ArsipKebijakan Transmigrasi dan Pemekaran Untuk Papua: Air Susu Dibalas Air Tuba?

Kebijakan Transmigrasi dan Pemekaran Untuk Papua: Air Susu Dibalas Air Tuba?

Senin 2014-11-03 12:16:30

Seperti pepatah lama "air susu di balas air tuba", barangkali itu yang bisa kita bilang ketika kabinet kerja Jokowi-JK mengeluarkan statement bahwa untuk Papua akan ada kebijakan pemekaran provinsi dan transmigrasi.

Oleh: Naftali Edoway*

 

Mungkin terlalu prematur penilaian saya, tapi dalam bulan Juni lalu saya sempat menulis bahwa siapa pun yang jadi presiden, jika pendekatan kesejahteraan masih diprioritaskan, maka tak akan ada perubahan di Papua.

 

Mengapa saya mengangkat pepatah diatas? Saya pikir, ketika mayoritas orang asli Papua memberikan suara kepada Jokowi-JK kala Pilpres lalu, mereka punya harapan dan Impian bahwa Jokowi akan menyelesaikan kompleksitas permasalahan yang masih melilit orang Papua, terutama penyelesaian status politik Papua melalui mekanisme dialog yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Namun apa yang terjadi kini?

 

Ketika Gubernur Papua, Lukas Enembe, menyatakan menolak rencana kebijakan itu, saya sepakat dengan beliau. Soal penolakan pemekaran, Enembe bilang; “Di Papua ada Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus). Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus mengerti itu, dimana kewenangan ada di pemerintah provinsi dan lembaga-lembaga seperti DPRP, MRP.

 

"Jadi, pemekaran harus mendapat persetujuan dari lembaga-lembaga ini dulu, pusat jangan proses sembarang,” kata Enembe kepada wartawan, di Kota Jayapura, Papua, Minggu (2/11).

 

Lanjutnya lagi, “Masyarakat siapa yang dimaksud, kalau disuruh referendum untuk menguji masyarakat atau tidak ya tidak. Pasti mereka katakan tidak. Itu pasti elit-elit politik dan kelompok-kelompok yang kalah politik yang berjuang ke Jakarta untuk membicarakan pemekaran agar bisa jadi kepala daerah di situ. Jadi, Mendagri jangan bicara sembarang, yang dimaksud masyarakat itu siapa?” [1].

 

Sementara soal transmigrasi, Enembe katakan, “Pemerintahan Jokowi jangan bikin masalah baru di Papua. Kalau transmigrasi datang, imigran masuk dari berbagai pulau. Orang asli Papua akan tersisih dan menjadi minoritas dalam bertani dan menjadi miskin di tanahnya sendiri,” kata Enembe kepada wartawan, di Kota Jayapura, Papua, Minggu (2/11).

 

Ia juga berkata bahwa “Papua yang jumlah penduduknya kecil saja pemerintah belum mampu membuat mereka lebih baik, kenapa lagi harus didatangkan dari Pulau Jawa."

 

"Itulah sebabnya memang belum bisa didatangkan transmigrasi,” katanya. Lanjutnya lagi, “Kalau memang harus ada program transmigrasi di Papua, sebaiknya dibuat program transmigrasi lokal. Artinya masyarakat yang hidup di tempat terpencil lebih baik mereka diperhatikan dengan dibuatkan rumah, dibukakan lapangan pekerjaan, ajar mereka untuk bercocok tanam, kasih honor, siapakan lahan pertanian yang dibeli oleh pemerintah Pusat itu yang harus dibuat. Jangan lagi datangkan orang lagi dari Jawa,” kata Enembe[2].

 

Komentar penolakan kebijakan transmigrasi dan pemekaran oleh Gubernur Papua diatas boleh kita bilang sebagai suara orang asli Papua yang miskin, yang termarginalkan, yang dianggap separatis, dll tapi bagaimana orang asli Papua mendukung pikiran gubernur itu, adalah pertanyaan yang mesti dijawab.

 

Pernyataan Marwan Jafar[3] dan Tjahjo Kumolo[4] memperlihat bagaimana Jakarta melihat Papua. Perbaikan atau peningkatan kesejahteraan bagi Orang Asli Papua masih menghiasi pikiran Jakarta.

 

Mereka masih berpikir bahwa dengan pemekaran dan transmigrasi, kesejahteraan orang Papua akan semakin baik.

 

Kirim transmigrasi agar orang Papua bisa belajar dari orang Jawa yang katanya maju dalam bercocok tanam dan beternak. Buat pemekaran supaya banyak orang Papua bisa jadi PNS dan ada lapangan kerja baru untuk menyerap mereka.

 

Rencana transmigrasi yang menggandeng TNI/Polri[5] justru akan mengorek luka lama yang hingga hari ini belum diselesaikan negara.

 

Ketika TNI/Polri dilibatkan dalam kebijakan ini, otomatis kita berpikir bahwa: 1) Jakarta terus saja melabeli Orang Asli Papua sebagai OPM/Separatis; 2) Jakarta hendak merampas tanah-tanah ulayat Orang Asli Papua dengan kekuatan militernya seperti pada masa Pemerintahan Orde Baru.

 

Program transmigrasi telah dilakukan oleh pemerintah Orde Lama, hasilnya orang asli Papua tidak sejahtera, malah tersingkir dari tanah ulayatnya.

 

Pemekaran telah dilakukan oleh Megawati dan Susilo Bambang Yudoyono dalam pemerintahan mereka, namun rakyat Papua masih belum sejahtera baik dari sisi ekonomi maupun batin.  

 

Pertanyaannya, telah hilangkah akal sehat pemerintah Indonesia sehingga terus saja buat kebijakan yang justru akan melahirkan masalah baru di tanah Papua?

 

Ataukah kebijakan ini lahir dari akal sehat untuk menghancurkan orang Asli Papua di atas tanah ulayat mereka?

 

Masukkan kepada Jokowi melalui surat dari Forum Kerja Oikumenis Gereja Papua[6] dan Gerakan Perempuan Papua waktu lalu, kiranya menjadi bahan oleh pemerintahan Jokowi-JK dalam berkebijakan di Papua. Agar pepatah tua di atas tidak mencapi pemerintahan Jokowi-JK. Semoga!

 

*Penulis pemerhati sosial, tinggal di Jayapura

 

[1] http://tabloidjubi.com/2014/11/02/pusat-jangan-sembarang-mekarkan-daerah-di-papua/

[2] http://tabloidjubi.com/2014/11/02/gubernur-papua-tolak-program-transmigrasi/

[3] http://suarapapua.com/read/2014/11/02/1983/menteri-marwan-ingin-buat-orang-jawa-tertarik-transmigrasi-ke-papua

[4] http://suarapapua.com/read/2014/11/03/1985/mendagri-pemekaran-propinsi-akan-dipusatkan-di-papua

[5] http://suarapapua.com/read/2014/11/02/1984/buka-lahan-transmigrasi-di-papua-menteri-marwan-gandeng-tnipolri

[6] http://majalahselangkah.com/content/-ini-surat-dari-forum-kerja-oikumenis-gereja-papua-untuk-jokowi

 

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.