ArsipRakyat Bermandikan Keringat, Pejabat Bermandikan Uang dan Kekuasaan

Rakyat Bermandikan Keringat, Pejabat Bermandikan Uang dan Kekuasaan

Senin 2014-02-10 14:04:00

Di Papua, kekerasan sangat murah harganya dalam transaksi hubungan kekuasaan kepada rakyat. Kekerasan dalam berbagai bentuk dan sifat yang dilakoni para aktor, tidak hanya mempergunakan kekuasaan tetapi juga menggunakan sumber-sumber lainnya diluar otoritas kekuasaan.

Variabel kekerasan yang dipersepsikan tidak lepas dari perebutan dimensi tahta, keuangan dan sumber daya lainnya dalam jumlah yang melebihi standar yang optimal.

Meraup keuntungan dengan menikmati selera yang berlebihan digerakan oleh suatu mata rantai ketamakan yang terbangun dalam suatu sistem sosial yang terintegrasi secara parsial.

Menguras energi sosial dengan jembatan konstitusi sebagai usaha untuk meredam konflik antara para pemborong kekuasaan, dikonstruksikan dalam lingkaran atau ring-ring sosial yang berderajad. Derajad kekuasaan dalam sistem birokrasi ini dimaksudkan untuk memperhalus dinamika kekerasan dalam sistem sosial yang tertutup.

Meskipun, jarak sosial antara pemangku kekuasan dan rakyat bersifat hierarkhi sosial-formal, namun terkadang para pesulap kekuasaan ini menggunakan hubungan-hubungan sosial dan kepentingan untuk membangun sebuah "kekuatan baru" di luar sistem sosial dan birokrasi yang memperlancar dinamika kekerasan dalam ruang-ruang yang normal.

Bayang-bayang kekuatan baru yang dibentuk ini selain memberi manfaat secara signifikan bagi pemangku kepentingan kekuasaan tetapi juga komunitas sosial di luar lingkaran atau ring kekuasaan menjadi sebuah tameng dan objek kekuasaan dari pihak-pihak lain.

Sifat-sifat bayang kekuasaan tidak hanya menjadi sapi perahan bagi para pemegang kekuasaan. Tetapi juga pengelolah kekuasaan tanpa sebuah prosedur dan mekanisme sosial yang terbangun dalam pengontrolan sistem tertulis.

Pada titik kekuasan tanpa memiliki hubungan yang melekat pada sistem politik akan membuat goncangan kekerasan para pencipta kekerasan.

Formula sosial yang dirujuk dalam hubungan dengan bayang-bayang kekuasaan di luar lingkaran kekuasaan yang resmi selalu disetting dalam rangka mengemas paket-paket baru dalam sampul keamanan dan ketertiban.

Gejala sosial yang memblokir dinamika kekuasaan secara massal dilakukan karena bentuk-bentuk kesepakatan para pihak mengalami goncangan. ketidakstabilan hubungan antara rakyat pada pelayanan kekuasaan yang bertolak belakang dengan standar kesepakatan.

Rakyat dan gerakan perubahan diciptakan pemangku kekuasaan dalam formula kebijakan resmi sebagai alat legitimasi publik dan alat tawar sosial. posisi dan peran regulasi sebagai kekuatan baru biasanya mengikat komitmen dan kepercayaan. jaminan peraturan yang tidak terkontrol secara tepat oleh rakyat tetapi menggunakan pihak ketiga sebagai wasit membuat kecurigaan antara kombinasi baru

Sistem kekuasaan di Papua terbagi dalam tiga hubungan kelembagaan masyarkat. Hubungan Perwakilan Adat, Pemerintah Pusat, dan Perwakilan Politik Rakyat.

Tipologi Kekuasaan para pemangku kekuasaan ini masih memiliki hubungan formal dengan Jakarta tetapi hubungan moral dengan masyarakat Papua. Koneksi yang melekat sumber kekuasaan negara membuat kebenaran moral didefinisikan dalam teori kekuasaan yang sifatnya memperkuat derajad legitimasi negara

Bayang-Bayang pusat kekuasaan ikut membayangi pola dan pendekatan Pilar Adat , pilar agama, pilar perempuan dalam posisi komunitas terbatas.

Keberpihakan social terhadap pendekatan kemanusiaan dilaksanakan dengan memahami pengingkaran dari sebab- sebab kekuasaan. Sudut pandang lembaga-lembaga sacral yang mengabdi pada kebenaran transendetal tidak dapat menjadi sarana kompromi terhadap subjek kekerasan yang massif.

