ArsipPembangunan Jalur Kereta Api Tidak Dibutuhkan di Papua

Pembangunan Jalur Kereta Api Tidak Dibutuhkan di Papua

Rabu 2016-02-16 16:07:17

“Sebuh catatan kritis. Antara Kepentingan Industri dan mobilitas masyarakat daerah terpencil”

Oleh: Yason Ngelia

 

Ketika kita menyebut Papua maka akan muncul di benak setiap orang adalah keindahan alamnya dan konflik yang tidak berujung di sini. Presiden berganti presiden hanya dua hal tersebut di atas yang akan terus dikenang. Bahkan keindahannya alamnya ini tidak jarang menjadi salah satu sumber konflik. Sebab hutan yang indah itu telah berubah menjadi lahan sawit dan bahan tripleks. Gunung-gunungnya menjadi tambang emas, lautnya menjadi sumber minyak para penguasa. Seperti itulah Papua.

 

Dengan persoalan seperti ini, Papua mendapat perhatian lebih dari Presiden Jokowi. Presiden ke-7 yang baru setahun memimpin Indonesia membuktikan janji kunjungannya. Kedatangan Jokowi pertama kali saat Natal 2014 hingga kini sudah empat kali Jokowi ke Papua.

 

Terakhir adalah kunjungan Jokowi ke Raja Ampat (2015) dengan agenda yang sama yaitu dialog konstruktif bersama pemerintah, tokoh agama, dan Lembaga Masyarakat Adat (LMA). Dalam setiap kesempatan Jokowi menjanjikan bahwa fokus pembangun Indonesia di masa kepemimpinanya dimulai dari wilayah Timur. Dialog Jokowi dengan masyarakat dan pemerintah Papua selama empat kali kunjungan ini membuahkan janji, berupa master plan pembangunan, jalur rel Kereta Api (KA) dari Kota Sorong hingga Kabupaten Manokwari sepanjang 390 Km. Sebagai rencana tahap pertama dengan target akhir pada tahun 2018.

 

Tim uji kelayakan dikirim ke Papua pada awal tahun 2015. Karena memakan waktu setahun akhirnya pembangun rel kerta api ditunda sampai tahun ini (2016). Jokowi menjanjikan, pada tahun 2018 pekerjaan tersebut telah selesai. Di beberapa pidato Jokowi di luar Papua mengatakan ‘Jangan sampai saudara kita di Papua bertanya, kenapa di Papua tidak ada jalur kereta api’. Sebab bagi Jokowi pemerataan pembangunan seperti ini adalah kunci penyelesaian masalah di Indonesia terlebih khusus Papua.

 

Namun kini menjadi pertanyaan kita, apakah pembuatan rel KA adalah hal subtansial dari persoalan di Papua. Apakah benar pembangunan rel KA adalah aspirasi rakyat Papua selama kunjungan Jokowi di Papua. Ataukah pembangunan rel kereta api semata-mata hanya kebijakan politik Jokowi untuk memberikan keadilan kepada orang Papua. Keadilan yang hanya pada bidang pembangunan fasilitas dan infrastruktur semata. Keadilan yang sejatihnya bersifat semu.

 

Jikalau kita merujuk pada penelitian Lembaga Ilmu Pengtehuan Indonesia (LIPI), dalam Papua Road Map, disana akan kita dapati empat poin yang menjadi dasar konflik dan saling mempengaruhi, secara sitematis memperburuk situasi sosial dan politik di provinsi paling timur Indonesia ini. Diantaranya konflik kesejahteraan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), diskriminasi dan marjinalisasi rakyat asli Papua (OAP) dan yang berikut stastus politik (PEPERA 1969) yang selalu diperdebatkan. Kompleksitas persoalan Papua ini saling memiliki keterkaitan. Sehingga membutuhkan penyelesaian yang komprehensif pula.

 

Bagaimana rasa keadilan itu dapat terjadi dengan pembangunan yang terfokus pada infrastruktur semata. Sedangkan tidak pada manusianya, yang selayaknya mendapatkan sentuhan keadilan dari persolan-persoalan tersebut. Dalam kehidupan orang Papua ada namanya MemoriaPassionis trauma masa lalu yang secara kolektif mengakar dalam kehidupan orang Papua. Pelanggaran HAM masa lalu yang tidak pernah mampu diselesaikan Negara. Presiden berganti, ketidakadilan itu terus saja mengiringi kehidupan orang Papua sampai hari ini.

 

Misalnya saja hari ini, pelangagaran HAM yang terjadi di Paniai, pembunuhan empat siswa SMA tahun 2014, atau kejadian luar biasa (KLB) di Ndunga yang saat ini membutuhkan komitmen dan ketegasan Jokowi untuk menyelesaiankannya. Adili para pelaku di pengadilan HAM sebagai langkah pemulihan traumatik Rakyat Papua dari pelangaran masa lalu itu. Atau dapatkah Jokowi menindak tegas setiap pejabat kesehatan di Papua, baik di tingkat provinsi hingga kabupaten yang tidak becus menjalankan tugas mereka. Sehingga mengakibatkan kematian massal tersebut (KLB).

 

Kita lihat bagaimana ketegasan Jokowi saat menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, beliau tidak segan-segan mencopot jabatan staf hingga lurah dilingkungan DKI Jakarta. Sebaliknya justru setelah menjadi Presiden Indonesia Jokowi lemah pada para pejabat di Papua yang tidak becus menjalankan tanggunjawabnya tersebut.

