan, Abepura, Jayapura, Selasa (8/12/2015) pagi.

Peneas mengatakan, “Ketika kita takut, diam sedih yang berkepanjangan, maka hal itu menjadi peluang emas untuk kita terus tertindas di atas tanah sendiri.”

Ia menambahkan, yang menjadi korban bukan saja orang Papua, melainkan juga non Papua. “Maka, jangan diam,” tegasnya.

SKP HAM Papua, kata Lokbere, akan terus kawal kasus Paniai Berdarah. “Sampai kapanpun kami akan mengawal kasus ini sampai terungkap.”

Ibadah bersama dirangkai dengan pemutaran film dokumenter Tragedi Paniai Berdarah, pembacaan puisi tentang kasus pelanggaran HAM di Paniai yang dibawakan salah seorang frater Fransiskan (OFM).

Dilanjutkan drama singkat oleh mahasiswa dan diakhiri dengan diskusi bersama serta jumpa pers.

Beny Mawel, jurnalis Papua mengaku sedih menonton film tragedi Paniai Berdarah.

“Menonton video berdarah ini sangat mengerikan, saya juga teringat kembali kasus-kasus pelanggaran HAM sebelumnya. Saya merasa sedih sekali,” ucap Beny.

Ia menambahkan, “Saya sangat khawatir dengan anak-anak muda sekarang yang masih ada, bisa saja mengalami hal yang sama. Sebab, dari setiap kasus yang terjadi, lebih banyak menjadi korban adalah anak-anak muda.”

Natan Tebai dari AMPTPI Wilayah Timur, mengatakan, sebelum insiden Paniai Berdarah, masih banyak tragedi yang terjadi selama puluhan tahun.

“Banyak kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua, dan kasus Paniai Berdarah itu kami jadikan tolok ukur di tahun ini,” katanya.

Lanjut Natan, “Saat ini orang tua kami di Paniai masih trauma dengan kasus ini. Lebih parah lagi, hutan-hutan dibakar agar masyarakat tidak membuat kelompak-kelompok di setiap sudut.”

Para aktivis yang hadir di ibadah 1 Tahun Tragedi Paniai Berdarah, mengungkapkan, ini akan menjadi duka yang mendalam, sebab empat jenazah dikubur di bawah tiang bendera Lapangan Karel Gobai, tepat depan kantor Koramil Enarotali.

“Saya juga ikut berduka. Saya berharap kita harus bersama mendorong kasus ini sampai terungkap dan diketahui publik,” ujarnya.

“Aparat keamanan tidak mengenal psikologi masyarakat, aparat harus mengenal budaya agar kita tidak lagi melihat dan mendengar peluru aparat di setiap tubuh orang Papua,” tutur salah satu pemerhati masalah sosial politik.

Ia juga mempertanyakan ucapan mantan Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol Sulistyo Pudjo, bahwa insiden ini akan diungkap tidak lewat dari 10 hari.

Teko Kogoya, aktivis Forum Independen Mahasiswa (FIM) mengatakan, tahun 2014 masyarakat tak merasakan suasana Natal karena terjadi penembakan brutal di Lapangan Karel Gobai Enarotali. Saat itu warga Paniai maupun orang Papua diliputi rasa duka yang mendalam.

“Anehnya, sampai saat ini Komnas HAM tidak mampu menyelesaikan kasus ini. Belum lagi kasus yang lainnya,” ujar Teko.

FIM, menurut dia, tetap fokus pada Paniai Berdarah hingga dibawah ke jalur hukum. “Kami akan terus desak sampai kasusnya benar-benar dituntaskan,” tegas Teko Kogoya.

 

Sudah setahun tragedi berdarah itu belum diproses. Komnas HAM berdalih tak ada dana dan keluarga korban menolak otopsi. Kabarnya, penyelidikan akan dilanjutkan tahun depan.

Editor: Mary

HARUN RUMBARAR

Terkini

Populer Minggu Ini:

Partai Demokrat se-Papua Tengah Jaring Bakal Calon Kepala Daerah Jelang Pilkada...

0
Grace Ludiana Boikawai, kepala Bappiluda Partai Demokrat provinsi Papua Tengah, menambahkan, informasi teknis lainnya akan disampaikan panitia dan pengurus partai Demokrat di sekretariat pendaftaran masing-masing tingkatan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.