Sistem social yang tumbuh melalui inisiatif local masyarakat dalam rangka memberi sumbangsih penyelesaian konflik dilihat sebagai suatu relasi kontradiksi. Pengguna kekuasaan menyadari bahwa tingkat memenuhi suatu kewajaran dalam suatu relasi ditafsirkan dalam hubungan yang berdimensi lapis. Supaya kekuasaan berjalan maksimal, kontak historis dalam perbedaan social menyerupai hubungan vertical. Pola-pola keseimbangan tentang siklus kekerasan dalam tiap unit-unit social secara kontinyu berjalan dalam style sprit yang menanggung beban kekuasaan. Keresahan pada lingkaran actor kekuasaan Negara menjadi sebuah konsultasi social dengan menggunakan media public dalam mencetak pengetahuan baru dalam komunitas yang rendah.

KEKUASAAN

Kekuatan yang terbangun dalam pilar adat, pilar agama, pilar pemerintah belum memiliki spesifikasi dan batasan kewenangan yang jelas. Carut dan Marut tentang wajah kekuasaan masih tumpang tindih.

Negara berusaha menghilangkan pengaruh dan legalitas adat sebagai otoritas pemegang mandate kultur. Negara berusaha mengontrol adat dengan maksud untuk mendapat legitimasi public menimbulkan kevakuman dan kehilangan spirit kultur yang orisinil.

Spirit kebudayaan ada pada system adat. Ketika peran Negara berusaha mendominasi adat kehidupan bangsa sedang mengalami krisis cultural. Identitas social sebagai pilar pertama kehidupan Negara akan kehilangan energy dasar dalam membangun kesepahaman organisasi Politik.

Tipologi kepemimpinan Representasi Kultural dengan kekuasaan pemerintah Negara dilepaskan dari hubungan hirakhis. Kekuasaan Pilar Adat adalah Kekuasaan Kultural yang berbada dengan kekuasaan Pemerintah/ Negara yang berhubungan dengan kekuatan organisasi Politik modern yang berhubungan dengan sumber-sumber politik modern.

Pilar agama yang sebagai pemegang mandat spiritual tentu berbeda dengan kewenangan pemerintah Negara. Negara dengan kekuasaan sumber politik yang mau menekuk dan mengontrol peran iman lembaga spiritual dapat membuat Negara menjadi lemah dalam menerjamahkan pikiran-pikiran rasional dan kritis. Kekuatan agama bersandar pada komitmen iman yang bermuara pada keyakinan yang berorientasi untuk memperbaiki hubungan moral dan menyatakan manifestasi kuasa Tertinggi dari Tuhan.

Hubungan Negara sebagai organisasi politik yang mau mengontrol kekuasaan adat dan agama masih memiliki kelemahan-kelemahan. Negara menjadi Krisis, Agama pun menjadi kehilangan kekuatan profetis bahkan adat sebagai komponen kekuasaan basis hilang kemandirian dalam melaksanakan misi dan nilai-nilai dasar.

Kekerasan di tanah Papua

Kombinasi tiga sumber kekuasaan (Adat, Negara, agama) dalam bentuk hirarki kekuasaan tunggal menyebabkan gejala ketidakseimbangan antara kekuatan-kekuatan social. Dominasi Negara dengan memposisikan peran adat dan agama dalam konstitusi yang keabsahannya dikontrol oleh sekelompok pemangku kekuasan tertentu akan mempengaruhi karakter social masyarakat.

Kekerasan secara structural melewati batasan karakteristik social. Struktur kekerasan di Papua berawal dari konsep Negara yang meminimalisir peran lembaga agama dan lembaga adat. Kontrak ataupun perjanjian antara Negara dan pilar-pilar social ditekan dengan cara membatasi struktur-struktur masyarakat yang memiliki legalitas tertentu.

System social yang hancur akibat retaknya modal social dikarenakan oleh kuatnya system Negara yang mengendalikan regulasi public dengan mengabaikan komponen jarak social masyarakat .

Konsekuensi logis dari rentannya produk lembaga-lembaga politik dan kekayaan luhur masyarakat yang menjadi simbol identitas pemersatu kultur dieliminasi karena pertimbangan kekuasaan semata.

