Selasa 2013-10-01 13:34:45
Oleh: Finsen Mayor*
Sejak tahun 2001, Otonomi Khusus ( OTSUS ) Papua diberlakukan, timbul berbagai konflik horizontal diantara sesama orang Papua. Mulai dari terjadi pengkotakkan suku, perebutan kekuasaan, hingga hubungan saling tidak percaya antara masyarakat dan birokrat.
Dikotomi Suku dan Perbedaan Wilayah Geografis
Ketika OTSUS diterapkan di tanah Papua, satu hal yang sangat nampak diantara sesama orang Papua adalah pengkotak-kotakan antara suku-suku bangsa di tanah Papua.
Hal ini dapat dilihat dari klaim-klaim yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Papua. Masyarakat di suatu kabupaten tertentu menolak memberikan peluang kepada masyarakat Papua lain untuk memperoleh kesempatan baik dari sisi bisnis maupun politik.
Disetiap lorong-lorong jalan, terjadi perbedaan antara Orang Gunung dan Orang Pantai, atau orang Sorong dan Orang Merauke ataupun Orang timika dan orang Tolikara. Dan pengkotak-kotakan ini sangat berbahaya. Hal ini dikarenakan, dapat merusak Persatuan dan kesatuan diantara sesama Orang Papua.
Pemekaran Kabupaten dan Haus Kekuasaan
Otonomi khusus memberikan peluang politik praktis yang sangat besar kepada intelektual, elit-elit politik dan siapa saja orang Papua yang ingin “ berkuasa “ secara instant tanpa melalui suatu proses pendidikan yang baik.
Politik yang baik dan berjenjang mencapai kematangan dan kualitas. Selain memberikan peluang untuk menjadi pemimpin dan penguasa, luas wilayah Papua juga membuka peluang lain yakni pemekaran kabupaten dan propinsi. Pemekaran kabupaten dan propinsi menjadi pilihan utama memperoleh kekuasaan secara cepat dan instant.
Hal ini dapat dilihat dari menjamurnya Pemekaran Wilayah dimana-mana di seluruh Tanah Papua. Semua orang papua setiap hari disuguhi dengan Isu-isu Pemekaran Sehingga Pemikirannya diarahkan pada pola berpikir yang sempit.
Ketika kekuasaan yang ingin diperoleh melalui pemilihan legislative maupun kepala daerah gagal, satu-satunya alternative pilihan utama adalah memekarkan daerah baru (DOB, red). Mereka mencari jalan untuk membentuk Daerah Pemekaran baru agar mereka dapat menduduki Jabatan Kepala daerah dan berkuasa.
Tetapi, banyak hal yang tidak mereka (elit politik) sadari bahwa masyarakat yang akan menjadi korban dari pemekaran tersebut. Salah satu alasannya, Orang Papua yang berada di wilayah-wilayah terpelosok yang belum paham dengan pemekaran dan dihasut untuk tetap menerima pemekaran.
Transmigrasi dan Rasa Saling Tidak Percaya
Selain proses pengkotakan, perebutan kekuasaan secara instant dan pemekaran wilayah baru, program pembangunan pemerintah baik kebijakan local maupun nasional seperti transmigrasi juga menjadi masalah baru.
Otonomi khusus diberikan untuk Orang Papua membangun dirinya sendiri, tetapi sebaliknya program transmigrasipun dimunculkan dan jadi perdebatan baru di akar rumput. Ketika melihat Transmigrasi dan Pemerintah datang dan Membangun diatas Tanah Adat Mereka (masyarakat adat) maka terjadi protes dan muncul ketidakpercayaan terhadap para elit politik Papua.
Karena, pemerintah dan Transmigrasi yang didatangkan ke daerah tersebut adalah berdasarkan Izin dari Bupati atau Gubernur yang notabene adalah Orang Asli Papua. Selain itu, tidak terlepas juga konflik Vertikal dikarenakan, mereka (elit politik) yang mengambil keputusan ini adalah Birokrat.
Perihal-perihal seperti ini, hanyalah contoh dari berbagai permasalahan yang terjadi di Tanah Papua. Apakah semua hal yang dijelaskan diatas adalah sebuah design yang sengaja dimainkan untuk menciptakan rasa tidak aman dan memecah belah Orang Papua ?
Diperlukan kejelian dan kematangan berpikir Elit politik dan birokrasi untuk dapat mencegahnya sejak dini dengan mengabaikan kepentingan kekuasaan dan kedudukan semata.
Dilihat dari perjalan Otsus yang sudah mencapai 10 tahun dan mengalami perubahan sebanyak dua kali dan akibatnya terhadap politik pecah belah maka, menurut perkiraan Saya, 10 tahun lagi (2023) Eksistensi Orang Papua akan terancam diatas Tanahnya Sendiri.
Penulis adalah Intelektual Muda Papua