ArsipPerjuangan Seorang Pegawai Negeri Papua (Bagian I)

Perjuangan Seorang Pegawai Negeri Papua (Bagian I)

Senin 2015-08-17 05:45:30

PADA 9 MEI 2015, Presiden Joko Widodo mengunjungi penjara Abepura guna memberikan grasi kepada lima narapidana Papua. Jokowi sebenarnya juga hendak membebaskan seorang tahanan politik, namun terganjal dengan persoalan hukum. Jokowi bersedia memberikan grasi kepada Filep Karma, nnamun Karma tak bersedia mengajukan grasi.

Oleh: Andreas Harsono*

 

Jokowi mengatakan, “Benar bahwa saya mengusahakan pembebasan Filep Karma. Namun, saya maunya proses grasi. Sedangkan dia maunya amnesti. Ini rumit karena harus bicara dengan DPR. Saya nggak tahu apakah DPR akan setuju.”

 

Di penjara Abepura, Karma mengikuti kedatangan Jokowi lewat berbagai narapidana, termasuk seorang remaja, yang melaporkan bagaimana Jokowi beserta isteri Iriana, sholat di sebuah ruangan kecil dekat ruang tamu penjara.

 

Kelima orang tersebut juga cerita pertemuan mereka dengan Jokowi kepada Karma.

 

Siapakah Filep Karma?

FILEP “Jopie” Karma kelahiran Hollandia Binnen, sekarang Abepura, pada 14 Agustus 1959. Jopie anak pertama dari tujuh bersaudara: dua lelaki dan lima perempuan. Pada 1959, Nieuw Guinea atau Papua masih berada dalam kekuasaan Belanda. Andreas Karma, bapaknya, seorang birokrat zaman Hindia Belanda. Pendidikannya, administrasi negara.

 

Keadaan berubah ketika pasukan Indonesia menyerbu Nieuw Guinea pada 1962. Mulanya dari Merauke dengan Operasi Naga pimpinan Kapten Benny Moerdani. Amerika Serikat tekan Belanda agar serahkan Nieuw Guinea ke Indonesia. Belanda menawar dengan minta diadakan “referendum” oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Indonesia dan Amerika Serikat setuju. PBB mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat pada Juli-Agustus 1969 tapi “keamanan” dilakukan oleh pihak Indonesia. Hanya 1,025 orang dipilih untuk memberikan suara. Seratus persen voting setuju Papua bersatu dengan Indonesia. Hasil ini dibawa ke Sidang Umum PBB. Ketika voting diambil, 82 negara menerima resolusi dan 30 abstain. Tak ada satu pun negara menolak resolusi PBB agar Nieuw Guinea dimasukkan ke Indonesia.

 

Namun invasi dan intimidasi di lapangan menciptakan ketakutan. Ada pengungsian puluhan ribu orang ke Papua New Guinea. Pengungsian ini tak begitu diperhatikan PBB. Andreas Karma termasuk birokrat yang dipercaya oleh pemerintah Indonesia untuk memperbaiki keadaan di Irian Jaya, nama baru New Guinea. Dia diangkat jadi camat di Bokondini, sebuah daerah dekat Wamena. Pada 1971, dia diangkat jadi Bupati di Wamena.

 

Ini jabatan dengan tanggung jawab berat. Dia menjabat bupati Wamena selama 10 tahun lalu diangkat jadi bupati Serui pada 1980-an juga 10 tahun. Dua puluh tahun jadi bupati. Saya sering tanya secara acak kepada orang Papua. Siapa pejabat Papua yang mereka anggap melayani warganya dengan baik? Nama Andreas Karma dan Gubernur Izaac Hindom termasuk paling sering disebut.

 

Pada Oktober 1977 militer Indonesia bikin operasi militer dan mengebom kampung-kampung sekitar Wamena. Tujuannya, mengalahkan gerilyawan Papua Merdeka. Namun serangan tersebut dilakukan dengan gegabah. Banyak makan korban sipil mati. Menurut laporan Asia Human Rights Commission, The Neglected Genocide, setidaknya 4000 orang Papua mati dalam operasi tersebut. Saya duga Andreas Karma tahu pembantaian yang terjadi di wilayah Wamena.

