ArsipBuku “Papua Nyawene: Papua Bercerita” Diluncurkan

Buku “Papua Nyawene: Papua Bercerita” Diluncurkan

Kamis 2015-10-29 13:36:32

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Buku “Papua Nyawene: Papua Bercerita” yang dilaunching di aula Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) “Fajar Timur” Abepura, Jayapura, Rabu (28/10/2015) kemarin, diharapkan dapat memberi inspirasi bagi semua pihak di dalam dan luar Papua melihat berbagai persoalan selama ini.

Harapan ini disampaikan Pater John Jonga, Pr saat berbicara pada diskusi buku setebal 267 halaman itu.

Menurut Pater John, pengalaman masyarakat sebagaimana terungkap melalui cerita-cerita dalam buku ini merupakan sumber bagi refleksi kritis dan dapat membantu pembaca dari semua kalangan, di Papua dan luar Papua.

“Terutama para pemimpin dan penentu kebijakan untuk memahami kehidupan masyarakat dengan lebih mendalam dan dengan empati, serta mengambil tindakan yang perlu untuk turut serta dalam mewujudkan Papua sebagai Tanah Adil dan Damai,” tandasnya.

Pater John menilai isi buku ini sangat penting bagi para pemimpin Agama-agama, para politisi dan birokrat, LSM serta lembaga-lembaga pembangunan. Tentu juga bagi masyarakat pada umumnya.

“Mari kita belajar dari masyarakat. Merekalah pakar-pakar, ahli-ahli kemanusiaan dan pembangunan yang tidak perlu dibayar dengan uang, tetapi dengan ketekunan untuk mendengarkan,” ujar Pater John.

Selain Pater John Jonga, hadir sebagai pembahas dan penanggap saat launching dan diskusi buku ini, Mientje Rumbiak (Antropolog Universitas Cenderawasih), Nico R Lokobal (Perwakilan Tokoh Masyarakat Lembah Balim, penulis salah satu tinjauan dalam buku), Matius Murib (Perwakilan Pegiat HAM), Cypri J.P. Dale (Editor dan Fasilitator Penelitian), dengan dimoderatori oleh Theo Kossay dari STFT “Fajar Timur”.

Buku ini berisi sejumlah pengalaman hidup, memori, pergumulan-pergumulan, tekad dan aspirasi masyarakat non-elit di Tanah Papua, dengan menghimpun cerita-cerita dari masyarakat di Distrik Asolokobal, Kabupaten Jayawijaya, serta Distrik Yahukimo dan Distrik Samenage di Kabupaten Yahukimo, Papua.

Terdiri dari tiga bagian penting. Bagian pertama, pertanggungjawaban metodologi yang dipakai dan konteks pergumulan masyarakat Lembah Baliem dalam kaitan dengan sejarah dan dinamika politik, ekonomi, dan kebudayaan hingga saat ini.

Bagian kedua adalah bagian utama yang berisi cerita-cerita dari masyarakat tiga distrik. Ia terbagi dalam tema-tema: Perjumpaan dengan modernitas terutama negara, Pemerintah dan Agama-agama, tentang persoalan Penghidupan dan Makan Minum.

 

Juga, tentang Pergumulan dan Kekuatan Perempuan, tentang masalah Pembangunan dan Pelayanan Publik, serta masalah Politik dan Kepemimpinan.

Di bagian akhir berisi tinjauan-tinjauan kritis dari beberapa tokoh di Lembah Baliem dan dari sejumlah penulis tamu.

Proses penulisan buku ini memakai metodologi naratif kritis dalam semangat emansipasi dekolonial dipadu dengan tradisi Nyawene dalam kebudayaan Baliem.

 

Nyawene secara sederhana bisa dijelaskan sebagai usaha untuk duduk dan berbicara bersama, menggali dan menghadapi beban persoalan hidup bersama dan berusaha menyelesaikannya secara bersama-sama pula.

Dengan metode penelitian naratif kritis, buku ini mengumpulkan dan menampilkan pengalaman dan perspektif masyarakat, membuka ruang seluas-luasnya bagi mereka untuk bersuara dalam cara mereka sendiri, serta menjadikan pengetahuan dan pengalaman mereka sebagai basis refleksi, juga produksi pengetahuan dan gerakan kritis.

Cara ini dipakai untuk membongkar produksi pengetahuan dan klaim kebenaran top-down, yang menganggap masyarakat dan budayanya lebih rendah, bodoh, tidak berdaya, dan menjadi obyek pencerahan dan pembangunan.

MARY

Terkini

Populer Minggu Ini:

Partai-Partai Oposisi Kepulauan Solomon Berlomba Bergabung Membentuk Pemerintahan

0
"Kelompok kami menanggapi tangisan dan keinginan rakyat kami untuk merebut kembali Kepulauan Solomon dan mengembalikan kepercayaan pada kepemimpinan dan pemerintahan negara kami," kata koalisi tersebut dalam sebuah pernyataan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.