ArsipDukungan Terhadap Jokowi-JK Dari Wamena, Papua

Dukungan Terhadap Jokowi-JK Dari Wamena, Papua

Selasa 2014-07-01 07:06:30

PAPUAN, Wamena — Dukungan terhadap Calon Presiden Republik Indonesia nomor urut dua, Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) terus mengalir dari berbagai pihak, termasuk dari masyarakat adat di Lembah Baliem, Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua.

Penduduk di daerah tersebut memilih Jokowi setelah menilai rekam jejak Gubernur DKI Jakarta itu jauh dari kasus pelanggaran HAM di Papua.

 

“Kami memilih Jokowi karena dia orangnya sederhana. Dia juga tidak pernah punya kasus pelanggaran HAM di masa lalu,” kata Ketua Dewan Adat Baliem, Yulianus Joli Hisage di Wamena.

 

Menurut dia, Jokowi tepat menjadi pemimpin bangsa. Hisage sendiri punya pengalaman buruk ketika berhadapan dengan tentara yang menyerbu tempat tinggal mereka pada tahun 1977.  

 

“Kami arahnya ke Jokowi, sudah pasti itu. Tapi untuk masyarakat adat, saya tidak memaksa, silahkan mereka memilih sesuai hati nurani. Namun melihat prestasi dari Jokowi, saya pribadi menyukai dia,” kata Hisage lagi.

 

Ketika penyerbuan dilakukan tentara pada medio 1977, Hisage masih berumur 10 tahun. Ia melihat bagaimana tentara memasuki daerah Wosi dan Piramid, kemudian menembaki warga yang berlari pontang panting.

 

“Mayat-mayat terapung di Sungai Baliem, ada yang tertembak di kepala dan bagian tubuh lain. Saya bukan seorang diri, ada banyak juga yang menjadi saksi atas kejadian itu.”

 

Hisage mengungkapkan, ketika penyerbuan terjadi, ia bersama ayah ibunya, berlari menyelamatkan diri ke daerah Hepuba di Distrik Asolokobal. “Ada ribuan orang mati ketika itu, beruntung tidak ada keluarga saya yang tertembak,” katanya.

 

Peristiwa memilukan itu membawa Hisage bersama penduduk Jayawijaya enggan memilih Capres dengan latar belakang militer.

 

“Saya tidak tahu apakah Prabowo terlibat dalam kejadian 1977 itu, yang kami tahu, Prabowo jelas terlibat dalam kasus Mapenduma,” tukasnya.

 

Insiden Mapenduma adalah operasi militer untuk membebaskan peneliti dari Ekspedisi Lorentz 95 yang disandera Organisasi Papua Merdeka. Operasi yang dipimpin Komandan Kopassus Prabowo Subianto itu dimulai tanggal 8 Januari 1996.

 

Operasi ini berakhir kemudian pada tanggal 9 Mei 1996 setelah penyerbuan Kopassus ke markas OPM di Desa Geselama, Mimika. Dalam penyerbuan ketika itu, 2 dari 11 sandera ditemukan tewas, Matheis Yosias Lasembu, seorang peneliti ornitologi dan Navy W. Th. Panekenan, peneliti biologi.

 

Hisage mengajak warga Papua untuk tidak mendukung Capres berlumuran darah. “Jokowi juga bukan orang yang sempurna, namun dari dua pilihan capres, bagi saya, Jokowi masih lebih baik.”

 

Pastor John Djonga, tokoh Gereja di Jayawijaya meminta warga Papua lebih jeli memilih siapa pemimpin Indonesia lima tahun ke depan. 

 

“Kita tentu tidak ingin Indonesia dipimpin oleh Presiden dengan latar belakang penuh kasus pelanggaran HAM. Kalau itu terjadi, kita bahkan lebih jahat dari dia yang kita pilih,” kata penerima penghargaan Yap Thiam Hien Award 2009 itu.

 

Sementara itu, terhadap penembakan warga sipil di Wamena pada 1977, belakangan dibantah oleh TNI.

 

Komando Daerah Militer XVII Cenderawasih Papua menyebut laporan ‘pembantaian’ besar-besaran di wilayah Wamena, tidak benar.  

 

“Saya katakan bahwa peristiwa itu tidak benar, Australia juga kan sendiri membantah itu,” ujar Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Lismer Lumban Siantar, beberapa waktu lalu.

 

Ia menegaskan, laporan AHCR merupakan kabar Hoaks atau bohong.  

 

“TNI tidak pernah melepas bom dari atas heli saat masyarakat dibawah menunggu bantuan, tidak pernah itu terjadi di Indonesia, untuk itu, saya tegaskan sekali lagi, kabar itu tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan,” ucapnya.

 

Sebelumnya, hasil penelitian Asian Human Right Commission (AHRC) di Hongkong menyebut, AS dan Australia mendukung militer Indonesia melakukan pembantaian di Papua. Australia mengirim helikopter, sementara AS menyetor pesawat-pesawat tempur.

 

Aksi ‘genosida’ itu dalam rangka membendung usaha mencapai kemerdekaan Papua setelah pemilihan umum tahun 1977.

 

Laporan berjudul “The Neglected Genocide – Human Rights abuses against Papuans in the Central Highlands, 1977 – 1978″ (Pembantaian yang Terabaikan – Pelanggaran HAM terhadap warga Papua di Daerah Pedalaman Tengah, 1977-1978), yang dirilis AHRC ini menuai beragam pendapat.

 

Penelitian ARHC disimpulkan usai mewawancarai sejumlah saksi, dan memeriksa catatan sejarah. Badan ini juga mengumpulkan 4.416 nama yang dilaporkan dibunuh oleh militer dan menyatakan jumlah korban tewas akibat kekerasan, lebih dari 10.000 orang.

 

OKTOVIANUS POGAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

Jurnalis Senior Ini Resmi Menjabat Komisaris PT KBI

0
Kendati sibuk dengan jabatan komisaris BUMN, dunia jurnalistik dan teater tak pernah benar-benar ia tinggalkan. Hingga kini, ia tetap berkontribusi sebagai penulis buku dan penulis artikel di berbagai platform media online.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.