ArsipUskup Jayapura, Gembala Untuk Siapa?

Uskup Jayapura, Gembala Untuk Siapa?

Kamis 2015-12-31 09:20:02

Tulisan ini sebagai tanggapan atas kekecewaan Uskup Keuskupan Jayapura, Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM dalam menanggapi suara kenabian dari para Rohaniwan yang tergabung dalam Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM Papua.

Oleh: Mikael Tekege*

Berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terus terjadi di Tanah Papua tanpa adanya upaya penyelesaian dari pihak-pihak berwajib. Semua masalah pelanggaran HAM yang melibatkan oknum militer dan polisi itu menempatkan masyarakat Papua pada posisi korban.

Para militer dan polisi tak pernah menyadari apa yang telah diperbuat terhadap masyarakat Papua yang selama ini korban. Bahkan tak merasa bersalah sedikitpun hingga menambah sederet kasus pelanggaran HAM yang kini menjadi ingatan akan penderitaan (Memoria Passionis) masyarakat Papua.

Hukum tak mampu menjamah, bahkan hukum digunakan sebagai pembenaran atas semua pelanggaran HAM sambil melindungi para pelaku, sehingga sewaktu-waktu bisa berbuat sewenang-wenang kepada masyarakat Papua yang tak berdaya ini.

Penegakan hukum Indonesia di Papua mandul, negara tuli dan bisu melihat sejumlah persoalan pelanggaran HAM di Papua yang sangat mengkhawatirkan. Konteks ini tentu menjadi perhatian dari berbagai kalangan yang menyerukan tentang kemanusiaan, keadilan dan kedamaian.

Salah satu diantaranya adalah para rohaniawan Katolik di Jayapura yang tergabung dalam Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM Papua melakukan aksi menuntut penuntasan sejumlah kasus pelanggaran HAM sepanjang tahun 2014-2015, terutama kasus penembakan di Paniai yang hingga kini belum jelas untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat Papua dan keluarga korban pada khususnya.

Sebagaimana diberitakan di sejumlah media, SKP HAM Papua mencatat, dalam satu tahun terakhir pemerintahan Jokowi-JK, telah terjadi 11 peristiwa kekerasan dengan jumlah korban 10 orang meniggal dunia dan 39 orang lainnya mengalami luka-luka. Sementara itu, 268 orang ditangkap dalam aksi-aksi damai, yang dilakukan oleh aparat keamanan (TNI/Polri).

Para rohaniwan ini menyampaikan suara kenabian yang dapat dikontekstualisasikan dalam kehidupan rakyat yang ditindas oleh sistem keserbakuasaan.

Para rohaniwan ini menyadari bahwa rakyat Papua perlu diselamatkan dari penderitaan dan penindasan yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Dan keselamatan rakyat adalah misi Gereja yang paling signifikan, sehingga perlu diperjuangkan dan atau diupayakan oleh para rohaniwan demi menegakan keadilan, kebenaran dan kedamaian di tengah kehidupan umat manusia.

Meskipun demikian, aksi yang dilakukan oleh SKP HAM Papua ditanggapi secara serius oleh Uskup Keuskupan Jayapura, Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM.

Sebagaimana dilansir tabloidjubi.com, edisi 24 Desember 2015, Uskup Leo menyatakan kecewa dengan aksi demo yang dilakukan oleh rohaniwan.

“Gagasan mereka saya setuju ya. Tapi demo pakai jubah itu untuk apa? Itu kan ada yang tidak pernah pakai jubah, karena mau aksi demo jadi pakai jubah. Itu kurang ajar,” kata Uskup Leo.

Pernyataan seorang Uskup ini, seakan-akan merestui segala macam pelanggaran HAM, ketidakadilan sosial dan penindasan yang menimpa rakyat Papua yang merupakan umatnya. Ia merestui dan membiarkan umatnya tetap berada dalam penderitaan dan penindasan yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Ia tuli dan bisu mendengar jerit tangis serta buta melihat penindasan dan penderitaan akibat keserbakuasaan yang menimpa umat Tuhan di Tanah Papua.

