ArsipORANG PAPUA PUNAH DI ATAS TANAHNYA SENDIRI

ORANG PAPUA PUNAH DI ATAS TANAHNYA SENDIRI

Minggu 2015-01-11 15:44:30

***Apakah Ini Konspirasi Pemusnahan Etnis?

 

Oleh : Elisa Sekenyap

 

Papua yang Terlupakan

Kulit hitam rambut keriting, daun dan kulit pohon menghiasi tubuh, tinggal dirumah panggung dan honai beralaskan ilalang serta kayu, hidup di pegunungan dan pinggiran laut yang masih tertinggal. Di atas emas dan batu bara, di atas minyak dan ikan, pohon serta kekayaan alam yang tak terhingga terbentang nun jauh dari ujung pulau Cenderawasi hingga ujung. Itulah Tanah Papua, Provinsi paling timur Indonesai yang kian manusianya punah, bahkan sumber daya alamnya kian menipis diambil orang.

 

Lagi-lagi pada kekuasaan. Berganti kepala Negara ke kepala Negara, berganti kepala daerah ke kepala daerah, tetapi sayangnya semua pemimpin yang dihasilkan Negeri ini tidak mampu merubah Tanah Papua yang rakyatnya hidup kian melarat. Seakan nama Papua tidak perna ada di planet bumi ini.

 

Isu Konspirasi di Tanah Papua

Berbagai terobosan dan program ditempu Pemerintah Pusat, sayang semua itu sirna begitu saja tanpa bukti apapun. Sebut saja transmigrasi, Otonomi Khusus (Otsus), pemekaran provinsi dan kabupaten, UP4B, Otsus plus, PNPM mandiri atau Respek dan masih banyak terobosan dan program lain yang hanya diketahui oleh pejabat tinggi untuk membawah Papua bukanya menuju perubahan, melainkan rancangan menghancurkan Papua.

 

Seorang yang cukup terkenal di Indonesai ketika berkunjung ke Wamena, Papua mengatakan, pemekaran Provinsi yang dicanangkan pemerintah pusat bagi Papua baru-baru ini hanya ide untuk memecah belah orang Papua dari kesatuan dan persatuan. “Pemekaran provinsi bukan ide untuk memperpendek rentan kendali pelayanan pemerintah kepada masyarakat, tetapi didalamnya ada ide terselubung, yaitu memecah bela orang Papua dari kesatuan dan persatuan yang selama ini sudah terbangun,” kata pengunjung Papua yang tidak menyebutkan nama itu.

 

Tetapi sayangnya kata dia, pejabat setingkat bupati dan walikota, bahkan kepala distrik sekalipun di Tanah Papua sudah menyetujui dan telah menandatangani surat kesepakatannya sebagai tanda persetujuan untuk dilakukan pemekaran.

Lagi-lagi, yang lebih menyakitkan hati orang Papua adalah Pemerintahan Jokowi yang nyata-nyata menyetujui upaya pemekaran yang diartikan orang Papua sebagai pemekaran pemecah belah persatuan. Bagaimana orang Papua tidak sakit hati terhadap Jokowi yang selama ini disanjung-sanjungkan orang Papua? Apalagi saat mencalonkan diri sebagai presiden, beliau datang ke Papua minta doa sulung.

 

“Saat beliau mencalonkan diri sebagai presiden, ia datang ke Kantor Sinode di Argapura minta doa sulung. Karena dia tahu, Papua ada karena Injil yang dirintis yang sekarang dijalankan oleh GKI. Karena demikian, ia terpilih jadi presiden,” kata Ketua BP AM Sinode GKI Di Tanah Papua, Pdt. Albert Yoku, S.Th.

 

Mestinya, Presiden Jokowi menghargai orang Papua, karena orang Papua telah memberikan doa dan doa itu sudah terjawab, seperti yang dikemukakan Ketua Sinode GKI. Bukan hanya doa, pada pemilihan Presiden lalu, lebih dari suara rakyat Papua turut menghiasi kemenangannya (71,53 persen suara Papua).

