ArtikelCatatan Aktivis PapuaMusnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Sadarlah kau cara hidupmu yang hanya menelan korban yang lain!

Oleh: Markus Haluk*
*) Penulis adalah Sektretaris Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)

I. 114 Tahun Kota Jayapura; Dimanakah Engkau Berada?

Sekiranya syair lagu milik musisi Black Brothers ini layak dilantunkan bersama hari ini ketika mengenang dan memperingati 114 tahun HUT Kota Jayapura. Sembari melantunkan syair lagu tadi, pertanyaan sederhananya adalah pada saat Anda memperingati 114 tahun, apa yang Anda pikirkan tentang nasib pemilik tanah Port Numbay? Dimanakah kini orang Port Numbay berada? Dimana posisi orang Papua lainnya di tanah ini? Bagaimana nasib suku-suku asli di berbagai belahan dunia lain setelah orang Eropa tiba di wilayah mereka?.

Bertepatan HUT ke-114, saya coba membagikan tulisan ini sebagai bahan refleksi bersama dengan mengacu pada fakta sejarah masa lalu dan melihat masa depan orang asli Port Numbay di tanah leluhur mereka.

Pada 1903, pemerintah Belanda untuk pertama kalinya membuka pos pemerintahan di dekat kali Imbi, kota Jayapura. Sejak dibukanya pos pemerintahan telah terjadinya migrasi warga Eropa dan Asia (Indonesia) masuk di kota Jayapura. Migrasi semakin meningkat ketika Pos Penginjilan dan Zending dibuka di kota ini. Migrasi dalam rangka penginjilan, warga dari beberapa wilayah basis Kristen dari Indonesia seperti Toraja, Manado, Sanger, Batak, Jawa Tengah, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur, membantu para Pendeta dan Pastor di kota ini.

Sekalipun kesepakatan pembagian wilayah pelayanan di Papua antara Misi Katolik di wilayah gunung-selatan dan Zending GKI wilayah gunung-utara telah dicabut pada 1927, tetapi memasuki pada 1929 Gereja Katolik dilarang membangun pos di kota Jayapura. Para misionaris Katolik diarahkan untuk membuka Pos Penginjilan di wilayah pedalaman: Arso dan Waris (Keerom). Memasuki 1930, Gereja Katolik mulai membuka Pos Penginjilan (Gereja) di kota Jayapura.

Pada 1950, pemerintah Belanda membuka Masjid pertama di kota Jayapura, tepatnya di ujung jalan Percetakan. Masjid ini dibangun oleh pemerintah Belanda bagi warga migran dari Indonesia (Jawa dan Sulawesi).

Pada 1930, warga trans dari Jawa tiba di Jayapura dan ditempatkan di Sabron, yang kemudian dikenal dengan lokasi Kerto Sari.

Pada 1962, warga migran Indonesia dan Belanda di kota Jayapura sekitar 2.200 orang. Pemerintah Belanda mulai 1949-1961 menggalang pembangunan dalam rangka mempersiapkan Papua Merdeka.

Dalam kurun waktu tersebut, pemerintah Belanda menggalang bidang pembangunan, pelatihan kerja bagi orang Papua. Pada 1961-1971 pemerintah Belanda berencana menyiapkan orang Papua dalam bidang politik dan pemerintahan. Pada 1971, pemerintah Belanda berencana menyerahkan sepenuhnya kedaulatan kepada orang Papua untuk merdeka dan berdaulat. Namun rencana pemerintah Belanda digagalkan oleh pemerintah Indonesia dengan bantuan pemerintah Amerika Serikakat melalui PBB.

Migrasi penduduk di kota Jayapura dan Papua semakin meningkat pasca Mei 1963. Kota Jayapura sebagai ibu kota provinsi menjadi tujuan migrasi penduduk dari Indonesia maupun migrasi lokal dari Papua.

Sampai dengan memasuki awal tahun 2024, akibat migrasi penduduk kota Jayapura, orang asli Port Numbay menjadi minoritas. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) kota Jayapura, saat ini jumlah penduduk Orang Asli Port Numbay hanya 2,84 persen, dari total penduduk di kota Jayapura atau hanya ada 11.949 jiwa yang tersebar di 5 distrik.

Diakui bahwa telah terjadi migrasi dan pembangunan selama 60 tahun ini, tetapi tidak membawa dampak perubahan positif bagi penduduk setempat orang Port Numbay. Namun sebaliknya membawa dampak positif kepada warga migran non Papua dan non orang asli Port Numbay di tanah Port Numbay.

