ArsipKoalisi Peduli Korban Sawit Nabire Desak PT. Nabire Baru Segera ‘Out’!

Koalisi Peduli Korban Sawit Nabire Desak PT. Nabire Baru Segera ‘Out’!

Jumat 2016-01-29 10:56:01

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Nabire Baru didesak segera ‘out’ dari tanah adat milik Suku Besar Yerisiam Gua di Kampung Sima, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Papua.

“Tidak ada alasan, tidak ada dasar hukum bagi PT Nabire Baru. Perusahaan itu harus angkat kaki dari tanah adat Yerisiam, sekarang juga,” ujar Melianus Duwitau, anggota Koalisi Peduli Korban Sawit Nabire (KPKSN), Jumat (29/1/2016).

Aktivis Forum Independen Mahasiswa (FIM) yang juga tergabung dalam KPKSN ini menyatakan, fakta hukum membuktikan, PT. Nabire Baru beroperasi tanpa dasar hukum. (Baca: Tolak PT. Nabire Baru, Gubernur Harus Bertanggungjawab).

Penerbitan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Papua Nomor 142 Tahun 2008 tentang Pemberian Ijin Usaha Perkebunan Kepada PT. Nabire Baru diduga penuh konspirasi segelintir kelompok dengan mengabaikan prosedur aturan hukum yang berlaku di Indonesia.

Diduga kuat, ijin didapat pihak investor atas “jasa” beberapa oknum pejabat dan staf di lingkungan Pemkab Nabire dan Pemprov Papua.

Konspirasi dimaksud, SK IUP tersebut diterbitkan tanpa ada dokumen Amdal dari investor. Kesalahan prosedural ini dinilai menabrak aturan baku yang biasanya SK IUP akan diberikan setelah ada kajian analisis mengenai dampak lingkungan dari seluruh aktivitas perusahaan.

“Bagaimanapun SK Gubernur Papua Nomor 142 tahun 2008 itu harus dicabut. PTUN dalam putusannya wajib batalkan karena sudah bertentangan dengan aturan,” ujarnya.

SK tertanggal 30 Desember 2008 itu diterbitkan di era Barnabas Suebu, SH.

Koordinator KPKSN, John NR Gobai menegaskan, kekuatan hukum bagi PT. Nabire Baru sangat lemah. Dasar hukum yang dipegang perusahaan ini tak kuat. SK IUP diterbitkan tanpa prosedur, juga menyalahi wewenang administrasi.

Karena itu, perusahaan tersebut dianggap illegal, meski selama ini diback-up pasukan keamanan “bayaran”. (Baca: Ini Tuntutan Koalisi Peduli Korban Sawit Nabire).

Tak ada tujuan lain dari gugatan yang dilayangkan ke PTUN Jayapura, selain konklusi akhir adalah cabut SK IUP tersebut.

“Di persidangan kita sudah serahkan sejumlah bukti dokumen yang memperkuat gugatan untuk mencabut surat SK IUP bagi PT. Nabire Baru. Kita juga beberkan fakta-fakta di lapangan,” kata Eliezer Murafer, kuasa hukum penggugat.

Tokoh Pemuda dari Masyarakat Suku Besar Yerisiam Gua, Gunawan Inggeruhi juga senada bahwa SK tersebut harus dicabut.

Dengan dicabutnya SK IUP melalui putusan PTUN Jayapura, pihak perusahaan wajib tinggalkan lokasi perkebunan Kelapa Sawit yang selama delapan tahun telah hancurkan hamparan hutan adat, kebun dan ekosistem bahkan kawasan keramat turut dilindas.

Gunawan menegaskan, pihaknya menggugat SK Gubernur Provinsi Papua Nomor 142 Tahun 2008 itu karena diduga kuat tanpa melalui prosedur yang benar. Menurutnya, SK tersebut rancu karena ada pertentangan dari aspek proses prosedural dan tatanan hukum di negara ini.

Selain menyalahi prosedur, SK diterbitkan tanpa dokumen Amdal. “Bagaimana mungkin pemerintah mau menilai layak dan tidaknya ijin diberikan kepada sebuah perusahaan, jika Amdal saja tidak ada. Ini sangat aneh,” ujarnya mempertanyakan.

Diketahui, dokumen Amdal baru ada pada tahun 2013, sementara Pemerintah Provinsi Papua lebih dulu terbitkan SK IUP itu pada tahun 2008. Juga tak punya Hak Guna Usaha (HGU) dari instansi berwenang.

MARY

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP: Aneksasi Papua Ke Dalam Indonesia Adalah Ilegal!

0
Tidak Sah semua klaim yang dibuat oleh pemerintah Indonesia mengenai status tanah Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena tidak memiliki bukti- bukti sejarah yang otentik, murni dan sejati dan bahwa bangsa Papua Barat telah sungguh-sungguh memiliki kedaulatan sebagai suatu bangsa yang merdeka sederajat dengan bangsa- bangsa lain di muka bumi sejak tanggal 1 Desember 1961.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.