BeritaBUK Desak Presiden Jokowi Hentikan Droping Pasukan dan Operasi Militer di Tanah...

BUK Desak Presiden Jokowi Hentikan Droping Pasukan dan Operasi Militer di Tanah Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Pemerintah Indonesia sebagai negara yang mendukung penerapan HAM telah menunjukkan komitmennya dengan mendirikan Komnas HAM, LPSKK, dan juga menerbitkan perangkat UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Selain itu, mandat Otonomi khusus Papua tahun 2001 juga mengatur tentang Pengadilan HAM dan KKR di Papua, dengan harapan akan menjamin pemajuan, perlindungan, dan penegakan HAM di Tanah Papua.

“Namun demikian, ternyata instrumen maupun institusi ini dimandulkan oleh para pelaku pelanggar HAM. Hingga saat ini belum ada terobosan yang berarti dengan menunjukkan mandeknya proses penuntasan kasus‐kasus pelanggaran HAM berat di tanah Papua.

“Bahkan ada kecenderungan menguatnya budaya impunitas dengan membebaskan pelaku, menyembunyikan kebenaran dengan narasi palsu (tidak berdasarkan fakta) sebagai alasan pembenar tindakan pelanggaran HAM, serta melambatnya proses reformasi institusi,” kata mama Tineke Rumbaku, Koordinator Bersatu untuk Kebenaran (BUK) melalui releasnya kepada suarapapua.com, Kamis (24/3/2021).

Pernyataan itu disampaikan BUK dalam rangka Hari Internasional Hak atas Kebenaran terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Martabat Para Korban yang jatuh pada tanggal 24 Maret 2021.

Mama Rumkabu mengatakan, pada 21 Desember 2010, Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan bahwa tanggal 24 Maret adalah sebagai hari internasional bagi hak atas kebenaran tentang pelanggaran-pelanggaran besar HAM dan martabat para korban.

Baca Juga:  Lima Bank Besar di Indonesia Turut Mendanai Kerusakan Hutan Hingga Pelanggaran HAM

Karena hak-hak atas kebenaran dan keadilan memegang peranan penting dalam mengakhiri pembebasan hukuman terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia yang besar.Dalam banyak hal, menghormati hak-hak ini berarti mengingatkan bahwa pelanggaran- pelanggaran tidak dapat dibiarkan tersembunyi untuk waktu yang lama.

Ia lalu merinci korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat yang terus mencari penyelesaian atas pelanggaran HAM yang dialami di Papua. Di mana mencakup (kasus pembantaian massal di Wamena 1977, kasus penyadaran Mapnduma 1996, peristiwa Biak berdarah 6 Juli 1998, Peristiwa 7 Desember 2000, Peristiwa Wasior 13 Juni 2001; Wamena berdarah 6 Oktober 2000 dan 4 April 2003.

Pengungsi Nduga di Wamena yang mayoritas adalah anak-anak sekolah ketika menemui delegasi Dewan Gereja Dunia. (Elisa Sekenyap – SP)

Pembunuhan Theys H. Eluay dan hilangnya Aristoteles Masoka pada 10 November 2001, kasus Abepura, 16 Maret 2006, kasus penembakan terhadap Opinus Tabuni 9 Agustus 2008, kasus KRP III 2011, peristiwa penembakan Mako Tabuni 14 Juni 2012, penembakan Kelly Kualik di luar prosedur hukum di Timika, kasus penembakan terhadap Yawan Yaweni di Serui, kasus penembakan 4 pelajar Paniai 8 Desember 2014, pembunuhan 4 mahasiswa di Expo Waena dan korban kasus rasisme lainnya.

Kasus pembunuhan pendeta Nirigi dan beberapa masyarakat lainnya di Kabupaten Nduga, kasus penembakan pendeta Yeremia Zanambani, katekis Tigau, dan beberapa warga sipil lainnya di Intan Jaya dan Puncak serta berbagai kasus lainya di tanah Papua.

