MPR for Papua Bersuara Terkait Penembakan Pendeta Yeremia di Intan Jaya

0
1218

TIMIKA, SUARAPAPUA.com — Ketua MPR for Papua, Yoris Raweyai mulai angkat bicara terkait penembakan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani di Kampung Bomba, Distrik Hitadipta, Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua.

Melalui keterangan tertulis yang diterima Seputarpapua.com, Minggu (4/10) Yoris mengatakan, meninggalnya Pdt Yeremia telah menambah deretan luka dan duka yang dialami Masyarakat Papua di masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Dikatakan, menurut data Amnesty International, 47 kasus kekerasan (pembunuhan) di luar proses hukum (extrajudicial killing) terjadi dalam rentang 2018 – 2020.

Sebanyak 94 korban merupakan Orang Asli Papua (OAP). Dari sebaran kasus, paling banyak terjadi di wilayah konflik.

Lebih lanjut dalam data tersebut, sekian banyak kasus yang disebut ditindaklanjuti dalam bentuk investigasi, tidak menuai kejelasan bagi publik.

ads

Terkait kasus terkini yang menyita perhatian publik nasional dan internasional, yakni tewasnya Pendeta Yeremia Zanambani akibat luka tembak oleh oknum bersenjata pada akhir September lalu.

Ia mengatakan, sudah saatnya Pemerintah Pusat dengan segala perangkat institusional yang dimilikinya melakukan instropeksi dan evaluasi atas segala kebijakan keamanan yang selama ini dijalankan.

Manuver pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dalam mengungkap dalang dan motif pembunuhan tidak akan menyelesaikan akar persoalan yang sesungguhnya bermukim di benak Masyarakat Papua.

Baca Juga:  Negara Mengajukan Banding Atas Vonis Frank Bainimarama dan Sitiveni Qiliho

Apalagi proses pembentukan tersebut tidak melibatkan perwakilan masyarakat Papua yang terepresentasi dalam MPR for Papua yang sejatinya menjadi fasilitator, dan penyambung aspirasi antara kepentingan masyarakat Papua dengan kepentingan Pemerintah Pusat.

Ia mengungkapkan, sejak pertemuan antara MPR for Papua dengan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, Panglima TNI dan Kapolri pada September lalu, telah dilakukan kesepakatan agar segala persoalan yang terkait dengan Papua hendaknya melibatkan MPR for Papua yang terdiri dari Anggota DPR dan DPD dari Daerah Pemilihan Papua dan Papua Barat.

Representasi politik dan regional yang memiliki legitimasi konstitusional akan menghadirkan solusi-solusi yang lebih komprehensif, khususnya dalam penyelesaian persoalan Papua.

“Oleh karena itu, kami memandang bahwa pembentukan TGPF hanya akan menambah persoalan baru yang semakin membuktikan bahwa Pemerintah Pusat tidak pernah usai melakukan kebijakan sepihak demi kepentingan kekuasaan semata. Dalam berbagai opini dan diskusi, sangat jelas dinyatakan bahwa Elemen Masyarakat Papua yang terdiri dari berbagai Organisasi Masyarakat Sipil serta Pihak Gereja menaruh pesimis atas langkah-langkah yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui TGPF,” kata Yoris.

Menurutnya, keraguan itu bukanlah tanpa alasan. Sebab berbagai kekerasan di Papua yang terjadi selama ini sangat minim menuai kejelasan di mata publik. Jika tidak, berbagai kesimpulan yang dihasilkan hanya menempatkan Masyarakat Papua sebagai sumber persoalan.

Baca Juga:  Angkatan Bersenjata Selandia Baru Tiba di Honiara Guna Mendukung Demokrasi Pemilu Solomon

“Hal itu misalnya yang terangkum dalam sejumlah pernyataan Pihak Aparat Keamanan dalam menyimpulkan kasus penembakan di Papua baru-baru ini. Aparat Keamanan menyebut oknum pelaku berasal dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Sementara Pihak Keluarga (saksi) menyebut pelaku dari Aparat TNI,” tutur Yoris.

Jika demikian, maka ditambahkan Yoris, pembentukan TGPF sama sekali tidak akan menjawab kebenaran yang hendak dihasilkan dari pencarian fakta.

Ketidakterlibatan pihak-pihak yang seharusnya mewakili suara dan aspirasi masyarakat Papua tentu saja hanya akan menghasilkan kesimpulan subjektif.

Sebab sejak awal, Tim tersebut tidak memenuhi unsur independensi dan imparsialitas sebagaimana yang dipersyaratkan dalam pencarian fakta dan kebenaran itu sendiri.

MPR for Papua memandang bahwa sikap Pemerintah Pusat dalam menindaklanjuti kasus demi kasus sesungguhnya merupakan bagian dari cara dan pola lama yang tidak beranjak sediktpun dari kelazimannya.

Parsialitas penanganan Papua masih bercokol dalam paradigma penyelesaian persoalan. Akibatnya, cara dan pola tersebut pun tidak akan menghasilkan kesimpulan yang baru.

MPR for Papua memandang pembentukan TGPF adalah manuver sia-sia dari kekuasaan yang buta, tuli dan abai atas aspirasi Orang Papua.

Baca Juga:  Polisi Bougainville Berharap Kekerasan di Selatan Mereda

Para Wakil Rakyat sebagai perpanjangan tangan dan suara Papua di Parlemen yang tidak tersentuh sedikitpun oleh kebijakan pemerintah, hanya akan berakibat pada semakin hilangnya kepercayaan publik Papua terhadap Pemerintah Pusat.

Bahkan kata Yoris, berbagai pertemuan MPR for Papua dengan Pemerintah Pusat selama hanyalah retorika demi kepentingan pragmatisme kekuasaan.

“Selebihnya, niat dan maksud baik MPR for Papua sama sekali tidak menuai respons signifikan,” ujar Yoris.

Pemerintah Pusat berjalan sendiri mengatasnamakan pencarian fakta dan kebenaran yang boleh jadi merupakan ilusi yang tidak berujung. Hingga suatu saat gejolak dan persoalan Papua semakin menganga dan tidak lagi bisa disembuhkan.

Atas dasar itu, MPR for Papua meminta kebijakan pencarian fakta yang sepihak ini dihentikan untuk direvisi dan dievaluasi.

Pemerintah Pusat seharusnya mengedepankan kedewasaan politik dalam bersikap, sebab akar persoalan sesungguhnya adalah pengabaian akan kemanusiaan, kesejahteraan dan keadilan.

“Paradigma itulah yang harus dijadikan visi dan misi bersama untuk kemudian dituangkan dalam bentuk kebijakan. Jika tidak, maka publik Papua hanya akan terus menyaksikan kekerasan demi kekerasan yang tidak berkesudahan,” pungkas Yoris. (*)

VIASeputar Papua
Artikel sebelumnyaTNI/Polri dan TPNPB Kembali Baku Tembak di Areal Perkantoran Kab. Intan Jaya
Artikel berikutnyaPemprov Papua Rekomendasikan KKR ke Jakarta