ArsipMakna HUT RI ke-70 di Papua; Pelanggaran HAM dan Korupsi Masih Tinggi...

Makna HUT RI ke-70 di Papua; Pelanggaran HAM dan Korupsi Masih Tinggi (Bagian I)

Minggu 2015-08-16 10:04:36

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Beberapa warga Papua, baik aktivis, politisi, mahasiswa, jurnalis, dan termasuk pengurus Dewan Adat Papua (DAP) memberikan tanggapannya terkait makna Hari Ulang Tahun (HUT) RI yang ke-70 bagi warga Papua di Tanah Papua.

Ada yang optimis Papua akan lebih baik di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di usia yang ke-70 tahun, namun ada juga yang pesimis, dan meragukan komitmen pemerintah Indonesia untuk membangun Tanah Papua yang lebih bermartabat dan damai.

 

Sebagian besar berpendapat, berbagai peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan kasus korupsi masih terus terjadi, dan mengalami peningkatan selama Papua digabungkan ke dalam NKRI

 

Paskalis Kossay, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Golkar, mengatakan, sudah 70 tahun Indonesia merdeka, namun masyarakat Papua belum menikmati arti kemerdekaan yang sesungguhnya.

 

Ia menilai saat ini masyarakat Papua di seantero Tanah Papua masih hidup dalam penderitaan yang lama, baik penderitaan secara politik, ekonomi, hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM).

 

“Secara politik orang Papua berada dalam tekanan kekerasan dan konflik. Terjadi penembakan, pembunuhan dan intimidasi dimana-mana. Secara ekonomi, orang Papua semakin menjadi kelompok masyarakat marginal dalam persaingan ekonomi.”

 

“Secara hukum, tidak ada penegakan hukum bagi rakyat kecil, khususnya orang asli Papua. Sedangkan secara ideologis, orang Papua masih merasa mereka bukan bagian dari Indonesia, kemudian mencoba menggugat sejarah politik masa lalu,” kata Kossay.

 

Menurut Kossay, apa yang ia utarakan merupakan fakta kehidupan orang Papua hari ini, karena itu saat ini bagaimana cara pemerintah pusat melihat kehidupan orang Papua.

 

“Apakah ini dipandang sebagai sesuatu keadaan yangg biasa-biasa saja, atau ada langkah-langkah dan kebijakan serius menangani persoalan tersebut.”

 

“Saya pikir momentum 70 hari kemerdekaan Indonesia ini harus dimanfaatkan untuk merefleksikan setiap langkah dan kebijakan membangun tanah Papua,” katanya.

 

Menurut Ketua DPD Golkar Provinsi Papua versi Munas Ancol ini, pemerintah Indonesia harus mencari solusi yang tepat untuk Papua, termasuk konsisten melaksanakan setiap kebijakan yang dikeluarkan.

 

“Tidak perlu dicari-cari kebijakan baru, tetapi duduk bersama dengan rakyat Papua lalu evaluasi UU Otonomi khusus. Lihat dan periksa kembali UU Otsus itu, dan sungguh-sungguh diterapkan, kemudian dibuat kebijakan sesuai hasil evaluasi dan konsisten dilaksanakan,” tutup Kossay.

 

Sementara itu, mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Papua, Thomas Syuffi menegaskan, moment HUT RI yang ke-70 harus menjadi momentum evaluasi bagi pemerintah pusat.

 

“Karena 70 tahun rakyat Indonesia bernegara dan bekonstitusi, namun tidak berati apa-apa bagi rakyat Papua, dan Indonesia. Banyak rakyat Indonesia, yang menderita, jadi pengamen, tidur di emperan toko, kolong jembatan, dan meminta-minta.”

 

“Ini menandakan bahwa Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Sampai saat ini masih terjadi pelanggaran HAM dengan keterlibatan negara di dalamnya. Padahal, tujuan utama rakyat Indonesia (Sabang-Ambon/Maluku) membentuk negara RI agar dapat menjamin kehidupan mereka di segala bidang,” ujar Thomas.

 

Dikatakan, invasi militer ke Papua melalui Trikora juga telah menodai semangat perjuangan bangsa Indonesia, yang mana secara gamblang dijabarkan di Pembukaan UUD 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan.”

 

“Sampai saat ini masih terjadi pembunuhan ribuan rakyat Papua tanpa proses pengadilan. Sejumlah tokoh-tokoh politik Papua, seperti Thomas Wanggai, Theys H. Eluay, Mako Tabuni pun dibunuh tanpa proses pengadilan.”

