Jumat 2012-09-28 10:31:00
Tim dokter di Jayapura, yang memeriksa Karma, menduga terdapat tumor pada ususnya. Mereka juga menyampaikan alat kolonoskopi di RSU Jayapura, sudah rusak sejak tahun 2007, maka tidak mungkin dilakukan di Papua, sehingga memberikan rujukan ke rumah sakit di Jakarta. Pada 2004, Karma mulai dipenjara untuk menjalani masa tahannya selama 15 tahun ke depan. Hal itu terkait dengan partisipasinya dalam pengibaran bendera Bintang Kejora, simbol penting untuk kemerdekaan Papua.
Pada 02 September 2011, Kelompok Kerja PBB tentang Penahanan Sewenang-wenang menyatakan Karma adalah seorang tahanan politik, sekaligus meminta pemerintah Indonesia untuk membebaskannya segera dan tanpa syarat. Walaupun demikian, pemerintah membantah adanya "tahanan politik" di Indonesia. Karma memperoleh luka-lukanya saat berada di penjara karena aksi penyiksaan secara mental maupun fisik. Karma harus menunggu waktu hampir 6 bulan untuk dapat dipindahkan ke Jakarta meskipun telah melalui rujukan tersebut. Otoritas penjara Abepura, di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, telah menolak untuk menutupi biaya perawatan medis dan perjalanan Karma. Penolakan pemerintah Indonesia untuk menutupi biaya tersebut sebenarnya bertentangan langsung nasional dan hukum internasional.
Menurut aturan internasional, United Nations Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment (Prinsip 24), dan aturan nasional, Peraturan Pemerintah No. 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, semua biaya medis untuk perawatan tahanan di rumah sakit ditanggung oleh negara. Meskipun otoritas penjara Abepura baru memberikan izin kepada Karma, namun mereka tetap menolak untuk menutupi biaya pengobatan dan perjalanannya. Dana untuk tahanan itu sendiri telah dikumpulkan melalui the Prisoners of Conscience Appeal Fund di London, pelayanan gereja oleh pendeta Socratez Yoman di Timika, serta sumbangan banyak individu.
“Selain saya, ada teman-teman lain yang juga dalam keadaan sakit dan sangat membutuhkan perhatian, terutama dari pemerintah Indonesia karena itu merupakan tanggung jawab pemerintah Indonesia,†kata Karma, di Jakarta.
Selain Karma, terdapat tujuh pesakitan tapol di Papua dengan beragam sakit yang diderita. Mereka adalah Kanius Murib (hilang ingatan), Ferdinand Pakage (mata buta akibat dipukul sipir), Apotnagolik Lokoal (stoke), Jefrai Murib (stroke), Forkorus Yaboisembut (gangguan penglihatan), Kimanus Wenda (hernia), Yusak Pakage (gangguan pada pencernaan). Karma mendesak pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab terhadap kesehatan para tapol yang masih mendekam dibalik jeruji besi penjara. “Pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab dengan memberikan pembebasan dan pengobatan kepada tujuh tapol itu,†ujar Karma.
Bantuan berupa dana berasal dari berbagai LSM dan tidak sedikit pula bantuan masuk dari peroranga tanpa nama. “Saya berterima kasih kepada Tuhan Yesus dan untuk teman-teman LSM maupun perorangan yang sudah membantu saya dalam pengoatan ini, baik yang ada di dalam maupun luar negeri,†urainya.
ARNOLD BELAU