ArsipPimpinan Gereja: Presiden Jokowi Seperti “Daendels” Dalam Kebijakan Bangun Papua

Pimpinan Gereja: Presiden Jokowi Seperti “Daendels” Dalam Kebijakan Bangun Papua

Sabtu 2015-12-19 02:29:16

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Menyambut kedatangan Presiden Jokowi ke Papua, pimpinan gereja di Papua yang tergabung dalam Forum Kerja Oikumenis Gereja Papua mengajak umat Tuhan untuk memaknai natal 2015 dengan mengisi kegiatan membangun dan menjadikan bulan Desember sebagai waktu untuk berdamai.

Berkomitmen menjaga anak-anak supaya sehat dan maju dalam pendidikan, agar mereka menjadi pembawa damai di tanah ini. Bekerja keras menafkahi keluarga, merefleksikan diri dengan natal dan menjaga lilin kehidupan Papua supaya tetap menyala dan bersinar di tengah-tengah kegelapan pembangunan serta kekerasan di tanah ini.

 

Demikian bunyi ajakan pimpinan gereja di Papua melalui siaran pers yang diterima redaksi suarapapua.com malam tadi, Jumat (18/12/2015).

 

Selain itu, siaran pers pimpinan gereja di Papua ini menerangkan mengenai kondisi Papua saat ini, dimana umat merayakan Natal dengan merenungkan banyak penderitaan, trauma dan kehilangan anak-anak, perempuan, laki-laki, kerabat dan saudara yang telah meninggal dunia melalui berbagai cara dan teknik.

 

“Kami sebagai pribadi dan pimpinan gereja berefleksi dan mencoba memahami kegoncangan yang dialami warga, baik secara pribadi maupun kolektif.”

 

“Ini terjadi melalui sejumlah peristiwa yang masih membayang-bayangi jalan hidup kami,” terangnya dalam siaran pers yang ditandatangani oleh Pdt. Dorman Wandikbo (Presiden GIDI), Pdt. Benny Giay (Ketua Sinode Kingmi) dan Pdt. Socratez Sofyan Yoman (Ketua Umum Gereja-Gereja Baptis Papua).

 

Peristiwa itu menurut mereka, seperti penembakan di Paniai yang menewaskan 4 orang pelajar (8 Desember 2014), penembakan kilat, penyiksaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang berulang kali terjadi di Yahukimo (Maret-Oktober 2015), penembakan siswa di Dogiyai (Maret 2015), rekayasa kasus Tolikara, 11 warga Tolikara ditembak (17 Juli 2015), sementara oknum penembak dilindungi, penembakan di Timika menewaskan 2 orang Kamoro, (Oktober 2015), penembakan 2 orang Mappi di Merauke (Oktober 2015), penembakan 2 warga Angkaisera, Serui (Desember 2015).

 

Termasuk pembiaran yang mematikan, seperti umat Tuhan yang mengalami hujan es di Kwiyawage dan menewaskan belasan warga sejak bulan Juli 2015. Kematian 43 balita secara misterius di Mbuwa, Nduga (Oktober-Desember 2015).

Gangguan dan serangan terhadap kegiatan gereja serta pemukiman jemaat. “Kami ingat jemaat-jemaat yang tidak bisa beribadah dengan baik dan tenang karena diserang oleh alat negara. Kasus Organda, Abepura awal Juli lalu, kasus Enarotali 15 Agustus dimana gereja diserang dalam rangka mencari senjata termasuk di Jemaat Sere, Sentani, Jayapura.”

 

Selain itu, mereka menilai, promosi pembangunan versi Jokowi yang selama ini digembar-gemborkan termasuk mengancam hak hidup orang Papua.

 

Seperti, proyek raksasa pembangunan jalan trans Papua, pembukaan lahan kelapa sawit di Tanah Papua, pengaktifan proyek MIFEE yang mencaplok ribuan hektar tanah adat, pembangunan pelabuhan-pelabuhan besar, pembangunan rel kereta api, penggalangan transmigrasi dan migrasi dari luar Papua dan debat elit Jakarta mengenai Freeport yang terus mengeruk habis sumber daya alam Papua.

 

Tidak hanya itu, mereka juga menilai pendekatan keamanan yang selama ini diberlakukan lebih mengancam orang Papua. Seperti, pembukaan Kodam dan Polda di Manokwari, Papua Barat, pembentukan Satgas Damai BIN dan upaya membangun markas militer di Biak dan Sorong yang akan mengakibatkan penembakan, penyiksaan, penangkapan, teror terhadap warga sipil. Termasuk disinfomasi seperti pemberitaan OPM turun gunung, Goliath Tabuni beralih profesi sebagai pengusaha.

 

“Oleh sebab itu, kami sadari bahwa Jakarta sebenarnya masih terus mengisolasi Papua, karena jelas, akses masuk wartawan asing masih dibatasi, lembaga-lembaga asing dibatasi untuk Papua. Terakhir, Oxfam Inggris menutup kantornya di Jayapura, sejak 13 Desember 2015.”

 

“Di mana posisi gereja Papua berdiri? Bagaimana kami sebagai gereja di Papua menggembalakan jemaat-jemaat yang teraniaya ini? Dan termasuk bagaimana kami sebagai gereja menilai Presiden Jokowi dan kabinetnya?” tanya mereka terhadap posisi gereja di Papua.

 

Dengan demikian, mereka menilai Presiden Jokowi sebaga Daendels kedua. Daendels adalah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda berkebangsaan Belanda yang bertugas melindungi Pulau Jawa dari serangan Inggris pada tahun 1808.

 

“Dari perkembangan-perkembangan ini, kami gereja memahami bahwa pemerintah sebetulnya memposisikan Papua sebagai pihak atau musuh yang harus dilumpuhkan, disingkirkan secara sistematis, baik itu dari sisi kultur, identitas maupun eksistensi.”

 

“Seperti rencana pembangunan kereta api dan kebijakan lainnya Papua diposisikan sebagai sepihak. Orang Papua dianggap bodoh, primitif, manusia koteka dan lainnya, sehingga dengan demikian Jokowi dan pemerintahnya (seperti pemerintah sebelumnya) mengangkat dirinya sebagai pihak yang bisa menolong Papua keluar dari posisinya tadi.”

 

Dengan melihat kebijakan Presiden Jokowi untuk membangun rel kereta dan pembangunan lainnya, pimpinan gereja dan umat di Papua menilai Presiden tidak bedanya dengan kebijakan Daendels yang membangun “jalan kereta api ” dari Anyer (Jawa Barat) ke Panarukan untuk mempercepat penaklukkan bangsa Jawa tahun 1808 sekaligus untuk memperlancar upaya eksploitasi sumber daya alam Jawa.

 

Sementara, secara teologis pihaknya memandang kenyataan Papua yang sarat kekerasan yang dikondisikan lewat kebijakan Jokowi (identik dengan Daendels) sebagai upaya-upaya yang dirancang secara sistematis untuk melumpuhkan daya juang Papua (sebagai manusia) untuk berperan aktif sebagai subyek dalam penciptaan, dan membongkar bentuk-bentuk kemapanan dan kebekuan untuk menciptakan bentuk keberadaan yang penuh vitalitas baru, seperti kata teolog Reinhard Niebuhr yang sudah dikutip sebelumnya.

 

Editor: Oktovianus Pogau

 

ELISA SEKENYAP

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.