 

Semua ini adalah agenda pemerintah pusat yang ingin memecah belah persatuan, bahkan menginginkan supaya orang Papua punah di atas Tanah leluhurnya sendiri. “Mungkin mereka merasa orang Papua dan Belanda telah merampok hak hidup orang Indonesai. Jika seperti itu, timbal baliknya pada orang Belanda, bukan orang Papua yang tidak tahu menahu tentang sejarah Indonesai. Tetapi kelihatannya mereka ini sedang membangun sebuah dasar konspirasi pemusnahan etnis Papua ”. kata seseorang yang enggan menyebutkan namanya baru-baru ini di Wamena.

 

Pelanggaran HAM

Seperti yang sudah dijelaskan di bagian awal, bahwa orang Papua masih terintimidasi oleh berbagai persoalan, baik hak sosial politik, ekonomi, HAM, budaya dan lainnya. Seperti kasus-kasus kekerasan yang terjadi belakangan ini. Sebut saja penembakan di Puncak Jaya, di Nabire dan juga kasus kekersan di Lanny Jaya hingga meninggalnya Waus Hiluka 23 tahun, terpidana kasus pencurian uang Rp. 300.000 di Wamena.

 

Ini semua terjadi terhadap Orang Asli Papua (OAP) yang memiliki hak hidup atas tanah yang telah diberikan Tuhan Allah untuk merawat, menjaga dan menggunakannya. Apalah daya, jika seluruh haknya dirampas orang? Apa artinya manusia Papua di jadikan Tuhan di tanah ini hanya untuk meratapi seluruh isi kekayaannya dibawah orang. Bahkan pertumbuhan manusia Papua-pun setiap tahun bukannya meningkat, malah menurun?

 

Leo Imbiri dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I DPR RI, Jakarta, Rabu 23 November 2011 lalu menyatakan, OAP saat ini terancam punah di negeri sendiri. Katanya, populasi penduduk asli Papua terus menyusut sementara di sisi lain, non-Papua dari daerah lain (Jawa, Sulawesi, Sumatera, Ambon, dan lainnya) terus berdatangan ke Papua.

 

Dr. Jim Elmslie, peneliti dari Universitas Sidney pada akhir tahun 2007 dalam sebuah konferensi di Australia mengatakan, pertumbuhan penduduk Papua hingga tahun 2030 akan lebih didominasi oleh pertumbuhan penduduk non-Papua. Ia memberikan perbandingan tentang penduduk asli Papua dan non-Papua sejak tahun 1971.

 

Di tahun 1971, dari total 923.000 penduduk Papua dan non-Papua, tercatat 887,000 jiwa penduduk asli Papua dan 36,000 penduduk non-Papua. Ini berarti 96 persen penduduk Papua adalah penduduk asli Papua. Pada tahun 1990, tercatat 1.215.897 penduduk asli Papua dan 414,210 penduduk non-Papua dari total 1,630,107 jiwa penduduk Papua. Jadi orang asli Papua masih mendominasi. Jika dilihat pertumbuhan penduduk asli Papua dari tahun 1971 hingga tahun 1990, maka laju pertumbuhan penduduk asli Papua adalah 1,67 persen. 

Analisa yang dilakukan Dr. Jim ini menunjukkan penurunan proporsi populasi penduduk OAP dari 96 persen menjadi 59 persen dari tahun 1971-2005. Sedangkan populasi non-Papua mengalami peningkatan proporsi dari 4 persen menjadi 41 persen dalam rentang waktu yang sama.

Jumlah penduduk non-Papua meningkat sangat tajam dari 36.000 jiwa menjadi 1.087.694 jiwa atau 30 kali lipat jumlah penduduk non-Papua sejak 1971-2005. Selama rentang waktu 34 tahun ini laju pertumbuhan penduduk non-Papua sebesar 10,5 persen.

Dengan menggunakan laju pertambahan penduduk berdasarkan pertumbuhan penduduk Papua dan Non-Papua selama 34 tahun itu (Papua 1,67 persen dan Non-Papua 10,5 persen), maka Dr. Jim memprediksikan bahwa pada tahun 2011 dari total 3,7 juta jiwa penduduk Papua, penduduk asli Papua akan menjadi minoritas dengan proporsi 1,7 juta jiwa (47,5 persen) penduduk asli Papua. Sedangkan penduduk non-Papua akan menjadi Mayoritas dengan jumlah 1,98 juta jiwa (53 persen).