 

“50 tahun orang Papua menjadi anak setia dengan RI, namun diperlakuakan secara tidak adil. Presiden Jokowi sibuk bicara soal kemanusiaan di Prancis, Palestina, tetapi dia lupa akan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua.”

 

“Hal ini, membuat keindonesiaan orang Papua makin pudar dan pupus. Para kaum tertidik pun kadang luntur nasionalismenya. Anak SD-SMA, bahkan mahasiswa, kepala-kepala daerah ada yang tidak bisa menghafal dan paham tentang Pancasila, dan Lagu Indonesia Raya, ini fakta 70 tahun kemerdekaan Indonesia di Papua,” ungkapnya.

 

Menurut Thomas, hingga saat ini Rakyat Papua sudah bosan dengan pidato-pidato angin surga dari elit Jakarta, karena itu sudah saatnya direnungkan kembali perjalanan bangsa Indonesia di Tanah Papua.

 

“Presiden Jokowi harus ambil keputusan yang pasti terkait dengan masa depan orang Papua. Salah satunya membuka ruang dialog dengan rakyat Papua.”

 

“Dialog sebagai langkah terbaik untuk mengurai semua permasalahan yang terjadi dan carikan solusinya seperti apa ke depan. Ini akan perbaiki martabat bangsa Indonesia dalam panggung diplomasi internasional,” tegasnya.

 

Menurut Thomas, saat ini nama Indonesia buruk di mata dunia hanya karena masalah pelanggaran HAM berat di Tanah Papua.

 

“Selain itu, kami juga berharap pemerintah Indonesia harus bertanggungjawab atas nasib 2000 lebih milisi Timor Leste yang kini terlantar di Indonesia,” katanya.

 

Thomas yang juga aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) ini berharap, milisi Timor Leste bisa diperhatikan, karena keterlantaran mereka akibat dari janji pemerintah kepada mereka saat proses referendum berlangsung.

 

“Janji pemerintah untuk lindungi pengungsi Timor Leste ini dikebiri oleh pemerintah Indonesia sendiri. Kini mereka sangat menderita, pemerintah Indonesia melupkan mereka.”

 

“Hal seperti ini jangan terulang lagi ke daerah-daerah lain suatu kelak, juga harus menjadi contoh untuk warga Papua. Kemanusiaan harus diutamkan diatas kepentingan apapun,” ujarnya.

 

Sementara itu, Rahmat Kogoya, salah tokoh pemuda Papua dari Kabupaten Tolikara, Papua, menegaskan, 70 tahun Indonesia merdeka bukanlah waktu yang singkat, dan tentu diharapkan sudah terjadi banyak perubahan di Tanah Papua.

“Sudah 70 tahun Indonesia merdeka, namun sangat nampak kesenjangan sosial antara Papua dan daerah lain di Indonesia, ini salah satu penyebab pro dan kontra soal integrasi Papua ke dalam Indonesia,” ujar Kogoya.

 

Menurut Kogoya, pro dan kontra ini menunjukan ada masalah di tanah Papua yang perlu dibenahi secara serius dan tuntas oleh pemerintah pusat, maupun oleh orang Papua sendiri.

 

“Sebab saat ini masyarakat Papua tertindas secara psikis dan fisik, maka perlu pendekatan secara persuasif karena ini menyangkut harkat dan martabat orang Papua.”

 

“Semua pelanggaran HAM, maupun kejahatan Korupsi di Tanah Papua harus benar-benar diungkap oleh Negara agar memenuhi rasa keadilan,” ujar Kogoya.

 

Dikatakan, bukan hanya hilangnya nyawa seseorang saja yang dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM berat, namuntindak pidana korupsi pun termasuk dalam pelanggaran HAM berat dan mesti dituntaskan.

 

“Maka itu hukum harus menjadi Panglima. Sebab jika tidak, isu balas dendam akan diwariskan dari generasi ke generasi sebagai saksi, sekaligus korban yang hingga kini belum mendapatkan keadilan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh pancasila, maupun UUD 1945,” tegasnya. (Bersambung)

 

OKTOVIANUS POGAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

PBB Memperingatkan Dunia yang Sedang Melupakan Konflik Meningkat di RDK dan...

0
"Rwanda melihat FDLR sebagai ancaman besar bagi keamanannya. Tentara Kongo berkolaborasi dengan FDLR, yang membuat Kigali marah,” kata Titeca.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.