 

Satu hal tidak kalah penting yaitu, sikap pemerintah Pusat selalu menyepelehkan arus transmigrasi dari pulau Jawa yang masuk ke Papua. Sebab penyebab utama dari dampak marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua adalah lajunya transmigrasi sejak zaman orde lama hingga hari ini. Kehadiran transmigrasi yang tidak terbendung ini telah menyebabkan persaingan tidak sehat di Papua. Orang asli Papua tidak mendapat fasilitas seperti fasilitas negara pada penduduk transmigran. Belum lagi masuknya penduduk illegal dari beberapa pulau seperti Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku yang terus masuk ke Papua dengan tujuan utama mereka menjadi tenaga kerja pada perusahan-perusahan di seluruh Papua.

 

Awal tugas Jokowi dan kabinetnya, menteri dalam negri Tjahjo Kumolo pernah mengatakan akan mendorong transmigrasi ke bebrapa wilayah di Indonesia, salah satu daerah tersebut adalah Papua. Pemerintah tidak pernah kompromi dengan situasi social politik di Papua.

 

Walaupun telah mendapat penolakan dari masyarakat Papua. Bahkan penolakan tersebut juga disampaikan langsung oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe dan jajaran pemerintah daerah seperti DPRP dan MRP, namun tidak digubris. Jokowi justru fokus pada fasilitas dan infrastruktur yaitu pembangunan rel KA.

 

Sebenarnya pembangun rel KA di Papua ini belum menjawab pertanyaan apakah pembangunan tersebut dengan tujuan utama membuka akses transportasi di wilayah terisolir semata, atau dengan tujuan industri, atau bahkan mobilitas tenaga kerja ke wilayah industri itu.

 

Diketahui bahwa jumlah penduduk asli Papua sangat kecil dengan masing-masing kelompok di pedalaman dan tidak berada di perkotaan. Pertanyaanya adalah KA itu dibangun sebagai alat transportasi untuk rakyat Papua atau untuk siapa. Sebab pada tahun yang sama telah ada berbagai kesepakatan pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah tentang kontrak karya perusahaan kayu dan sawit hingga mendatangkan penduduk transmigrasi.

 

Perusahaan bernama Intimpura Timber (IT) seluas 333.000 hektar, yang beroperasi di Kabupaten Sorong. Merupakan anak perusahaan dari kayu lapis Indonesia Group (KLIG) yang merupakan perusahaan pembalakan kayu terbesar di Papua yang menguasai areal hutan 1,4 juta hektar. Areal KLIG tersebar di beberapa wilayah di Papua. Untuk wilayah Sorong saat ini sedang dilakukan pengalihan pengembangan investasi kayu ke sektor sawit. Perusahan KLIG telah beroperasi selama 15 tahun dan telah memilki hubungan baik dengan pemerintah baik pusat maupun lokal sehingga kemungkinan pelebaran Industri mereka tersebut. Bahkan untuk menyambut Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) saat ini Kota Sorong telah diresmikan pelabuhan laut Internasional. Sehingga pembangun rel KA yang terkesan menjadi kebutuhan utama Industri bukan demi mobiltas masyarakat di pedalaman Papua.

 

Sedang di Kabupaten Manokwari sebagai tujuan akhir pembangunan rel KA tahap pertama, antara Sorong-Manokwari. Disana terdapat dua perkebunan kelapa sawit yang sudah beroperasi. Antara lain Badan Usaha Milik Negara PTPN II seluas 23 ribu hektar atau juga yang tertua di Papua sejak tahun 1982. Disini ada sebuah rencana oleh pemda setempat mengambil alih hak katas perkebunan tersebut dan mengelolanya menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Rencana tersebut belum terealisasi sebab PTPN II telah melelang aset tersebut kepada perusahaan asal Cina, PT. Yong Jing Invesment (YJI). Perusahan kedua di wilayah ini adalah anak perusahaan dari Medco yaitu PT Medcopapua Hijau Selaras.

 

Kepentingan Industri di wilayah seperti ini akan meningkatkan produktifitas serta menambahkan tenaga kerja bukan hanya tenaga transmigrasi di wilayah Papua tetapi tenaga kerja asing, seperti tenaga kerja asal Cina milik YJI. Pembangunan rel KA akan menjadi persoalan baru yang dihadapi oleh rakyat Papua. Sebab mega proyek tersebut tidak menjawab kebutuhan orang asli Papua saat ini. Justru akan semakin termarjinalnya kehidupan orang asli Papua di wilayah tersebut.

 

Harapan kami bahwa pembangunan rel KA di Papua ini adalah kebijakan yang tepat sasaran, sehingga dapat menjawab kebutuhan masyarakat asli yang mengalami kendala dengan transportasi cepat, guna kepentingan peningkatan ekonomi mereka. Bukan sebaliknya kehadiran KA tersebut semakin menambah lebar kesenjangan sosial dan memperburuk kondisi sosial masyarakat di wilayah tersebut. Sehingga pemberdayaan, penguatan kapasitas masyarakat, atau bahkan rekonsiliasi dan penegakan HAM bagi rakyat asli Papua jauh lebih penting ketimbang pemborosan anggaran negara dengan pembangunan rel KA.

 

 Penulis adalah aktivis Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR).

Terkini

Populer Minggu Ini:

AMAN Sorong Malamoi Gelar Musdat III di Wonosobo

0
“Kita harus berkomitmen untuk jaga dan lindungi tanah adat untuk keberlanjutan hidup generasi kita,” kata Yulius kepada suarapapua.com pada 30 April 2024.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.