Konteks ini, kemudian membuat umat Tuhan harus bertanya: Dimana peran gereja dan rohaniwan (Uskup) demi menyelamatkan umat Tuhan di Tanah Papua?

Barangkat dari pertanyaan di atas ini, Rosa Luxemburg melalui esainya Church and Sosialism (1905 dalam Michael Lowy, 2013), mengatakan, jika lembaga kependetaan malah mendukung orang-orang kaya yang menghisap kaum tertindas dan orang-orang miskin, maka jelas mereka terang-terangan menentang ajaran Kristen. Mereka mengabdi bukan kepada Kristus, tetapi kepada Anak Sapi Emas.

Sementara, Gustavo Gutierrez, seorang Jesuit Peru dalam (Michael Lowy, 2013), mengatakan bahwa orang tak perlu menunggu datangnya penyelamatan dari atas. Jadi, bagi Gereja hal itu berarti harus berhenti menjadi satu gerigi roda penggerak sistem yang berkuasa: harus mengikuti tradisi agung para nabi Injil dan contoh pribadi Kristus, yakni harus menentang keserbakuasaan dan mengutuk ketidakadilan sosial.

Berkaca Pada Amerika Latin

Sebagaimana disinggung di atas bahwa sebagai seorang rohaniwan (Imam atau Pendeta) bukan hanya menari-nari di atas mimbar demi nama Tuhan. Nama Tuhan bukanlah menjadi busa khotbah dan pidato yang menakut-nakuti rakyat dengan batasan dosa yang tidak jelas dengan membiarkan umat dalam sikap serba pasrah.

Seharusnya setiap khotbah dan pidato itu harus didukung oleh karya nyata dalam melawan ketidakadilan dan penindasan. Karena itulah arti pengorbanan dan perjuangan Kristus yang kita imani.

Sejumlah rohaniwan dari Amerika Latin pernah membuktikan itu, hingga melahirkan konsep Teologi Pembebasan sebagai kristalisasi ajaran Yesus yang mempertemukan antara Marxisme dan Teologi dalam kehidupan umat Tuhan.

Mereka memaknai arti perjuangan dan pengorbanan Yesus secara benar demi keselamatan umat Tuhan yang ditindas oleh sistem penguasa yang merendahkan harkat dan martabat umat Tuhan. Mereka merelakan diri dikurung dalam trali besi penguasa, bahkan membiarkan tubuhnya ditembusi timah panas.

Mereka memposisikan diri sebagai penyelamat rakyat tertindas demi menegakan keadilan dan kebenaran serta kedamaian. Mereka mengabdikan hidupnya demi umat Tuhan yang ditindas oleh sistem penguasa yang memiskinkan dan menguras rakyat kecil.

Michael Lowy (2013) dalam bukunya yang berjudul “Teologi Pembebasan: Kritik Marxisme & Marxisme Kritis”, memberikan gambaran kepada kita tentang arti perjuangan dan pengorbanan Kristus demi keselamatan rakyat kecil yang pernah dimaknai oleh para rohaniwan di Amerika Latin. Mereka telah mengikuti perjuangan dan pengorbanan Yesus dalam kehidupan rakyat miskin dan tertindas.

Beberapa diantaranya yang paling berjasa dalam memerangi keserbakuasaan, seperti berikut ini:

Pertama, Romo Camilo Torres, mengorganisir suatu gerakan rakyat militan dan bergabung dengan Tentara Pembebasan Nasional (ELN), suatu gerakan gerilya Castrois di Kolombia pada tahun 1965. Torres akhirnya terbunuh pada tahun 1966 dalam suatu pertempuran dengan tentara pemerintah.

Kedua, Frei Betto (Carlos Alberto Libanio Cristo) adalah seorang anggota Serikat Dominikan sebagai seorang calon biarawan. Betto telah mengabdikan dirinya kepada umat Tuhan yang ditindas oleh kediktatoran hegemoni Brazilia.

Penindasan, kemiskinan dan perampasan hak hidup rakyat terjadi dimana-mana pada tahun 1969. Simpati dan kepedulian inilah yang membuat Betto harus mendekam di balik trali besi penguasa militer pada tahun 1969 sampai 1973.

