BeritaKaum Awam Katolik Papua Pertanyakan Misi Kardinal Indonesia ke Deiyai

Kaum Awam Katolik Papua Pertanyakan Misi Kardinal Indonesia ke Deiyai

NABIRE, SUARAPAPUA.com — Pandangan berbeda mengemuka terhadap kehadiran Uskup Keuskupan Agung Jakarta yang juga Kardinal Indonesia dan ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Paroki Maria Menerima Kabar Gembira (MMKG) Bomomani Dekanat Kamuu-Mapiha dan Paroki Segala Orang Kudus (SOK) Diyai Dekanat Tigi, Keuskupan Timika, pekan ini.

Titus Christhoforus Pekei, salah satu tokoh awam Katolik Papua yang juga penggagas Noken di UNESCO, mengatakan, kunjungan pastoral Mgr. Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo harus dilihat dari tujuan misi pastoral bagi umat Katolik di Tanah Papua.

“Entah terencana atau tidak hingga Kardinal hadir di tengah umat Katolik Papua, umat yakin kehadirannya adalah rencanaNya, maka kalau kembali ke Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), tidak melupakan umatmu di Tanah Papua yang mengalami masalah manis hingga pahit berdampak genosida ketika umatnya bertumbangan dalam usia energik yang artinya harus dipikirkan bersama demi misi di tanah ini kedepan,” kata Titus, dikutip dari artikel yang dikirim ke suarapapua.com.

Meski hanya beberapa hari melakukan kunjungan pastoral, ia berharap Kardinal Indonesia telah merasakan apa yang umat di Tanah Papua rasakan selama ini.

“Kardinal sekalipun beberapa hari telah merasakan apa yang umat rasakan, mendengar suara tangisan, jeritan, ratapan duka umatnya yang belum berakhir sampai hari ini bagi Papua,” tulisnya.

Titus menilai Kardinal Indonesia hadir di tengah umatnya yang sedang dililit pelbagai masalah kemanusiaan berdampak semua aspek, entah pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya maupun aspek lainnya yang panjang.

Korban kekerasan dengan senjata menurutnya belum berakhir karena hingga kini perang dua kubu masih berlangsung di beberapa kabupaten. “Darah insan Papua bahkan terus mengalir tiada henti,” lanjutnya.

Baca Juga:  Sertijab Kepala Dinsos Kabupaten Deiyai, Begini Kesan Kepala Dinas Lama dan Baru

Meski beda kapasitas, kehadiran ketua KWI kali ini mengingatkan Titus kunjungan presiden Indonesia keempat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang paham humanis moderat selalu mengedepankan komunikasi dari hati ke hati bersama masyarakat tertindas.

“Sama hal pula kunjungan Kardinal sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik di Indonesia. Saya umat awam Katolik berpendapat akan berdampak positif kedepan. Seperti Gus Dur sekali kunjung Papua saat tutup tahun dan buka tahun baru 1 Januari 2000 merubah nama Irian Jaya menjadi Papua. Seorang Gus Dur mengembalikan jati diri asli. Kunjungan Kardinal pun dapat berdampak kedepan mengingat keadaan umat Tuhan di Tanah Papua,” urai Titus.

Sembari mengucapkan proficiat atas pemberkatan Gereja Katolik Stasi St. Petrus Puduu Paroki SOK Diyai dan Gereja Katolik Stasi Bunda Maria Penolong Abadi Epomani Paroki MMKG Bomomani, Titus titip pesan buat Kardinal Indonesia setelah kembali ke KAJ tidak lupa doakan umat Tuhan di Tanah Papua agar badai segera berlalu dan misi kemandirian Gereja Katolik Papua berbasis umat lokal berkembang baik.

Diberitakan media ini sebelumnya, Mgr. Suharyo memimpin langsung misa pemberkatan Gereja Katolik Stasi Epomani, Sabtu (5/6/2021) lalu. Beberapa hari kemudian, Kamis (10/6/2021), Kardinal memimpin misa pemberkatan Gereja Katolik Stasi Puduu. Gereja dengan bangunan super megah di tepi Danau Tigi itu dibangun oleh Isaias Douw, mantan bupati Nabire bersama 34 kepala keluarga dari Puduu sejak 11 Mei 2016 yang ditandai peletakan batu pertama saat ibadah syukuran atas terpilih kembali menjadi bupati periode kedua.

Kardinal didampingi Isaias Douw dan para imam sebelum penandatanganan prasasti di depan pintu Gereja Katolik St Petrus Stasi Puduu. (Donatus Mote untuk Suara Papua)

Gembala Buta

Pendapat berbeda datang dari Thedy Pekei, salah satu intelektual muda Katolik Papua.

Baca Juga:  VIDEO: Pemprov Papua Tengah Dukung Penolakan Eksploitasi Blok Wabu

Thedy menilai kehadiran Kardinal Indonesia yang juga ketua KWI tidak membawa perubahan bagi orang Papua terutama umat Katolik.