 

Lebih jauh, dalam papernya yang disampaikan dalam Indonesian Solidarity and the West Paper Project, 9-10 Agustus 2007 di Sidney, Australia, Dr. Jim menyebutkan populasi penduduk non-Papua pada tahun 2030 akan meningkat tajam menjadi 70,8 persen dari total 6.7 juta jiwa penduduk Papua.

 

Ini berarti penduduk asli Papua hanya berkisar 1.353.400 jiwa dari total 6,7 juta jiwa penduduk Papua pada tahun 2030. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, pada tahun 2030 Dr. Jim memprediksikan penduduk asli Papua hanya 15,2 persen dari total 15,6 juta jiwa penduduk Papua. Dengan kata lain, perbandingan antara penduduk asli Papua dan non-Papua pada tahun 2030 akan mencapai 1: 6,5.

 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk di Tanah Papua adalah 3.612.854 jiwa (Papua 2.851.999 dan Papua Barat 760.855 jiwa). Sedangkan berita resmi statistik BPS Provinsi Papua, No. 13 / 03 / 94 / Th. I, 1 Maret 2011 mengungkap, penduduk OAP mencapai 76,21 persen sementara penduduk non-Papua 23,79 persen. (majalahselangkah.com)

 

Data tersebut menerangkan bahwa, jumlah penduduk OAP pada tahun 2010 menurun ketimbang orang non-Papua. Belum lagi jumlah penduduk pada tahun 2011-2013. Apakah penduduk OAP pada tiga tahun terakhir ini menurun atau meningkat?

 

Pegiat HAM Papua yang adalah penerima Penghargaan Yap Thiam Hiem Award, Pater John Jonga, Pr mengatakan, tindakan penembakan yang dilakukan aparat keamanan sepanjang tahun 2014 adalah pelanggaran kemanusiaan yang tidak bermoral. Pelaku-pelaku penembakan terhadap orang sipil di Papua perlu dihukum berdasarkan hukum Negara. “Bila perlu pelaku-pelaku penembakan dipecat tetapi juga dihukum. Mereka ini termasuk melakukan tindakan penghinaan martabat kemanusiaan orang Papua dan Negara Indonesai” kata Pater John Jonga, Pr

 

Apalagi kata dia, sebagian tindakan-tindakan ini dilakukan terhadap orang Papua yang tidak berkaitan dengan separatis atau OPM seperti di Enarotali, Paniai. Bahkan korban-korbannya anak-anak dibawah umur yang sedang siap merayakan natal. “Penembakan di Enarotali merupakan pelanggaran HAM berat, karena anak-anak ini tidak ada kaitan dengan separatis maupun OPM,” tegas Pastor John di Wamena.

 

Sementara, Ketua Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM Pegunungan Tengah, Papua Theo Hesegem mengatakan, kepada masyarakat Papua sebagaimana setiap manusia memiliki hak yang sama diberikan oleh Tuhan, baik itu aparat keamanan maupun masyarakat sipil. Maka perlu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. “Jadi antara masyarakat sipil dan aparat keamanan harus saling menghargai berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang ada. Siapapun tidak bisa mencabut nyawa orang, karena Tuhan sudah menetapkan nilai kemanusiaan itu pada setiap orang. Karenanya, saya berharap supaya persoalan Papua diselesaikan dengan dialog,” kata Theo Hesegem di Wamena.

 

Dia juga menegaskan, supaya pemerintah pusat maupun daerah untuk lebih jeli melihat persoalan HAM di Papua, supaya persoalan ini tidak muncul di tahun-tahun selanjutnya.

 

Lebih jauh melihat persoalan HAM di Papua, Papua perlu ada penanganan khusus oleh pemerintah pusat. Tidak boleh membiarkan persoalan demi persoalan berlalu seperti tiupan angin, karena manusia Papua juga sama dengan manusia Indonesia dan manusia di dunia lain yang berhak mendapatkan kehidupan dan kebebasan.