Kultur kekerasan lahir karena kepentingan social yang tidak berimbang. Mekanisme kekerasan berjalan dalam dinamika reguasi yang belum memiliki stok kekuasaan yang seimbang antara pusat kekuasaan dengan daerah pinggiran kekuasaan. Standar kekerasan karena faktor mixing kultur yang belum jelas dalam dinamika kebudayaan di Papua membuat ketegangan social lahir sebagai alasan pembenaran kekuasaan untuk mengatur system Negara yang belum memahami secara matang.

Standar Negara dalam membuat formulasi social melalui system Negara dalam sebuah keterpaduan dengan pendekatan antroposentris menjadi bingkai social baru. Kontak social yang multi-variable harusnya ditafsirkan dalam nuansa fenomena kultur yang harus terpisah dari elemen-elemen politik yang sarat dengan kepentingan.

Persoalan rakyat dalam dimensi Negara tidak cukup dilihat dalam kaca pandang Negara yang gagal menyusun sebuah konstitusi secara independen tetapi lebih juga kepada hubungan non formal melalui mekanisme social dalam tradisi masyarakat local sebagai media yang akomodatif dan transformative dalam unit social masyarakat. Simbol-simbol kekerasan yang bertajuk cultural menjadi masalah Negara dalam memahami suatu fakta dan system social yang telah terkontaminasi dengan model pemikiran yang agresif.

Tipologi kekerasan karena struktur, peristiwa dan cultural dapat dilihat dalam scope actor social yang memainkan game dalam ranah social yang kompleks sebagai bagian dari resiko konfigurasi organisasi social yang mengabikan kelompok bawah sebagai sasaran yang tidak diberi akses informasi dan format nilai-nilai baru.

Korban Warga Sipil Papua

Korban di Papua menjadi indicator kegagalan dari pilar agama, pilar adat, pilar pemerintah yang mengusung konsep struktur dan pendekatan Yuridis dan Moral secara mixing.

Membentuk hubungan social dalam piramida kekuasaan secara tunggal tidak dapat menjadikan kekuasaan sebagai variable utama.

Nasionalisme dan daya juang para korban tidak terletak pada usaha untuk memberi suatu harapan dalam tradisi birokrasi Negara yang disulam melalui keterpaduan kesepakatan social berdasarkan mandate social, spiritual dan politk. Korban melihat kekuasaan sebagai subjek yang merampas kewenangan-kewenangan tertentu yang bukan merupakan wilayah kekuasaan. Kekuasaan yang destruktif lahir dari kekuasan yang menggabungkan konsep dominasi dan hegemoni negara atas sumber-sumber Negara.

Suara protes para korban sebagai bagian dari sebuah koreksi social dalam memantapkan dinamika social politik yang terus mengalami perubahan. Struktu perubahan, kultur perubahan dan style perubahan tidak hanya berhubungan dengan pencitraan Negara terhadap korban dalam berbagai scenario dan stigma.

Variabel stigma sesat terkadang menjadi kultur Negara untuk membuat proyek kekuasan dalam menata system kenegaraan. Model dan format stigma Negara tidak hanya bersandar pada konsep perjanjian social sebagai komponen dasar menilai system kenegaraan tetapi juga menjadi daya perekat bangsa.

Lemahnya nasionalisme para korban karena suatu kesepakatan social tidak menjadi media perdamian tetapi lebih menjadi kekuatan Negara untuk mendapat legitimasi public dalam hubungan dengan pergaulan social di masyarakat local, nasional dan internasional.

Hubungan yang kendor dalam primate organisasi korban dijadikan patron social dalam mengobati penyakit social. Studi diagnosis tentang tipologo korban dalam memahami sumber-sumber kekuasaan dan konstruksi kekerasan sebagai suatu bentuk rekayasa dapat dilihat dengan memantau secara saksasama ikon-ikon social yang telah memperlemah dinamika perubahan dalam variable kekuasaan.

Akhir Sebuah Cerita

Tipologi struktur dan Peristiwa dari fenomena kekuasaan, kekerasan dan korban berjalan dalam tiga dimensi yang berbeda. Pertama, dimensi Konfimasi dan Jaringan kelembagaan. Kedua, Dimensi Keterhubungan Peran Lembaga Sosial Negara Yang Acak. Ketiga, Dimensi Konflik antara Korban, Kekuasan melalui media kekerasan yang tersrtuktur diluar system “bayang-bayang kekuatan baru”

*Dominggu Pigay adalah pemerhati masalah sosial di tanah Papua, tinggal di Sentani, Papua

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.