Baca Juga:  Kapendam Cenderawasih: Potongan Video Masih Ditelusuri

Selain itu katanya, pembela HAM dan jurnalis di berbagai wilayah di tanah Papua yang secara terus menerus bekerja untuk pembelaan dan pemenuhan hak‐hak korban menjadi sasaran kekerasan, berupa penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, teror hingga pembunuhan.

Sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah melengkapi penderitaan rakyat Papua – menginjak harkat dan martabat manusia Papua, dalam prakteknya negara masa bodoh. Bersamaan dengan itu, eskalasi kekerasan terus meningkat, dengan pendropan pasukan yang sangat berlebihan, dengan tujuan nenumpas TPN-OPM, namun rakyat sipil yang terus menjadi korban tanpa proses hukum dan terjadi pengungsian di Nduga, Intan Jaya, Puncak Papua, Aifat Sorong dan daerah lainnya.

Waktu bersamaan, meningkatnya stigmatisasi. Hal ini ditunjukan dengan meningkatnya tindakan kekerasan aparat tanpa ada proses hukum. Adanya trauma yang berkepanjangan bagi para korban dan keluarnya, serta masyarakat Papua secara luas. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum, meningkatnya kebencian terhadap pemerintah yang tidak dapat memberikan perlindungan dan rasa aman bahkan jaminan penegakan hukum yang berkeadilan.

Masyarakat yang mengungsi saat berada di Pastoran Paroki Bilogai. (Supplied for SP)

Oleh sebab itu, dalam rangka hari internasional hak atas kebenaran terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan martabat para korban, maka pihaknya mendesak;

  1. Mengecam dengan tegas berbagai bentuk tindakan operasi militer yang sedang terjadi di seluruh tanah Papua yang telah mengganggu hak hidup orang asli Papua di atas tanahnya sendiri.
  2. Mengecam dengan tegas segala bentuk pemaksaan dan perampasan tanah adat milik masyarakat adat di tanah Papua, demi kepentingan investasi dan juga kepentingan pembangunan markas militer.
  3. Mendesak Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo untuk segera menghentikan droping pasukan ke tanah Papua. Serta segala bentuk operasi militer yang dilaksanakan dalam rangka melancarkan kepentingan investasi dan keamanan di tanah Papua.
  4. Mendesak pihak pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk segera menangani situasi kemanusiaan pengungsi internal di Nduga, Intan Jaya, Banti Timika dan Aifat Sorong, yang terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya karena konflik yang terus terjadi hingga hari ini.
  5. Mendesak pemerintah negara Republik Indonesia untuk segera membuka akses kepada Ketua Komisi Tinggi HAM PBB untuk segera mengunjungi Tanah Papua, dan menyaksikan sendiri situasi HAM dan bertemu dengan para korban, penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM di tanah Papua.
  6. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membuka akses bagi Tim Kemanusiaan dan Tim Pencari Fakta Independen untuk mengunjungi wilayah konflik di Nduga, Intan Jaya, Timika dan Aifat guna bertemu secara langsung dengan korban dan keluarga korban konflik tersebut.
  7. Menolak dengan tegas berbagai bentuk kebijakan politik ekonomi pembangunan di Papua, termasuk Kawasan Ekonomi Khusus dan keberlanjutan Otonomi Khusus jilid II di tanah Papua.
Baca Juga:  Aksi Hari Aneksasi di Manokwari Dihadang Aparat, Pernyataan Dibacakan di Jalan

 

 

Pewarta: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP: Aneksasi Papua Ke Dalam Indonesia Adalah Ilegal!

0
Tidak Sah semua klaim yang dibuat oleh pemerintah Indonesia mengenai status tanah Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena tidak memiliki bukti- bukti sejarah yang otentik, murni dan sejati dan bahwa bangsa Papua Barat telah sungguh-sungguh memiliki kedaulatan sebagai suatu bangsa yang merdeka sederajat dengan bangsa- bangsa lain di muka bumi sejak tanggal 1 Desember 1961.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.