SORONG, SUARAPAPUA.com— Paulinus Vincentius Baru, Wakil Ketua II Majelis Rakyat Papua Papua Barat Daya (MRP-PBD) meminta Pemerintah Kabupaten Sorong agar tidak mengabaikan dan melupakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2017.
Perda nomor 10 Tahun 2017 mengenai pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Moi di Kabupaten Sorong.
Konflik sosial antara kesatuan Masyarakat Hukum Adat (MHA), pemerintah dan pihak perusahaan dalam pemanfaatan lahan masih sering terjadi di Indonesia.
Di mana konflik sosial yang muncul, tidak dapat dilihat hanya pada kondisi saat ini, namun harus dilihat dari rangkaian sejarah yang melatarbelakanginya.
Menurut Paulinus Baru, perjuangan masyarakat adat Moi mempertahan wilayah adatnya dari ancam investasi hingga melakukan kasasi di Mahkamah Agung harus didukung oleh semua pihak, terutama Pemerintah Kabupaten Sorong.
“Upaya menjaga tanah adat yang diperjuangkan masyarakat adat Moi saat ini bukan semata karena menolak pembangunan ataupun tidak masyarakat adat Moi sedang mempertahankan sumber kehidupan mereka,” katanya saat ditemui suarapapua.com di Sorong, Selasa (11/6/2024).
Ditegaskannya, Perda Nomor 10 tahun 2017 tentang Pengakuan, Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong, maka Pemkab Sorong memiliki kewajiban untuk melindungi masyarakat adat Moi.
“Kabupaten Sorong sudah Perda MHA, artinya pemerintah perlu berkomunikasi secara baik dengan masyarakat adat Moi. Hal ini sangat penting sehingga masyarakat adat tidak menjadi korban dari investasi itu,” tegasnya.
Paul sapaan akrabnya mengataka, keterlibatan masyarakat adat dalam menghadirkan sebuah investasi sangat penting terutama wilayah yang sudah memiliki peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
“Pelibatan itu penting agar kegiatan investasi tidak merusak kehidupan komunal religious. Selain itu, secara ekonomi juga membawa manfaat kesejahteraan bagi masyarakat adat,” ungkapnya.
Perwakilan masyarakat adat Moi Sigin, Fiktor Klafiu mengatakan upaya kasasi yang dilakukan suku Moi bertujuan untuk mendesak agar MA memberikan kedaulatan hukum bagi masyarakat adat Papua.
“Hutan adat adalah tempat kami berburu dan meramu sagu, hutan adalah apotek bagi kami, kebutuhan kami semua ada di hutan. Kalau hutan adat kami hilang, mau ke mana lagi kami pergi?” kata dia.
Ditegaskan Fiktor jika dalam kasasi Mahkamah Agung tidak menerima tuntutan suku Moi, maka pihaknya tetap akan melakukan perlawan di Kabupaten Sorong.
“Kami suku Moi tetap mempertahankan wilayah adat kami dan tetap akan melakukan perlawan untuk mempertahankan tanah adat kami,” tungkasnya.