 

Minimnya Pelayanan Kesehatan di Papua

Tidak kala pentingnya lagi terhadap pelayanan kesehatan di Tanah Papua, baik pelayanan kesehatan di perkotaan maupun di kampung-kampung. Data menunjukan bahwa, belakangan ini khusus angka kasus HIV dan AIDS meningkat drastis, bahkan akibatnya hampir setiap hari ada orang Papua yang meninggal dunia, sayang jumlah angka orang meninggal terbaru tidak ada yang mau mengumumkan.

 

Contohnya, data kasus HIV dan AIDS yang disampaikan KPA Kabupaten Jayawijaya, Papua pada triwulan II per 31 Juni 2014 sebanyak 4.372 kasus. Kasus ini terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Seperti tahun lalu pada triwulan III per 31 September 2013 sebanyak 3.655 kasus.

 

Angka tersebut jika dijumlahkan dengan angka tahun 2014 meningkat menjadi 8.072 kasus. Ketika melihat selisihnya antara 3.655 dan 4.372 sebanyak 717 kasus.

 

Sementara, kasus kesehatan lainnya yang mengalami hal serupa. Contohnya penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Bagian Atas (ISPA) di Puskesmas Hom-Hom, Wamena. Sejak Januari hingga September 2014 angka penderitanya ISPA paling tinggi. “Tapi datanya kami belum rampungkan untuk sampaikan,” kata Asalaus Alua, Kepala Puskesmas Hom-Hom Wamena.

 

Jika dilihat, melalui UU Otsus Nomor 21 tahun 2001 pemerintah Provinsi Papua memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur anggarannya. Khusus dana Otsus tahun 2014 sebanyak Rp6.824 triliun yang akan dibagi ke Provinsi Papua Rp4.777 triliun dan Papua Barat Rp2.047 triliun. Bahkan anggaran Otsus itu melalui Gubernur Papua, Lukas Enembe, S.IP diprioritaskan lebih kepada daerah dengan presentase 80 persen daerah dan 20 persen provinsi supaya diatur berdasarkan kebutuhan daerah, terutama dibidang kesehatan dan pendidikan, tetapi kenyataan lain. Orang Papua tidak mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak, gizi buruk, sudah SMP tidak bisa membaca, menulis dan menghitung.

 

Terlepas dari anggaran Otsus yang besar, berbagai donor asing juga-pun ngotot membiayai bidang kesehatan dan pendidikan di Papua. Sebut saja Kinerja Usaid Amerika, Australia dan bahkan pemerintah pusat melalui dana alokasi umum maupun dana alokasi khusus. Sayang semua anggaran dan bantuan besar itu tidak kena sasaran, karena yang menikmati adalah penikmat setenga dewa.

 

Dan Pendidikan

Sumber Daya Manusia (SDM) adalah senjata ampuh membongkar karang yang teguh sekalipun, namun pendidikan di Papua hanya dipandang sebela mata. Apakah persediaan anggaran bagi pendidikan kurang? Apakah tenaga pengajar kurang? Apakah infrasturktur tidak tersedia?

 

Jika diamati, anggaran tersedia, tenaga mencukupi dan fasilitas bisa diandalkan, tetapi apa penyebabnya? Apakah gurunya yang malas mengajar atau muridnya yang malas belajar?

 

Salah satu contoh penggunaan anggaran Otonomi Khusus (Otsus) untuk kota Jayapura. Pada tahun 2014, Pemerintah Kota Jayapura menerima dana sebesar Rp95 milyar dari Provinsi Papua. Penerimaan dana itu jauh lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya Rp52 milyar. Dana yang besar itu digunakan di bidang pendidikan 30 persen, kesehatan 15 persen, dan infrastruktur serta pemberdayaan ekonomi kerakyatan. (SKH Bintang Papua)

 

Jika dibandingkan dana pendidikan dengan kesehatan, dana pendidikan sangat besar, tetapi dalam pelaksanaan proses belajar mengajar tidak nampak. Kalau dilihat, bukan hanya anggaran Otsus saja yang menghandel peningkatan pendidikan di Papua, tetapi ada sumber lain dari pusat, bahkan donor asing.

