BeritaAMPTPI: Pro dan Kontra RDP Mirip Pepera 1969

AMPTPI: Pro dan Kontra RDP Mirip Pepera 1969

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Asosiasi mahasiswa pegunungan tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) menilai pro dan kontra agenda rapat dengar pendapat (RDP) terhadap implementasi Otsus di Tanah Papua mirip dengan momentum Pepera 1969, lantaran rakyat dan anggota MRP disandera, dihadang dan dilarang oknum tertentu bahkan aparat keamanan.

Atines Wonda, wakil sekretaris II AMPTPI, mengatakan, RDP dari MRP ini mirip dengan kejadian pada saat Pepera 1969 yang diwarnai keterlibatan militer Indonesia secara masif dan kejam telah dirasakan rakyat Papua bahkan tercium di mata publik.

“Dulu saat Pepera 1969, orang tua kami mendapat tekanan dan ancaman dari militer Indonesia, ini tercium lagi di saat agenda RDP dari MRP,” ujarnya, Selasa (17/11/2020) saat bertandang ke redaksi suarapapua.com.

Terhadap maklumat Kapolda Papua dan para bupati yang menolak melaksanakan agenda RDP, Wonda mengatakan, seharusnya itu tidak terjadi jika menghargai MRP sebagai lembaga negara seturut pemberlakuan Otsus di Tanah Papua.

Baca Juga:  Satgas ODC Tembak Dua Pasukan Elit TPNPB di Yahukimo

“Sesuai amanat kontitusi Undang-Undang Otsus pasal 77 yang bisa menilai efektif dan tidaknya pelaksanaan Otsus ada di tangan rakyat akar rumput Papua. Hargailah MRP sebagai lembaga bentukan negara Indonesia,” tuturnya.

Jika MRP tak dihargai, negara bersama lembaga negara yang melarangnya tak menghargai atau bahkan disebut turut menggagalkan Otsus di Tanah Papua.

“Pemerintah tidak punya legitimasi terhadap agenda RDP yang dijalankan MRP, sehingga lima wilayah adat harus tetap jalankan RDP,” kata Wonda menegaskan.

Pembungkaman ruang rakyat Papua menyampaikan pendapat termasuk melarang kegiatan RDP dengan alasan Covid-19 dan alasan terselubung lainnya, menurut Hengki Mote, ketua DPW AMPTPI Indonesia Timur, tak dapat dibenarkan karena MRP dibentuk oleh negara setelah kebijakan Otsus diberlakukan di Tanah Papua.

Baca Juga:  Panglima TNI Didesak Tangkap dan Adili Prajurit Pelaku Penyiksa Warga Sipil Papua

Aparat keamanan baik Polri maupun TNI dan pemerintah daerah seharusnya mendukung MRP. Tetapi jika larang, kata Mote, artinya rakyat menilai sebagai pelaku pembungkaman ruang demokrasi di Tanah Papua yang terbukti tidak menghargai tupoksi MRP dalam menjalankan RDP di lima wilayah adat.

“Mereka tidak menghargai kapasitas lembaga negara lain. Pemerintah daerah bersama Polri dan TNI harus kembali melihat Undang-Undang yang ada,” katanya.

Mote berharap, pemerintah daerah bersama aparat keamanan dan sekelompok ormas mesti menerima RDP dilaksanakan MRP, bukan justru menolak dan memfasilitasi sekelompok orang asli Papua untuk melakukan penyanderaan dan tindakan tidak terpuji.

“MRP sebagai lembaga kultur adat Papua yang diakui dalam konstitusi UU Otsus itu sendiri,” tegasnya.

Karena itu, lanjut dia, entah bagaimana pun, rakyat Papua berhak mengevaluasi dan menentukan Otsus di Tanah Papua.

Baca Juga:  Berlakukan Operasi Habema, ULMWP: Militerisme di Papua Barat Bukan Solusi

Efendi Minai, sekretaris DPW AMPTPI Indonesia Timur, menambahkan, para bupati di lima wilayah adat seharusnya mengutamakan kepentingan umum dengan mengizinkan MRP mengadakan RPD bersama rakyat asli Papua.

Otsus telah diberlakukan, kata Minai, sekarang mau lanjut atau tidak adalah hak rakyat pemilik Tanah Papua.

“Otsus tidak pernah sejahterakan rakyat Papua, apalagi agenda RDP yang dilakukan MRP saja ditolak, jadi kami sudah cap itu sebagai skenario dari negara,” ujarnya.

Agenda RDP oleh MRP, ia menilai sebagai tugas dan tanggungjawabnya sebagai lembaga kultur Papua yang juga dijamin konstitusi di negara ini.

“Sudah jelas aparat keamanan, pemerintah daerah dan segelintir orang yang mengatasnamakan rakyat Papua itu sangat keliru.”

Pewarta: Yance Agapa
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Partai-Partai Oposisi Kepulauan Solomon Berlomba Bergabung Membentuk Pemerintahan

0
"Kelompok kami menanggapi tangisan dan keinginan rakyat kami untuk merebut kembali Kepulauan Solomon dan mengembalikan kepercayaan pada kepemimpinan dan pemerintahan negara kami," kata koalisi tersebut dalam sebuah pernyataan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.