ArtikelMRP Ditolak RDP, Para Elit Lupa Identitas Dalam Madu Otsus Papua

MRP Ditolak RDP, Para Elit Lupa Identitas Dalam Madu Otsus Papua

Oleh: Donatus Mote)*
)* Penulis adalah salah satu intelektual muda Papua dari Meepago

Otonomi Khusus (Otsus) Papua akan berakhir pada tahun 2021. Topik ini belakangan hangat dibicarakan sebagai masalah serius oleh berbagai kalangan di dalam maupun luar Papua. Tidak hanya masyarakat Papua, para elit di pemerintahan baik pemerintah pusat maupun daerah juga berbicara di berbagai forum.

Uniknya, di tingkat elit ada pro dan kontra bahwa ada yang minta agar Otsus jilid II dilanjutkan. Tetapi juga ada yang tidak. Sementara di kalangan masyarakat asli Papua 99% sudah menyatakan sikap untuk tolak Otsus.

Mencermati dinamika demikian, Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representasi Orang Asli Papua menjalankan tugasnya untuk menjaring aspirasi sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 77.

Di tengah perdebatan yang panjang itu, MRP menjadwalkan untuk turun langsung ke masyarakat asli Papua untuk mendengar aspirasi atau pendapat rakyat dari setiap wilayah adat. Di lima wilayah adat Papua (Lapago, Meepago, Animha, Saireri, dan Mamta), MRP menjalankan tugasnya untuk mendengar pendapat rakyat secara langsung.

Untuk wilayah adat Meepago yakni kabupaten Nabire, Paniai, Dogiyai, Deiyai, dan Intan Jaya, dijadwalkan pada hari Selasa (17/11/2020) yang dipusatkan di kabupaten Dogiyai. Namun sayang sekali karena kedatangan MRP di wilayah Meepago dibatalkan oleh ketua Asosiasi Bupati Meepago dengan mengirimkan surat penolakan kepada ketua MRP di Jayapura.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Menurut bupati Nabire Isaias Douw selaku ketua Asosiasi Bupati Meepago, ada tiga poin yang menjadi dasar penolakan MRP hadir di tengah-tengah masyarakat adat Meepago. 1). Karena kabupaten Nabire sedang menyelenggarakan Pilkada serentak tahun 2020. 2) Memperhatikan Maklumat Kapolda Papua yang melarang untuk melaksanakan Rapat Dengar Pendapat. 3) Memperhatikan surat larangan dari Kapolres Nabire.

Menjadi pertanyaannya, mengapa Kapolda Papua, Kapolres Nabire, dan Bupati Nabire begitu ketakutan dengan kehadiran MRP untuk mendengar pendapat rakyat tentang Otsus Papua?. Ada apa dibalik penolakan itu?. Tujuan MRP hadir langsung di tengah rakyat sudah jelas, lantas apa tujuan terselubung dari Polda, Polres, dan Bupati Nabire?.

MRP datang ke wilayah adat Meepago hanya untuk mendengar pendapat langsung dari rakyat terhadap Otsus yang diberlakukan sejak tahun 2001 itu. MRP mau mendengar langsung suara rakyat, karena rakyat yang merasakan langsung Otsus, bukan para pejabat daerah dan pejabat negara.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Itu berarti MRP bukan mau mendengar pendapat Kapolda, Kapolres, dan Bupati Nabire. MRP hadir atas dasar kebudayaan rakyat Papua. Otsus juga hadir karena rakyat Papua.

Sudah 20 tahun Otsus diterapkan di Tanah Papua dan kini sudah di ambang pintu untuk berakhir. MRP sebagai representasi masyarakat adat Papua wajib dan mempunyai hak untuk kembali evaluasi dengan rakyat. Bahan evaluasinya adalah melihat kembali bagaimana perkembangan selama masa implementasi, apa dampak positif dan negatif yang terjadi selama kebijakan ini diberlakukan, bagaimana nilai kemanusiaan Papua selama Otsus, HAM bagi orang Papua, apa yang terjadi terhadap kelestarian budaya, kekayaan alam, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain sebagainya.

Setelah MRP dengan masyarakat asli Papua evaluasi bersama, maka MRP wajib untuk meminta pendapat rakyat bahwa apakah Otsus dilanjutkan atau tidak. Tentu saja masyarakat akan menentukan sikap dilanjutkan atau tidak berdasarkan hasil evaluasi Otsus bersama MRP. Maka, apapun keputusan masyarakat, entah dilanjutkan atau tidak, adalah keputusan mutlak.

Namun sayang sekali karena agenda MRP untuk mendengar pendapat rakyat dibatalkan oleh para elit daerah yang sedang kenyang dengan Otsus Papua. Paling aneh lagi adalah surat penolakan dikeluarkan sebelum satu hari kegiatan diadakan di kabupaten Dogiyai.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Sekalipun MRP tidak hadir pada tanggal 17 November 2020 di kabupaten Dogiyai karena dibatalkan oleh pemerintah Indonesia, masyarakat asli Papua dari wilayah adat Meepago telah hadir memenuhi ibukota kabupaten Dogiyai. Masyarakat juga menyampaikan pendapatnya dalam bentuk orasi yang diakhiri dengan membacakan pendapat rakyat tentang Otsus Papua.

Ini artinya bahwa sekalipun pemerintah melarang MRP hadir di wilayah Meepago, masyarakat Meepago sudah menyatakan sikapnya dan pernyataan sikap atau aspirasi itu harus diserahkan kepada MRP. Maka diharapkan kepada MRP bahwa harus mengakomodir aspirasi-aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat dengan berbagai cara, entah melalui lisan maupun secara tertulis.

Otsus Papua mau lanjut atau tidak, tentu keputusan ada di tangan rakyat asli Papua. Bukan sama Kapolda, bukan Kapolres, dan bukan juga Bupati. Dalam hal ini MRP mampu menunjukkan karakter ke-Papua-an. Jangan kalah dengan berbagai permainan para elit yang sudah lupa identitas dalam madu Otsus Papua!. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

AMAN Sorong Malamoi Gelar Musdat III di Wonosobo

0
“Kita harus berkomitmen untuk jaga dan lindungi tanah adat untuk keberlanjutan hidup generasi kita,” kata Yulius kepada suarapapua.com pada 30 April 2024.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.