“Tidak perlu agung-agungkan Kardinal Indonesia yang selama ini buta melihat umat Tuhan yang sedang tertindas. Jangan euforia berlebihan terhadap kehadirannya di Papua khususnya Deiyai, salah satu wilayah pastoral Keuskupan Timika,” ujarnya.

Kunjungan tersebut menurut Thedy seremonial belaka, selain agenda pastoral ke Paroki Bomomani sebagai wilayah misi pastoral KAJ sejak beberapa tahun lalu.

“Kardinal ini tidak punya hati terhadap umatnya yang sedang tertindas. Gembala buta mata hati terhadap domba-dombanya. Saya harap, umat yang hadir menyadari tentang apa yang Kardinal bikin untuk umat tertindas terutama umat di Papua yang selalu berada dibawah moncong senjata aparat negara,” tekan Thedy.

Kerinduan umat Katolik Papua selama ini, lanjut Thedy, pemimpin Gereja Katolik di Indonesia ikut angkat bicara, menyuarakan jeritan dan tangisan umatnya. Suara gembala atau suara kenabian seturut esensi sakramen tahbisan menurutnya tak pernah diperlihatkan hingga bikin kecewa umat dan terus menahan kepedihan luka bathin berkepanjangan.

“Kalau Kardinal tidak memposisikan diri sebagai gembala penyelamat dombanya, ngapain domba mengagung-agungkan gembala?,” kata Thedy mewakili suara kaum awam Katolik Papua.

Fakta miris di Tanah Papua, sebutnya, selain beberapa umat Katolik, dua katekis di Intan Jaya yang secara hirarki adalah perpanjangan tangan Kardinal di lapangan tertembak peluru aparat keamanan.

“Kardinal tidak bicara ketika satu katekis di Intan Jaya ditembak mati. Satu katekis luka-luka. Bikin apa selama ini sampai mau ke Papua terutama wilayah Meepago? Saya umat awam Katolik Papua tidak setuju kunjungan Kardinal,” ujarnya.

Baca Juga:  Berhenti Bakar Batu Tak Hambat Usulan Warisan Budaya Menyusul Noken

Thedy beralasan, ketika banyak umat Tuhan di Tanah Papua bertumbangan, Kardinal sebagai pimpinan Gereja Katolik di Indonesia tidak pernah bersuara.

“Selama ini tidak ada suara kenabian dari Kardinal,” Thedy menilai.

Mgr. Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, Kardinal Indonesia yang juga Uskup Keuskupan Agung Jakarta sekaligus ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) saat prosesi pemberkatan Gereja Stasi Bunda Maria Penolong Abadi Epomani, Paroki Maria Menerima Kabar Gembira (MMKG) Bomomani, Dekanat Kamuu Mapiha, Keuskupan Timika, Papua, Sabtu (5/6/2021) lalu. (Dok. Musa Iyai)

Tidak Boleh Diam

Oktovianus Marko Pekei, juga tokoh awam Katolik Papua, menegaskan, penderitaan umat di Tanah Papua adalah realita penderitaan Gereja.

“Gereja (umat) adalah Gereja yang menderita karena konflik yang berkepanjangan belum diselesaikan sampai sekarang. Konflik di Papua kini berubah menjadi konflik kekerasan. Konflik kekerasan yang terjadi sedang mengorbankan Gereja karena banyak umat yang mengungsi, lapar, sakit, bahkan ada pula yang meninggal dunia. Ini realita penderitaan Gereja. Oleh karena itu, pimpinan Gereja tidak boleh diam. KWI harus berbicara realita penderitaan umat Tuhan akibat konflik kekerasan ini,” tuturnya menjawab pertanyaan suarapapua.com.

Marko berharap persoalan umat Tuhan harus disuarakan sebagai bagian dari misi penyelamatan di dunia.

“Gereja di Papua sebagai bagian dari KWI perlu menjadi penyambung suara penderitaan umat akibat konflik kekerasan yang berkepanjangan ini. Menjadi kewajiban moral KWI untuk memberi perhatian serius atas konflik kekerasan di Papua tanpa melihat kepentingan pihak manapun, sebab tugas utama Gereja adalah pewartaan keselamatan manusia yang tentu menjunjung martabat manusia siapapun dan dari manapun termasuk di Tanah Papua,” bebernya.

“Dalam konteks kewajiban moral yang terikat pada tugas kenabian, KWI tidak bisa melihat Papua hanya dalam konteks kepentingan negara. Kewajiban moral Gereja dalam menyuarakan ketidakadilan dan tindakan yang membelenggu martabat manusia lebih besar daripada kepentingan negara, sebab kewajiban moral Gereja bersifat universal tanpa dibatasi ruang dan waktu,” beber Marko.

Pewarta: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Intan Jaya Membara, Satu Warga Sipil Tewas Tertembak

0
“Akibat dari itu, hutan, kebun warga dan halaman warga sipil hancur setelah terkena serangan bom dari pesawat dan helikopter militer yang didatangkan dari Timika dalam misi perang melawan TPNPB.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.