Kepemilikan tanah, 80% tanah lahan produktif yang ada di Port Numbay telah beralih tangan dan fungsi. Lebih dari 80 persen tanah di kota Jayapura diduduki dan di’miliki’ oleh penduduk migran non Port Numbay. Belakangan ini beberapa orang asli Port Numbay tinggal di rumah kontrakan/kos yang dibangun oleh orang non Port Numbay. Mereka juga semakin terisolasi dan tersingkir di pingiran kota. Beberapa dari mereka terkepung di tengah bangunan ruko-ruko, pasar dan bangunan lainnya. Semakin sulit ditemukan pemukiman asli orang Port Numbay. Hak kepemilikan tanah sudah beralih tangan dan fungsi.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Bertolak dari dari situasi demikian, pertanyaan refleksi saya adalah bagaimana nasib orang Port Numbay pada tahun 2124 atau pada 100 tahun yang akan datang? Migrasi dan pembangunan berdampak positif bagi orang Port Numbay?

II. Musnahnya Suku-suku Asli Dunia oleh Suku-suku Eropa

Pengalaman serupa sebagaimana yang dialami oleh orang Papua khususnya orang asli Port Numbay, selama 114 tahun ini juga dialami suku bangsa lainnya di berbagai benua. Kami gambarkan musnahnya suku-suku asli di wilayah benua Amerika (Amerika Latin dan Amerika Utara), Australia dan Asia.

Musnahnya suku-suku asli terjadi setelah 50-100 tahun kontak dengan orang asing dari Eropa.

  1. Amerika Latin

Pulau Hispaniola

Ketika Columbus menemukan pulau Hispaniola pada tahun 1492, ada kurang lebin 300.000 jiwa penduduk asli di sana. Empat tahun kemudian, karena perampokan migran dari Eropa, orang asli di Hispaniol hanya 200.000 jiwa yang tersisa.

Limapuluh tahun kemudian, hanya 5.000 (lima ribu) jiwa yang masih hidup. Sekarang hampir tidak ada yang dapat dihitung.

Brasil

Menurut perkiraan ahli sejarah, penduduk asli di Brasil berjumlah 4.000.000 jiwa sebelun bangsa Portugis masuk ke daerah itu pada abad ke-XVI.

Pada tahun 1900, hanya 500.000 jiwa yang sisa dalam 230 suku. Diantara tahun 1900 dan 1957 mereka diselidiki lagi hingga tinggal hanya 80.000 jiwa yang tersisa dalam 143 suku. Ini berarti, antara tahun 1900 dan 1957, ada 87 suku asli yang musnah di Brasil; dan ini berarti pula bahwa 1,5 suku asli musnah dalam setahun di satu negara.

Pada tahun 1971, jumlah penduduk asli telah menurun lagi menjadi 50.000 jiwa. Biasanya suku-suku hilang/musnah dalam 50 tahun setelah kontak yang pertama dengan mereka.

  1. Amerika Utara

Sejak para pionir dari Eropa mulai masuk pada abad ke-XVII, kira-kira 20 suku asli “have been pushed over the brink into extinction”, atau berada diambang kepunahan misalnya suku Iluron, suku Yahi, suku Yana, dan lain-lain.

Ada juga suku-suku lain yang hampir mati habis/musnah, tetapi kira-kira tahun 1900, pemerintah Canada dan USA lebih memperhatikan kebutuhan suku-suku tersebut, sehingga mulai terselamatkan.

Menurut US Cencus Bereau (Biro Sensus AS) pada 2022 total populasi suku asli Amerika saat ini ada sekitar 6,79 juta orang dari 331,9 juta penduduk Amerika Serikat. Angka tersebut menyumbang sekitar 2,09 persen dari total jumlah penduduk Amerika.

  1. Australia

Pulau Tasmania

Pada tahun 1803, pendatang dari Eropa telah mulai mengambil tanah suku asli yakni suku Aborigine di pulau Tasmania. Suku tersebut membalasnya dengan membunuh beberapa ekor sapi dari pendatang dari Eropa tersebut, sebagai “swan” atas tanah yang di ambil.

Tetapi di dalam penilaian orang migran Eropa, orang yang tidak berpakaian dan yang tidak berbahasa nasional, apa lagi yang selalu berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, tidak boleh disebut pemilik tanah. Walaupun nenek moyang mereka telah mendiami pulau itu ribuan tahun lamanya.

Akhirnya, pendatang Eropa itu bangun dan membunuh segala yang berwarna hitam dan yang berjalan di atas dua kaki. Sebagai akibatnya, kaum Aborigin (kurang lebih 5.000 jiwa) hilangkan dari pulau Tasmania dalam 73 tahun. Saat ini satu pun sulit dijumpai.

