ArsipPuzzle 12 Tahun Implementasi UU Otsus Papua

Puzzle 12 Tahun Implementasi UU Otsus Papua

Jumat 2013-04-05 09:35:45

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (dan Papua Barat kini) ada dengan tujuan: memberikan wewenang yang (lebih) luas bagi Pemerintah Provinsi Papua dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri; memberi wewenang yang juga luas menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua, selain memberdayakan potensi sosial, budaya, dan perekonomian, serta memberi peran memadai bagi orang asli Papua.

Di bidang pemerintahan, kekhususan mencakup: (1) adanya Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu melindungi hak-hak orang asli Papua; (2) DPR Papua yang nomenklaturnya berbeda dengan DPRD, sehingga perekrutan anggota DPRP ada yang diangkat, dan ada yang dipilih melalui Pemilu; (3) Adanya Perdasus dan Perdasi; (4) Distrik; dan (5) Calon gubernur dan calon wakil gubernur harus orang asli Papua.

Dua belas tahun sudah UU Otonomi Khusus Papua (UU Nomor 21/2001 juncto UU Nomor 35/2008) diberlakukan. Pertanyaan yang muncul adalah seberapa efektif, seberapa berhasilkah atau gagalkah pelaksanaan UU yang kelahirannya diharapkan mempercepat pensejahteraan rakyat Papua?

 

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Penyebabnya karena tiadanya tolok ukur atau parameter yang jelas, parameter yang disepakati bersama untuk menjadi dasar atau acuan bagi semua yang berkepentingan langsung maupun tidak, untuk menilai. Alhasil, bermunculanlah saling klaim berdasarkan sudut pandang tertentu.

Pasal 78 UU Otsus Papua dengan terang menyatakan: pelaksanaan Otsus Papua dievaluasi tiap tahun dan evaluasi pertama dilaksanakan pada akhir tahun ketiga sesudah UU Nomor 21 Tahun 2001 diberlakukan.

Sangat jelas evaluasi pertama kalinya mesti dilakukan pada akhir tahun 2005. Namun yang terjadi, telah menjadi pengetahuan bersama: sejauh ini evaluasi belum pernah dilaksanakan. Siapa yang mengevaluasi dan apa yang dievaluasi, lantas ikut menjadi bagian dari kompleksitas masalah Papua.

Tak cuma Pasal 78 yang dilanggar. Masih ada pasal-pasal lain yang juga dilanggar selama dua belas tahun pelaksanaan Otsus. Dua contoh telanjang misalnya, (1) perubahan UU Nomor 21/2001 menjadi UU Nomor 35/2008, sudahkah mengikuti amanat Pasal 77 UU Nomor 21/2001 yang dengan terang menyebutkan, “Usul perubahan atas undang-undang ini dapat dilakukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan perundang-undangan”?; dan (2) Apakah lahirnya Provinsi Irian Jaya Barat (kini Papua Barat) mengikuti amanat Pasal 76 UU Nomor 21/2001 yang jelas-jelas menyatakan, ”Pemekaran Provinsi Papua dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP”?

Namun, pemerintah (penentu dan pengambil kebijakan), baik di pusat maupun daerah, segera menyodorkan argumen dan sejumlah data yang dimiliki tatkala ada pihak yang menilai Otsus belum berhasil atau bahkan gagal.

Sementara pihak yang menyatakan Otsus belum berhasil atau gagal tentu bukannya tanpa dasar. Satu hal yang niscaya disepakati bersama adalah implementasi Otsus belum sempurna. Belum dilaksanakan dengan konsisten dan utuh.

Implementasi yang belum sempurna ini pada sejumlah kasus, disebabkan karena; pertama: pemahaman yang simpang siur, antara sejumlah kalangan di pusat maupun di daerah.

Kedua: implementasi UU Otsus juga ditentukan oleh aturan-aturan pelaksanaannya, seperti peraturan pemerintah (PP), peraturan daerah provinsi (Perdasi) dan peraturan daerah khusus (Perdasus). Nah, aturan-aturan pelaksanaan inilah yang lambat dibuat. Sekadar contoh, UU Otsus diundangkan tahun 2001, tetapi PP tentang Majelis Rakyat Papua (MRP) misalnya, baru diadakan tiga tahun kemudian, pada tahun 2004.

Sedangkan Perdasi/Perdasus lebih lambat lagi. Sebagai gambaran, pada tahun 2004-2005 dihasilkan 12 Perdasi. Pada rentang 2006 sampai 2010, setidaknya telah dihasilkan 35 Perdasi dan 8 Perdasus. Bisa dibayangkan bagaimana implementasi sebuah undang-undang, bila aturan-aturan pelaksanannya belum ada. Kalaupun aturan pelaksanaannya sudah ada, persoalan berikutnya adalah ketaatan dan kekonsistenan melaksanakan aturan-aturan tersebut.