 

Contoh SD YPK Daniel Angguruk di Distrk Angguruk Kabupaten Yahukimo, Papua. guru-gurunya tidak perna ada ditempat selama bertahun-tahun, tetapi guru-guru itu terima gaji seperti selayaknya seorang guru yang sedang aktif mengajar.

 

Pada akhir tahun 2013 saya ke Distrik Angguruk mewancarai seorang guru SD YPK Daniel Angguruk, namanya Gasper. Menurut dia, ada sekitar 6 guru dan 1 guru bantu, tapi dari 6 guru itu hanya ia dan 1 guru bantu yang mengajar. “Selama ini saya dengan 1 guru bantu yang mengajar, yang lainnya posisi di kota. Ada yang di Wamena, Yahukimo dan Jayapura, tapi gaji mereka terima lancar,” ujar Gasper di Angguruk.

 

Dia juga mengatakan, awalnya guru-guru yang ditugaskan disini (Angguruk) perna datang, tetapi hanya tinggal 3 hari sampai 1 Minggu, setelah itu kembali ke kota dan tidak perna kembali lagi. “Saya tidak begitu tahu alasan pasti, tetapi menurut informasi yang saya dengar, mereka tidak bisa menyesuaikan diri disini. Ada yang bilang Angguruk tidak ada ikan, beras dan kios untuk pakai sehari-hari. Jadi mungkin itu alasannya,” kata Gasper.

 

Di berbeda waktu pada Juli 2014, saya bertemu Pdt.Dr.Siegfried Zollner misionaris tahun 1961 asal Jerman yang bertugas sebagai pendeta GKI di daerah Angguruk waktu itu.

 

Menurutnya, saat ia mengunjungi SD YPK Angguruk, yang mengajar hanya guru bantu bernama Yulius Yual, padahal dalam sebuah daftar yang terpampang didinding kantor sekolah terlihat jelas ada sekitar 6 guru. “Saya tanya kepada Yulius, bagaimana dengan 6 guru PNS itu? Katanya hanya pak Gasper dan Zakheus yang biasa ada tapi kadang-kadang dan sering keluar dari Angguruk, sisanya tidak perna datang,” kata Pdt. Zollner di Wamena usai melakukan kunjungan tahunannya di Angguruk.

 

Di berbeda waktu lagi, saya mendapat keterangan dari Pdt. Sonia Parera-Hummel, M.Th di Wamena Menurutnya, ada sekitar 300an anak sekolah di Angguruk, tetapi tidak ada guru yang mengajar. “Saya masuk dikelas 6 sempat mengajar lagu rohani, tetapi kata pujilah, sembalah mereka tidak mengerti. Bahkan ada yang sudah kelas 6 belum bisa membaca dengan lancar. Ini namanya ketidak adilan yang terjadi pada anak-anak Papua. Hak-hak anak untuk menerima pendidikan hilang,” ujar Pdt. Sonia dari United Evangelical Mission (UEM) Jerman for Asia usai mengunjungi SD YPK Daniel Angguruk.

 

Sementara, Paskalis Kossay, anggota DPR RI mengatakan, “Kenyataannya dari data statistik kualitas pendidikan orang Papua terendah di seluruh Indonesia. Sementara angka kematian ibu dan angka kematian balita pun tertinggi. Ini menunjukkan besarnya dana Otsus tidak menjamin kesejahteraan orang Papua,” kata Paskalis di Jakarta, baru-baru ini. (SKH bintang Papua).

 

Berkaca dari penggunaan dana Otsus sejak tahun 2002 hingga 2014, teryata dana-dana yang begitu besar tidak membawah suatu dampak yang siknifikan, jadi Otsus bagi Papua tidak berhasil.

 

Seluruh bentuk pembiaran yang terjadi, baik dari pembangunan manusia Papua, infrastruktur, kesehatan maupun pendidikan hanyalah sebuah taknik. Taktik ini dilakukan sejak integrasi Papua ke pangkuan NKRI pada 1963 hingga saat ini. Yang mana taktik itu adalah menghabisi orang Papua dengan kata lain memusnakan orang Papua satu demi satu. (***)

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.