JAYAPURA, SUARAPAPUA.COM — Nioluen Kotouki, anggota DPR Papua menegaskan, Presiden jangan anggap remeh dengan masalah rasisme. Presiden harus turun tangan. Ini catatan penting untuk para bupati yang sedang bersemangat untuk urus pemekaran DOB di Tanah Papua.
“Banyak mahasisea dari kabupaten masing-masing sudah pulang karena rasisme. Coba selesaikan masalah ini dulu. Soal pemekaran jeda dulu. Perhatikan dan bicara soal nasib mahasiswa eksodus jauh lebih penting dan mendesak sekarang ini,” tegas Kotouki, Kamis (8/11/2019) kemarin kepada suarapapua.com di Jayapura menanggapi beberapa bupati yang sedang bersemangat untuk pemekaran DOB di Tanah Papua.
Nioluen mengaku kesal lantaran para bupati membiarkan dan menggantungkan nasib mahasiswa Eksodus.
“Nasib mahasiswa eksodus digantung. Persoalan ini tidak ditanggapi. Coba para Bupati selesaikan masalah mahasiswa eksodus karena mahasiswa adalah tulang punggung Papua,” tegasnya.
Ia menyarankan agar para bupati melakukan pendekatan terus dengan mahasiswa eksodus dan tidak didiamkan. Masalah ormas dan mahasiswa Papua di beberapa daerah tidak pernah diselesaikan. Sehingga perlu ada tanggapan dan penyelesaian secara serius dari pemerintah provinsi dan daerah.
Baca Juga: Soal Pembentukan DOB, MRP: Intelijen Sedang Menghancurkan Papua
“Sebenarnya harus ada negosiasi tapi sudah terlambat. Dan kesempatan untuk memberikan perhatian ke mahasiswa eksodus itu sudah diambil alih oleh kelompok kepentingan yang sekarang minta pemekaran provinsi,”katanya.
Kotouki sayangkan nasib mahasiswa eksodus yang secara akademik sudah tidak kuliah selama dua bulan terakhir. Hal ini bisa berujung pada drop out dari kampus.
“Mahasiswa yang sudah pulang ke Papua ini bukan satu atau dua. Jumlahnya ribuan. Komunikasi tidak bagus antara pemerintah dan mahasiswa jangan dianggap biasa karena ini menyangkut masa depan mereka. Masa depan Papua,” tegasnya.
Ia menyarankan untuk mahasiswa melakukan pendekatan dengan pemerintah di provinsi dan kabupaten masing-masing.
“Saya harap adik –adik mahasiswa eksodus ada korwil. Sehingga secara struktur masing-masing melakukan pendekatan ke pemerintah dan adik-adik dapat melanjutkan aktivitas perkuliahan,” katanya.
Seperti diberitakan media ini sebelumnya, Juru bicara mahasiswa eksodus Mee Pago di Nabire, Arnold Douw mengatakan mahasiswa Papua di kota studi lain pun mengalami hal yang sama. Soal rasis tidak hanya dirasakan mereka, akan tetapi seluruh elemen rakyat Papua.
“Kami tidak bisa beraktifitas dengan bebas sehingga kami pulang. Sebabnya, di Papua, dari PNS, Gubernur, Bupati, TNI/Polri asli Papua, mahasiswa-mahasiswi dan masyarakat Papua tersentuh isu ini, sehingga semua elemen rakyat Papua telah melakukan aksi protes secara besar-besaran di Papua,” katanya.
Baca Juga: Mahasiswa Eksodus Meepago: Kami Pulang karena Tidak Aman
Mahasiswa eksodus asal Kabupaten Mimika, Papua, yang diklaim jumlahnya 965 orang, sejak beberapa waktu lalu meninggalkan kampus dan sekolah di setiap kota studi, menyatakan tidak akan menerima apapun tawaran dari siapapun.
Lima poin hasil kesepakatan dan keputusan bersama diambil 2000 mahasiswa asal Yahukimo yang memilih meninggalkan aktivitas perkuliahan di berbagai kota studi di seluruh Indonesia.
Baca Juga: Begini Sikap 965 Mahasiswa Eksodus Asal Kabupaten Mimika
Selain itu, salah satu keputusan dari mahasiswa eksodus asal Yahukimo yang dikategorikan paling berani adalah tidak akan kembali ke kota studi mereka.
“Kami mahasiswa Yahukimo se-Indonesia menyatakan sikap tidak akan kembali ke kota studi se-Indonesia,” bunyi keputusan pada poin ketiga.
Baca Juga: Inilah Keputusan 2000 Mahasiswa Eksodus Asal Yahukimo
Pewarta : SP-CR08
Editor: Arnold Belau