ArsipSatu Tahun Tragedi Paniai Berdarah, Belum Juga Diungkap

Satu Tahun Tragedi Paniai Berdarah, Belum Juga Diungkap

Senin 2015-12-07 17:17:57

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Kasus Paniai Berdarah 8 Desember 2014 sudah setahun belum ditangani serius. Berbagai pihak menuding ada intervensi negara membungkam upaya mengungkapnya ke publik.

Koordinator PapuaItuKita, Zely Ariane di Jakarta menyayangkan tidak seriusnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkap kasus Paniai Berdarah sebagai kasus pelanggaran HAM Berat.

“Kelompok-kelompok mahasiswa, pekerja HAM di Papua dan Jakarta, orang-orang yang bersolidaritas, hampir setiap bulan melakukan aktivitas pengawalan terhadap kasus ini. Seharusnya hal ini membuat Komnas HAM lebih serius lagi bekerja,” tulisnya dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi suarapapua.com, Senin (7/12/2015) malam.

“Ada apa? Komnas HAM takut apa?,” ia mempertanyakan.

Dalam kasus Paniai Berdarah 8 Desember 2014, ada 4 orang remaja ditembak mati, 2 orang luka berat, dan 15 orang luka tembak, di seputar lapangan Karel Gobai, depan Koramil 1705 Enarotali, Paniai, Provinsi Papua.

Alpius Youw (17), Yulian Yeimo (17), Simon Degei (18), Alpius Gobai (17) ada bersama kerumunan orang yang melakukan “Waita”, memprotes kesewenangan 6-8 orang aparat TNI Timsus 753/Arvita yang menusuk dan menembak anak-anak remaja lainnya di Bukit Ipakiye, malam sebelumnya. Empat orang itu mati oleh tembakan yang datang dari arah Koramil, Pos Paskhas (Pasukan Khusus) AU, dan Kantor Polisi Sektor (Polsek) Paniai Timur.

Komnas HAM telah melakukan pemantauan pra penyelidikan pada 12-17 Desember 2014. Lalu, dalam paripurna 7 Januari 2015 sudah bentuk Tim Penyelidikan Peristiwa Pelanggaran HAM Paniai berdasarkan SK Nomor 01/SP/2015, bekerja selama 3 bulan untuk melakukan penyelidikan berbasis Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang HAM.

Hasilnya, Komnas HAM pada sidang Paripurna 8 April 2015 telah memutuskan menerima laporan penyelidikan Tim Paniai dan merekomendasikan untuk ditingkatkan menuju UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pelanggar HAM Berat.

“Yang kami ketahui, tim tersebut diberi lagi waktu satu bulan (hingga 8 Mei) untuk melengkapi matriks kasus, dan kami telah memberikan penilaian kami dan matriks kasus yang telah kami buat, kepada Ketua Tim Penyelidikan Paniai Komnas HAM pada 24 April 2015,” jelas Zely.

Dua bulan sejak keputusan sidang paripurna 8 April 2015, Komnas HAM menyatakan tidak memiliki anggaran untuk melakukan penyelidikan yang dimaksud, khususnya untuk otopsi.

“Kami melakukan aksi simbolik mengumpulkan koin dan menyerahkannya pada Komnas HAM pada 8 Juli 2015, tepat setelah enam bulan Kasus Paniai berlalu.”

Komnas HAM menyatakan akan mencari anggaran dari skema lain untuk dapat melanjutkan penyelidikan. Tetapi, hasilnya tidak jelas.

“Komnas HAM telah diberi kepercayaan dan kesempatan oleh masyarakat selama hampir satu tahun untuk bekerja baik. Tetapi, hingga saat ini, Komnas HAM masih saja bermain-main di dalam kasus ini. Komnas HAM mencari apologi melalui hambatan keuangan dan birokrasi, mengambinghitamkan hambatan otopsi dari pihak keluarga, mengabaikan aspirasi publik dan membuatnya lupa dengan mengulur-ulur waktu,” bebernya.

Kasus Paniai ini ada di antara tumpukan kasus pelanggaran HAM masa lalu Papua lainnya di Komnas HAM. Kasus baru masuk dan menuntut keadilan serupa. Bila Komnas HAM sanggup membuat terobosan berani untuk kasus pelanggaran HAM berat 1965, kenapa tidak untuk Papua?

Terpisah, Ketua Dewan Adat Paniyai, John NR Gobai menilai negara gagal mengungkap Kasus Paniai Berdarah.

“Masyarakat bersama keluarga korban masih menunggu keadilan. Tetapi, sampai hari ini sudah mau satu tahun tragedi Paniai Berdarah belum juga berhasil diungkap. Indonesia, kami harus mengadu ke mana?,” ujar John kepada suarapapua.com melalui telepon seluler, Senin (7/12/2015) malam.

Hal tersebut, menurut John, sebuah bukti ketidakjujuran mengungkap tragedi yang merenggut nyawa empat siswa SMA dan melukai belasan warga sipil Paniai, Senin (8/12/2014) lalu.

“Sudah satu tahun tak serius ungkap, jadi kita harus mengadu ke dunia internasional. Mungkin itu yang terbaik, supaya ada intervensi,” tandasnya.

Ia menyesalkan ketidakseriusan dan ketidakjujuran para petinggi negara terutama pimpinan kesatuan yang terkesan memelihara tindakan biadab anak buahnya di lapangan.

“Kejadiannya di tengah kota, banyak orang lihat, tetapi aneh kalau sampai hari ini tidak ada satu oknum pelaku penembakan,” kata John sembari menyebut pimpinan TNI dan Polri tak jujur karena justru melalui media massa terus menerus bangun opini bernada pembohongan publik.

MARY

Terkini

Populer Minggu Ini:

PBB Memperingatkan Dunia yang Sedang Melupakan Konflik Meningkat di RDK dan...

0
"Rwanda melihat FDLR sebagai ancaman besar bagi keamanannya. Tentara Kongo berkolaborasi dengan FDLR, yang membuat Kigali marah,” kata Titeca.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.