ArsipHans Magal: Kehadiran Freeport Awal Penindasan Bagi Orang Asli Papua

Hans Magal: Kehadiran Freeport Awal Penindasan Bagi Orang Asli Papua

Senin 2015-10-19 07:59:39

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Tokoh masyarakat Amungme dan Kamoro, Hans Magal, menilai kehadiran PT. Freeport Indonesia di Timika, Papua, merupakan awal penindasan bagi Hak Asasi Manusia (HAM) orang Papua, secara khusus masyarakat Amungme dan Kamoro.

“Sejak Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) disahkan di tahun 1967, sejak itu PT. Freeport masuk di tanah Amungsa, dan ini adalah awal penderitaan bagi orang Papua, karena tidak melibatkan pemilik hak ulayat,” tegas Hans Magal, kepada suarapapua.com, Senin (19/10/2015).

 

Menurut Magal, saat UU PMA disahkan, Indonesia berada dibawah rezim Soeharto yang sangat pro-kapitalis, dan mendapatkan bantuan dari Central Intelligence Agency (CIA) yang berhasil menjatuhkan rezim Soekarno.

 

“Bagi Amerika Serikat, pemberian ijin penambangan kepada Freeport merupakan utang budi yang harus ditebus Soeharto, padahal sama sekali tidak melibatkan masyarakat adat pemilik hak ulayat, ini yang kami sesalkan,” tegasnya. (Baca: Bangun Smelter di Gresik, Freeport Dinilai Tak Punya Niat Bangun Papua).

 

Magal mengatakan, sejak kehadiran Freeport di tanah Amungsa merupakan awal penderitaan dan penindasan bagi masyarakat Adat Amugme dan Kamoro, karena itu pada kontra karya berikutnya perlu melibatkan pemilik hak ulayat.

 

“Jadi, saya lihat kontrak karya Freeport yang akan disepakati tahun 2019 mendatang merupakan babak penindasan berikutnya, nanti kita bisa lihat pasti akan terjadi penindasan yang lebih sistematis dan kejam,” tegasnya. (Baca: Menko Rizal Ramli Beberkan Kebusukan Freeport di Tanah Papua).

 

Magal berpendapat, ia berani mengatakan kedepan penindasan terhadap orang Papua akan terus terjadi karena perebutan kewenangan antara pemerintah pusat terus terjadi, apalagi tanpa melibatkan pemilik hak ulayat.

 

“Indikator ancaman bagi orang Papua, secara khusus bagi masyarakat Amungme dan Kamoro mulai terlihat karena hingga saat ini masih terus terjadi perdebatan yang serius dalam kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta.”

 

“Yang lebih memprihatinkan lagi, dalam pembahasan antara Freeport dengan Jakarta, posisi orang Papua sebagai pemilik hak ulayat sama sekali tidak dibahas, terutama nasib masyarakat suku Amungme dan Kamoro kedepannya,” kata Hans.

“Jadi, menurut saya masyarakat Amungme dan Kamoro sebagai pemilik gunung Nemangkawi yang dibongkar untuk kepentingan Indonesia dan Amerika Serikat sangat penting untuk dilibatkan,” tegas Magal.

 

Sebelumnya, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Provinsi Papua versi Munas Ancol, Paskalis Kossay, mengatakan, keberadaan PT. Freeport Indonesia di Tanah Papua justru menimbulkan banyak masalah. (Baca: Paskalis Kossay: Freeport Banyak Timbulkan Masalah di Papua).

 

“Masalah perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia, saya kira sudah sudah saatnya pemerintah Indonesia lakukan evaluasi ulang, termasuk keberadaan PT FI, karena selama ini telah banyak timbulkan masalah,” tegas Kossay, dalam siaran pers yang dikirim kepada suarapapua.com, Senin (19/10/2015).

 

Menurut Kossay, sudah 38 tahun Freeport beroperasi di Tanah Papua, tetapi tidak memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat Papua.

 

“Selama ini keberdaan Freeport lebih banyak memicu konflik dan kekerasan yang mengarah pada pelanggaran HAM. Kontribusi kepada negara pun masih kecil, padahal Freeport mengeruk habis-habisan logam, mineral, emas, termasuk uranium,” tegas Paskalis.

 

OKTOVIANUS POGAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pemerintah dan Komnas HAM Turut Melanggar Hak 8.300 Buruh Moker PTFT

0
omnas HAM Republik Indonesia segera memediasikan persoalan antara 8.300 buruh dengan manajemen PTFI sesuai ketentuan Pasal 89 ayat (4), UU No. 39 Tahun 1999;

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.