Ketiga: masih terjadi tarik menarik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Menurut UU Otsus kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan.

Tarik menarik tersebut terjadi akibat persoalan trust antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi Papua. Pemerintah Pusat kerap berpendapat Pemerintah Provinsi Papua unable, sementara Pemerintah Provinsi Papua seringkali menilai Pemerintah Pusat unwilling. Maka dalam pelaksanaan penyerahan kewenangan di luar enam bidang tersebut dari pusat kepada Provinsi Papua, belum dilaksanakan dengan baik. Lahirnya Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) adalah contoh telanjangnya.

Keempat: masalah tata kelola yang belum bagus. Ketika aturan pelaksanaan UU Otsus belum ada, tata kelola pemerintahan juga belum cukup berdaya karena belum disiapkan dengan baik, pada saat yang sama dikucurkan dana Otsus dalam jumlah relatif besar. Kondisi ini berakibat penggunaan dana Otsus belum atau tidak dikelola dengan baik. Kondisi yang membuka ruang terjadinya penyalahgunaan dana dan sejenisnya.

Alhasil sejak 2002  hingga 2013 sudah puluhan triliun rupiah mengalir ke Papua, namun angka kemiskinan, masih tergolong tinggi. Kendatipun ketika menyampaikan pidato pengantar/keterangan pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun anggaran 2010 beserta nota keuangannya di depan Rapat Paripurna Luar Biasa DPR RI, di Jakarta, 3 Agustus 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  menyampaikan apresiasinya kepada seluruh jajaran pemerintah daerah yang telah mampu menurunkan angka kemiskinan di daerahnya pada tahun 2007 dan 2008. Dimana persentase tertinggi terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat, dengan penurunan mencapai 4 persen.

11 Lalu 14 Kursi DPRP

Silang pendapat dan berlarut-larutnya realisasi pengangkatan 11 kursi di DPR Papua yang diamanatkan Pasal 6 ayat (2) UU Otsus adalah satu contoh belum sempurnanya implementasi Otsus Papua.

Bila satu organ penting implementasi Otsus Papua, yaitu DPRP  saja masih bermasalah, niscaya bisa dibayangkan seperti apa pelaksanaan Otsus. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penyebab utama berlarut-larutnya realisasi pengangkatan 11 kursi (lalu menjadi 14 setelah putusan MK) akibat pemahaman yang simpang siur dalam memaknai Pasal 6 ayat (2-4) UU Otsus tersebut.

Kesimpangsiuran yang memaksa Barisan Merah Putih (BMP) memperkarakan belum dilaksanakannya amanat Pasal 6 ayat (2) UU Otsus Papua ke Mahkamah Konstiusi (MK). Kesimpangsiuran barulah berakhir setelah MK memvonis gugatan BMP tersebut pada 1 Februari 2010.

Dalam amar putusan perkara Nomor: 116/PUU-VII/2009, MK menyatakan DPR Papua barulah sah bila amanat Pasal 6 ayat (2) UU Otsus Papua dilaksanakan. Untuk itu, anggota DPRP ada yang diangkat dan pengangkatannya mestilah didasarkan pada Perdasus. Perdasus yang sejauh ini belum diselesaikan. Karena berlabel Perdasus, maka tentu saja menjadi tanggungjawab utama pihak eksekutif, legislatif (DPRP) dan MRP, sebab lahirnya Perdasus merupakan hasil kerja tiga organ utama Pemerintah Provinsi Papua tersebut, bersama elemen-elemen masyarakat Papua.

Kalau amanat Pasal 6 ayat (2) UU Otsus Papua dapat diwujudkan pada Pemilu 2014, maka butuh waktu 13 tahun barulah satu pasal dalam UU Otsus Papua terlaksana. Pertanyaan yang muncul adalah, kalau demikian akan seperti apa atau kapan barulah pasal-pasal lain yang sejauh ini belum terlaksana, seperti partai politik lokal, komisi kebenaran dan rekonsiliasi, peradilan adat, hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan dengan beban biaya yang serendah-rendahnya, dapat terlaksana?

Menjawab pertanyaan ini, hal utama dan terutama yang dibutuhkan adalah kesamaan pandang, dan kesatuan (unity) baik antar elemen masyarakat, unsur-unsur pemerintah: daerah maupun pusat. Prakondisi ini mutlak dibutuhkan agar Otsus Papua benar-benar menjadi rahmat bagi Papua, bukan sebaliknya menjadi potongan-potongan  puzzle yang membingungkan, bahkan dicemooh dan ditolak.

*Penulis adalah mantan wartawan SKM Tifa Irian

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.