ArsipYoris Raweyai : Pemerintah Tidak Pernah Menghendaki Kehadiran Otsus

Yoris Raweyai : Pemerintah Tidak Pernah Menghendaki Kehadiran Otsus

Kamis 2013-04-04 09:08:00

PAPUAN, Jakarta — Yoris Raweyai, Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, menegaskan sejak awal pemerintah pusat tidak menghendaki kehadiran Undang-Undang No. 21 tahuan 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat, sehingga Otsus tidak berjalan dengan baik.

Pernyataan tersebut disampaikan Yoris Raweyai, saat meenjadi pembicara dalam peluncuran buku karya Markus Haluk dengan judul, “Mati atau Hidup” subjudul “Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia Orang Papua”, di Media Center, Kantor Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (3/4/2013).   

“Kehadiran UU Otsus sangat dipaksakan. Lihat saja dalam pengesahaan dan penyusunannya orang Papua sama sekali tidak pernah dilibatkan, termasuk saat akan mengubah sebuah pasal dalam UU. DPRP, MRP, dan rakyat Papua harus dilibatkan dalam perubahan sebuah pasal dalam UU Otsus,” ujar Raweyai.

Menurut Raweyai, ketidakseriusan pemerintah pusat terlihat juga dari beberapa amanat UU Otsus yang tidak segera dilaksanakan oleh pemerintah pusat.

“Contoh, dalam pembukaan UU Otsus dikatakan ada tiga hal yang harus dilakukan, pelurusana sejarah Papua, pembentukan komisi kebenaran dan rekonisiliasi, serta dibentuknya pengadilan HAM, namun sampai saat ini ketiganya belum juga dibentuk, ini yang saya katakan Otsus memang tidak dikehendaki hadir,” tegasnya.

Yoris juga menambahkan, jika Otsus ingin dapat berjalan dengan baik, maka harus ada kemauaan politik dari pemerintah pusat, terutama dari Presiden Republik Indonesia sebagai kepala Negara di Indonesia.

“Minimal presiden SBY setuju dialog antara orang Papua dengan pemerintah pusat, soal kelanjutannya, itu urusan lain, yang penting ada kemauaan dulu,” ujar Raweyai, yang kini berada di Komisi I DPR RI Bidang Pertahanan dan Keamanan.

Sementara itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elizabeth menegaskan, untuk mengakhiri konflik di tanah Papua, LIPI pernah mengeluarkan buku Papua Road Map, dan menyimpulkan empat akar konflik di Papua, serta solusi penyelesaiaan konflik Papua.

“Langkah dialog yang LIPI bersama Jaringan Damai Papua dorong sebenarnya untuk mengakhiri konflik kekerasan di Papua. Tidak penting bagaimana hasilnya nanti, tapi yang paling penting proses yang dilakukan dalam capai dialog tersebut,” ujar Elizabeth.

Dikatakan juga, LIPI bersama Jaringan Damai Papua telah melakukan konsultasi public hampir sebanyak 1000 kali, dengan harapan agenda dialog bisa segera diterima oleh semua pihak, baik di tingkat Papua maupun tngkat pemerintah pusat di Jakarta.

Terkait respon pemerintah pusat, Elizabeth mengaku telah menemui kementerian-kementerian terkait di Jakarta, namun ada juga yang masih trauma dengan kata dialog, sebab dianggap menginternasionalkan masalah Papua.

“Saat kami melakukan riset awal di tahun 2004, ada saja yang berusaha menghalangi penelitian kami, mereka bertujuan menggagalkan penelitian tersebut karena takut persoalan Papua diketahui dunia internasional,” ujar Elizabeth.

Menurut Elizabet, yang menjadi kendala utama di Papua adalah banyaknya fraksi gerakan, dengan agenda perjuangan yang berbeda-beda pula, sehingga pemerintah pusat sulit menemukan siapa yang bisa diajak untuk melakukan dialog dengan pemerintah pusat.

“Padahal pemerintah pusat juga sama, menunjuk Farid Hussein sebagai special envoy, tapi juga tunjuka Bambang Darmono sebagai kepala UPB4, keduanya masih-masing punya agenda dialog dengan rakyat Papua, ini justru lebih membingungkan lagi,” singgung Elizabeth.

OKTOVIANUS POGAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

ASN dan Honorer Setiap OPD di Paniai Dibekali Ilmu Protokoler dan...

0
"Kegiatan pembekalan ilmu kepada pegawai dan tenaga honorer di lingkungan Pemda Paniai seperti begini kami sangat mendukung. Humas luar biasa dan kepada peserta, saya minta ilmu yang sudah didapat harus dipraktekkan," ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.