 

Namun dia tak diketahui bersuara. Mungkin dia memilih diam.

 

Filep Karma sendiri baru berusia 18 tahun. Dia sekolah di SMA Gabungan, sebuah kerja sama antara gereja Katholik dan Protestan, di Jayapura. “Jopie sudah naik Jeep,” kata Luna Vidya, temannya. Kekerasan demi kekerasan militer Indonesia, tak lepas dari pengamatannya.

 

Pada 1979, lulus dari SMA Gabungan, Filep Karma kuliah ilmu politik di Universitas Sebelas Maret, Solo, Pulau Jawa. Ini masa ketika pemerintahan Presiden Soeharto sedang kuat-kuatnya. Soeharto baru saja mendapat mandat ketiga kali untuk jadi presiden Indonesia. Gerakan mahasiswa pada 1978 diberangus dengan hebat.

 

Di Solo, pemuda Karma berhadapan dengan rasialisme anti-Papua, anti-kulit hitam, anti-rambut keriting. Dia mengatakan, “Itu saya rasakan dari teman-teman yang kuliah. Jadi bukan dari masyarakat yang tidak berpendidikan saja, tapi juga dari kalangan berpendidikan. Mereka memperlakukan kami begitu. Seringkali kami di kata-katai, ‘Monyet! Ketek!’”

 

Rasialisme tersebut diterangkan Dr. George Junus Aditjondro dalam sebuah esai pada 1994 berjudul, “Menerapkan Kerangka Analisis Frantz Fanon terhadap Pemikiran tentang Pembangunan Irian Jaya.” Aditjondro menerangkan bahwa rasialisme anti-Papua menganggap kebudayaan si pelaku lebih tinggi dari kebudayaan si kulit hitam. Ia terjadi bukan saja dalam pergaulan sehari-hari –seperti dialami Karma di Solo– namun juga lewat media massa termasuk suratkabar, kartu pos, radio dan televisi. Orang Papua digambarkan sebagai suku terbelakang, badan bau busuk, suka mabuk, kelakuan kasar, korupsi dan seterusnya. Sekarang pun penjelasan ini relevan untuk menerangkan bagaimana mayoritas orang Indonesia melihat Papua. Entah lewat status Facebook, Twitter atau blog.

 

Di Solo, Filep Karma merasakan langsung rasialisme tersebut, “Kami yang dari Papua, selalu dianggap setengah binatang. Kami dianggap seakan-akan kami ini evolusi dari teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia. Namun kami dianggap sebagai proses teori Darwin yang belum selesai. Seakan-akan kami ini setengah manusia, setengah hewan.”

 

Rasialisme melukai hati Filep Karma.

 

Dia jatuh cinta dengan seorang perempuan Melayu-Jawa. Namanya, Ratu Karel Lina, seorang fisioterapis, kelahiran 1960 di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Mereka kenal di kampus, pacaran dan memutuskan menikah. Pada 1986, ketika Karma berusia 27 tahun dan Lina 26 tahun, mereka menikah. Mereka dikarunia seorang putri, Audryne, kelahiran Solo pada Agustus 1987. Kelahiran Audryne disusul dengan selesainya studi Filep Karma dari Universitas Sebelas Maret. Filep mengajak isteri dan anaknya ke Jayapura. Dia mendapat pekerjaan sebagai pegawai negeri. Putri kedua mereka, Andrefina Karma, lahir di Serui pada November 1988.

 

Secara politik, pelanggaran terhadap hak orang Papua tak berhenti pada 1977-1978. Pada awal 1980an, ada gerakan memasukkan bahasa-bahasa daerah Papua dalam musik gereja. Sebuah kelompok musik bernama Mambesak mengumpulkan berbagai lagu etnik dari Sorong sampai Samarai. Mereka rekam lagu-lagu tersebut. Mambesak diproduksi lewat kaset serta bikin siaran lewat RRI Jayapura.