Daratan benua Australia

Suku Aborigin yang mendiami daratan Australia dulu berjumlah kira kira 300.000 jiwa. Sekarang hanya 115.000 jiwa yang tersisa. Dari 115.000 jiwa itu, akibat eksploitasi seksual, hanya 35.000 jiwa orang Aborigin yang dapat disebut sebagai “full-bloode”. Jumlah ini masih sedang “disedikiti” atau menuju pemusnahan.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Beberapa suku telah hilang seterusnya, misalnya suku yang dulu berdiam dekat muara sungai Swan di Australia Barat, menurut perhitungan pada abad lalu berjumlah 1.500 jiwa. Banyak kota besar di Australia, orang asli pemilik tanah dibunuh dan punah. Misalnya di daerah untuk kota Perth, suku itu cepat sekali “disedikiti” sampai anggotanya yang terakhir Joobailch meninggal pada tahun 1907. Pada 2023, jumlah penduduk orang asli suku Aborigin 812.728 jiwa dari populasi  26.439.111 jiwa.

  1. Wilayah Hindia

Kepulauan Andaman

Sebelum tahun 1858, kaum Negrito di pulau Andaman berjumlah 6.000 jiwa. Setelah pemerintah Inggris berkuasa/berkoloni, sekarang hanya 600 orang Negrito yang tersisa. Di antara mereka ada banyak perempuan yang disteril, dan dengan penyakit kelamin yang dimasukkan para migran pada abad yang lalu.

Pilipina

Suku-suku asli yang masih ada di pulau Mindanao sudah lama diusir dari pantai ke rimba, gunung-gunung di pedalaman. Susahnya para pedagang telah masuk wilayah hutan rimba itu juga, dan sedang membunuh penduduk pribumi dan merampas tanah mereka, khususnya untuk memperoleh hasil hutannya.

Misalnya pada tahun 1971 beberapa ratus penduduk asli dilaporkan menjadi korban dalam pembunuhan beşar di sebelah barat pulau Mindanao. Presiden Marcos turun tangan, dan telah menyusun sebuah organisasi yang disebut PANAMIN, dibawah pimpinan Manuel Elizalde, untuk melindungi suku-suku yang sedang “menuju pemusnahan” di pulau-pulau Pilipina.

Pada hari ini kita selalu mendengar laporan atau protes mengenai beberapa jenis binatang yang sedang musnah; misalnya Harimau di Sumatera, Komodo di Nusa Tenggara, Gorila di Afrika, buaya, ikan paus dan lain sebagainya. Tetapi belum banyak orang memperhatikan bahwa banyak sekali kebudayaan dan manusia sedang mengalami kemusnahan sama seperti jenis-jenis binatang tersebut diatas.

Merujuk pada fakta di atas dan statistik yang ada, para ahli memprediksi bahwa diperkirakan seluruh dunia sedang kehilangan 5 suku bangsa setiap tahun.

III. Ancaman Genosida dan Ekosida di West Papua

Mengikuti data BPS Papua dan berbagai penelitian demografi kependudukan di Tanah Papua, salah satunya adalah Dr. Jim Elmslie dalam Under the Gun Indonesian Economic Development versus West Papua Nationalism dapat diringkaskan sebagai berikut:

Pada tahun 1971, penduduk Papua berjumlah 923.000 jiwa terbagi non Papua 36.000, sedangkan Papua 887.000 jiwa.

Pada tahun 1990, non Papua 414.210 jiwa dan Papua berjumlah 1.215.897.00 dengan jumlah total 1.630.1.630.107.00 jiwa. Pada 2005, jumlah penduduk non Papua 1.087.694.00 dan Papua 1.558. 795.00 jiwa. Jumlah total 2.646. 489.00.

Pada 2011, jumlah non Papua 1.980.000.00 dan Papua 1.700.000,00. Jumlah total 3.680.000.00 jiwa . Pada 2020, jumlah penduduk provinsi Papua 4,3 juta jiwa dan provinsi Papua Barat 1,13 juta jiwa. Jumlah total penduduk provinsi Papua dan Papua Barat 5. 3.13.000 jiwa.

Dari jumlah penduduk Papua dan Papua Barat tersebut, dalam kurun waktu 10 tahun dari 2010-2020 provinsi Papua terjadi penambahan penduduk 1,3 juta jiwa, sedangkan penambahan penduduk provinsi Papua Barat 373,65 ribu jiwa. Total penambahan penduduk dari luar Papua yang masuk 1, 6 juta jiwa.

Bukan hanya manusia yang sedang musnah, tetapi juga terjadi pemusnahan pada lingkungan hidup.

Kejahatan lingkungan hidup di Papua selama 20 tahun (2001-2021) demi dan atas nama investasi. Sebagaimana diketahui bersama bahwa Papua memiliki 2/5 (38%) dari areal hutan yang masih ada di Indonesia, tetapi faktanya saat ini perusahaan-perusahaan membersihkan lahan untuk kelapa sawit, pabrik kertas/pulp, dan pertambangan yang beroperasi di Papua mengakibatkan deforestasi.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Penyebab lain untuk deforestasi adalah pembangunan infrastruktur sipil, pemukiman warga transmigrasi, pembangunan kantor, jalan trans antar kabupaten, dan daerah pembangunan infrastruktur TNI/Polri.