Ketiga, Romo Gaspar Garcia Laviana tertembak mati dalam suatu pertempuran melawan pasukan pengawal nasional pada 11 Desember 1978.

Keempat, Uskup Agung, Monsinyor Oscar Romero dan pembantu Uskup Agung, Monsinyor Riveray Damas, mengutuk penindasan militer atas gerakan-gerakan kerakyatan dan membunuh banyak romo serta pegiat awam lainnya. Pada bulan Maret 1980, Monsinyur Romero ditembak mati.

Kelima, Romo Rutilio Grande, seorang Jesuit El Salvador mengajar di seminari San Salvador, tetapi kemudian memutuskan untuk meninggalkan kota dan memilih hidup di tengah orang-orang miskin di pedesaan. Ia memimpin sekelompok romo mulai menjalankan tugas misi mereka di kalangan para petani miskin di wilayah kepastoran Aquilaras pada tahun 1972-973.

Pandangan mereka: “Suatu masyarakat dari orang-orang yang saling bersaudara yang bertekad bersama membangun suatu dunia baru, tanpa para penindas maupun para tertindas sesuai dengan rencana Tuhan.”

Mereka membacakan Injil kepada para petani dan membandingkan kehidupan orang-orang desa itu. Akhirnya mereka kemudian menegaskan, pentingnya perjuangan melawan dosa sosial yang wujud dalam proses penghisapan dan kapitalisme. Pada tahun 1977, Romo Rutilio ditembak mati oleh tentara pemerintah.

***

Para rohaniwan ini telah memaknai dan mengikuti keteladanan Yesus. Mereka telah membuat karya-karya nyata demi keselamatan rakyat miskin hingga rela berjuang dan berkorban demi keadilan, kebenaran dan kedamaian tercipta di tengah kehidupan umat Tuhan.

 

Mereka telah membuktikan bahwa Gereja dan rohaniwan bisa dan mampu melawan sistem kekuasaan yang menindas umat Tuhan.

Seharusnya para rohaniwan, terutama Uskup lima Keuskupan di Tanah Papua pada umumnya dan khususnya Uskup Jayapura lebih berperan aktif dalam melawan keserbakuasaan, tetapi mengutuk dan kecewa atas suara suara kenabian.

Konteks ini menunjukan bahwa kurang ajar yang sebenarnya adalah rohaniwan yang mencintai diri sendiri dan membiarkan umat Tuhan hidup dalam penindasan dan penderitaan.

Refleksi

Kekecewaan seorang Uskup dalam menanggapi suara kenabian para rohaniwan ini memberikan kesan secara tersirat merestui dan membiarkan umatnya hidup dalam penindasan dan penderitaan. Sementara umat didoktrin melalui khotbah agar terus berada dalam suasana serba pasrah demi mengejar hidup yang kekal setelah mati.

Lantas, akankah umat Tuhan di Papua sadar dan bertanya: apakah terus membiarkan diri hidup dalam penindasan dan penderitaan serta ketidakadilan demi mengejar hidup yang kekal itu? Haruskah umat Tuhan di Papua menunggu penyelamatan dari atas?

 

Lalu, dosakah jika melawan sistem yang menindas dan menghisap umat Tuhan di Papua demi menegakan keadilan, kebenaran dan kedamaian?

Semua itu akan dimengerti ketika kita mengenal pribadi Yesus dengan ajaran-Nya secara luas.

*Penulis adalah Mantan Ketua Forum Komunikasi Pelajar dan Mahasiswa Katolik Papua Daerah Istimewa Yogyakarta.

___________
Referensi:

Lowy, Michael, (2013) Teologi Pembebasan: Kritik Marxisme & Marxisme Kritis, Yogyakarta: INSIST Press.

www.tabloidjubi.com, 24 Desember 2015.

Terkini

Populer Minggu Ini:

AMAN Sorong Malamoi Gelar Musdat III di Wonosobo

0
“Kita harus berkomitmen untuk jaga dan lindungi tanah adat untuk keberlanjutan hidup generasi kita,” kata Yulius kepada suarapapua.com pada 30 April 2024.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.