 

Tokoh Mambesak seorang musikus-cum-anthropolog Arnold Ap dari Universitas Cenderawasih di Jayapura. Menurut Arnold Ap, Mambesak adalah usaha mempertahankan budaya asli Papua dari cara kerja pemerintah Indonesia di Papua yang lebih mempromosikan seni dari luar Papua.

 

Namun nasib Mambesak berakhir tragis dengan tuduhan militer Indonesia bahwa Arnod Ap ikut dalam Organisasi Papua Merdeka. Pada November 1983, militer Indonesia menangkap Arnold Ap. Dia disekap dan dianiaya dalam sebuah bekas toko, yang dijadikan markas suanggi –istilah orang Papua buat intel— dan belakangan, kasus Arnold Ap diserahkan pada polisi.

 

Menurut dokumen pengadilan dan kesaksian seorang polisi Papua, pada malam 21 April 1984, seorang penjaga, Pius Wanem, membius dua polisi dan membuka kunci sel. Wanem, Arnold Ap dan empat tahanan lain, naik taksi pergi ke pantai Base-G di Jayapura, menunggu kapal yang akan membawa mereka lari ke Papua New Guinea. Mereka menunggu di sebuah gua. Ternyata ia sebuah jebakan. Arnold Ap mati ditembak tentara di Base-G.

 

Dalam persidangan, Pius Wanem mengatakan Arnold Ap dan seorang tahanan tewas dalam “operasi Kopassandha.” Kopassandha singkatan dari Komando Pasukan Sandi Yudha, sebuah pasukan khusus Indonesia, kini biasa disebut Kopassus.

 

Pada Juni 1984, Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmadja mengatakan di Jakarta bahwa Ap dicegat di laut ketika kapal melarikan diri. Patroli minta mereka menyerah. Perahu Ap menembaki kapal patroli, yang menyebabkan patrol menembak balik, termasuk Arnold Ap. Kusumaatmadja menuduh Arnold Ap sebagai “separatis OPM.”

 

Ini menciptakan ketakutan. Gelombang pengungsi ke PNG mulai lagi. George Aditjondro, yang bekerja di sebuah organisasi sosial di Jayapura serta bertetangga dengan Arnold Ap, termasuk orang yang merasa perlu menyingkir dari Papua. Dia kembali ke Pulau Jawa lantas mengambil Ph.D di Universitas Cornell, Ithaca, New York. Janda Arnold Ap melarikan anak-anaknya dan dia sendiri ke Papua New Guinea lantas tinggal di Den Haag, Belanda. Putra Arnold, Oridex Ap, kini giat kampanye Papua Merdeka di Belanda.

 

Filep Karma kembali ke Papua ketika suasana pengungsian sudah mereda. Menurut Audryne, mereka melewati masa kecil dengan bahagia. Mereka sering berlibur di villa keluarga Karma di Pulau Biak. Ratu Karel Lina bekerja sebagai fisioterapis di rumah sakit Dok II di Jayapura. Mereka tinggal di rumah kolonial warna putih di Jl. Macan Tutul di Dok V, Jayapura. Ini kawasan elite di Jayapura. Rumah tersebut peninggalan Andreas Karma. Kehidupan keluarga Filep Karma, tentu saja, juga berisi keragaman. Baik dari segi agama maupun etnik. Ada yang Kristen, ada yang Islam. Ada yang kulit hitam, ada yang kulit sawo matang. Semua jalan dengan biasa. (BERSAMBUNG)

 

*Penulis adalah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), bekerja untuk Human Rights Watch (HRW). Naskah ini sebelumnya dimuat di Majalah Rolling Stone.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Aparat Hadang dan Represi Aksi Demo Damai Mahasiswa Papua di Bali

0
“Kondisi hari ini, rakyat Papua menghadapi situasi represif, intimidasi serta pembunuhan yang sistematis dan terstruktur oleh negara pasca otonomi khsusus diberlakukan tahun 2001. Akibatnya, konflik berkepanjangan terus terjadi yang membuat aparat TNI/Porli menuduh warga sipil dengan sembarangan,” tutunya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.