Pada Maret-Mei 2020, melalui citra satelit temukan deforestasi lahan seluas 1.488 hektar pada areal kelapa sawit. Yang terbesar di wilayah Manokwari (372 ha), di wilayah Merauke (372 ha), di Boven Digoel (222 ha), dan di Bintuni (110 ha). Laporan Indonesian Monitoring Coalition (koalisi ini terdiri dari 11 NGOs), deforestasi di Papua sangat meningkat selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2020, luas tutupan hutan Papua adalah 34,4 juta hektar (ha). Selama 20 tahun terakhir, areal hutan alami mengalami deforestasi 663,433 ha; 71% dari deforestasi ini terjadi selama kurun waktu 2011-2019. Maka rata-rata deforestasi di Papua sekitar 34,000 ha per tahun.

Puncaknya tahun 2015: 89,000 ha. Selama kurun waktu 2015-2019 (kabinet Jokowi I), Papua kehilangan 298,600 ha. Deforestasi yang paling besar adalah di wilayah Merauke (123,000 ha), Boven Digoel (51,600 ha), Nabire (32,900 ha), Teluk Bintuni (33,400 ha), Sorong (33,400 ha), dan Fakfak (31,700 ha).

Bertolak dari fakta ini, apabila ada penguasa kolonial Indonesia (Presiden Jokowi dan kabinetnya) pada Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara G-20 di Roma pada 31 Oktober 2021 mengatakan, “Indonesia memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Indonesia memiliki arti strategis dalam menangani perubahan iklim.” Maka, pertanyaannya adalah perlindungan hutan tropis mana yang dimaksudkan?

Kami perlu tegaskan di sini bahwa penurunan luas tutupan hutan Papua memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan orang Papua. Sebagian besar OAP adalah kaum peramu, petani, peladang, pemburu dan nelayan, tentunya memiliki ketergantungan terhadap lingkungan sekitar sebagai sumber ketersediaan pangan. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan baik hutan maupun laut, secara langsung akan berdampak terhadap sumber pangan dan pendapatan OAP.

IV. Catatan Penutup

Berpotret dari fakta selama ini dan atas apa yang kami gambarkan dalam tulisan ini, maka kehadiran orang asing, suku-suku Eropa di berbagai wilayah membawa dampak genosida pada suku-suku asli setempat. Demikian juga kehadiran bangsa Eropa di West Papua pada awal abad ke 19-20, kemudian ditindaklanjuti oleh bangsa Indonesia di West Papua telah berdampak pada pemusnahan orang asli Papua khususnya pada orang Port Numbay.

Kontak dengan orang Eropa dan Indonesia di West Papua mengantar orang Port Numbay telah menjadi marjinal, terdiskriminasi secara rasial dan sedang menuju pada pemusnahan etnis di atas tanah dan negeri mereka.

Hanya kaum elit dan buruh kasar penguasa yang sudah mati nurani, matanya dibutakan oleh senjata intelijen, senjata hukum dan senjata loreng saja yang masih memandang dan menghibur mereka dengan berkata investasi sawit, Otsus, pemekaran membawa kesejahteraan, membawa kemajuan. Ini adalah dalil-dalil klasik mereka dalam membenarkan tindakan pendudukan demi genosida, ekosida dan etnosida terhadap orang asli Papua.

Pada akhir tulisan ini, saya hendak menegaskan kembali bahwa Port Numbay, West Papua bukan tanah kosong. Papua bukan milik kaum burjuis, elit kapitalis, elit militer, elit politisi untuk investasi emas, kelapa sawit, perkebunan dan lainnya. Tetapi, tanah Port Numbay, West Papua adalah tanah kami, tanah milik orang Papua. Papua merupakan harta orang Melanesia.

Karena itu, saya mengajak mari bersama kita lantunkan lagu Black Brothers, pada 1975, “Sadarlah kau cara hidupmu, yang hanya, menelan korban yang lain. Bintang Fajar terbit, hari kiamat, kiamatlah juga engkau”.

Ingatlah Tuhan bangsa Papua tidak tidur! Sebelum semuanya terjadi, bertobatlah engkau! Jangan meratapi kematian sobat. Lihat ke depan, Bintang Fajar pasti terbit dari negeri matahari terbit. Waaa…. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

HRM Melaporkan Terjadi Pengungsian Internal di Paniai

0
Pengungsian internal baru-baru ini dilaporkan dari desa Komopai, Iyobada, Tegougi, Pasir Putih, Keneugi, dan Iteuwo. Para pengungsi mencari perlindungan di kota Madi dan Enarotali. Beberapa pengungsi dilaporkan pergi ke kabupaten tetangga yakni, Dogiyai, Deiyai, dan Nabire.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.