ArsipKasus Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan Tidak Pernah Ditindaklanjuti

Kasus Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan Tidak Pernah Ditindaklanjuti

Selasa 2015-10-27 09:34:24

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Yayasan Humi Inyane atau Yayasan Suara Perempuan yang berbasis di Kabupaten Jayawijaya ini menemukan sepuluh kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan sepanjang tahun 2015. Kasus-kasus ini terungkap melalui laporan korban dan pendampingan yang dilakukan Humi Inyane.

Margaretha Wetipo, Direktur Yayasan Humi Enyane saat konferensi pers mengatakan, sepanjang tahun 2015 pihaknya telah menemukan 10 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, yakni kasus kekerasan fisik maupun seksual.

 

Wetipo merinci, dari laporan yang diterima pihaknya di tahun 2015, ada 10 kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, 23 kasus penelantaran dalam rumah tangga, 30 kasus kekerasan fisik dalam rumah tangga, dan 11 kasus kekerasan yang terjadi di sekolah.

 

“Kekerasan terhadap anak dan perempuan di Jayawijaya sangat banyak. Selama ini biasa diselesaikan secara kekeluargaan. Memang kita bisa lihat dari sisi budaya, tetapi yang sekarang ini kasus kekerasan seksual memang sangat rentan sekali, ketika kami tidak menyelesaikan kasus ini otomatis anak-anak akan mengalami kekerasan dan terganggu psikologisnya,” kata Wetipo di Rumah Bina Wamena, siang tadi, Selasa (27/10/2015).

 

Namun, kata Wetipo, ketika dilaporkan ke pihak kepolisian dan Pemerintah Daerah (Pemda), kasus-kasus ini tidak pernah ditindaklanjuti sesuai hukum yang berlaku.

 

“Kami temukan 10 kasus dalam beberapa bulan, dan dua kasus kekerasan seksual pelakunya adalah orang tua kandung sendiri.” 

 

“Kami pun telah mengadvokasi kepada pihak kepolisian, tetapi dari pihak kepolisian tidak melanjutkan kasus ini, jadi kami sangat prihatin. Kami harap pihak kepolisian harus kerja maksimal, supaya ada efek jerah dan kasus-kasus ini tidak terulang lagi,” tegasnya.

 

Ia mengatakan, untuk kasus-kasus ini tidak bisa dipandang dari kaca mata budaya, tetapi dilihat dari aturan penegakan hukum yang ada di negara ini.

 

Dikatakan, untuk menindaklanjuti kasus-kasus ini dengan proses hukum yang ada, sangat perlu pihak pemerintah menyediakan shelter atau tempat berlindung bagi korban kekerasan, tetapi karena tidak ada akibatnya pihak kepolisian memulangkan korban ke orang tuanya, padahal orang tuanya adalah pelaku dari kasus itu.

 

Untuk 10 kasus kekerasan seksual di bawah umur, jelas Wetipo, 8 kasus sudah diselesaikan secara kekeluargaan, dan dua kasus lainnya belum dituntaskan.

 

“Hasil visum sudah ada dan diserahkan ke polisi, tetapi tidak ditindaklanjuti, malah memulangkan korban kepada orang tua. Korban anak ini berusia 7 tahun dan pihak polisi menyampaikan sesuai laporan orang tua jika anak ini gangguan jiwa, maka dipulangkan. Tetapi kenapa cepat percayai orang tua? Memangnya polisi sudah lakukan tes kesehatan terhadap anak jika anak tersebut gangguan jiwa?” ujarnya.

 

Ia menambahkan, kasus yang didampingi selama ini rata-rata anak usia 7-14 tahun, pelakunya rata-rata dari pihak keluarga dekat. Termasuk ada kasus KDRT dalam lingkup keluarga.

 

“Kami selama ini berusaha mendampingi korban-korban, tetapi karena tidak ada penyelesaian hukum, kami pun kecewa. Kapan penegakan hukum ini bisa berjalan di Jayawijaya sesuai aturan hukum yang ada?” tanya Wetipo.

 

Oleh sebab itu, pihaknya berharap Pemerintah Daerah segera membuat Shelter, supaya pendampingan dan mediasi bisa berjalan dengan baik. Kerja sama antara lembaga, yakni pihak kepolisian dan TP2A Kabupaten Jayawijaya juga tidak berjalan baik tanpa alasan yang jelas.

 

“Kami juga pertanyakan apa fungsi pemberdayaan perempuan dan kenapa tidak bisa menindaklanjuti kasus-kasus yang dilaporkan ini.”

 

Sementara itu, Ence dari Yayasan Teratai Hati Papua (YTHP) mengatakan, tidak ada alasan untuk tidak menindaklanjuti kasus-kasus yang ada untuk diproses hukum, karena itu bukan delik aduan, sehingga ini tidak bisa ditarik untuk proses mediasi.

 

“Saya pikir tanpa laporan orang tua juga bisa diproses sesuai dengan undang-undang perlindungan anak nomo 23 tahun 2002. Tidak adanya proses hukum mengakibatkan kejadian berulang-ulang, karena korban dikembalikan ke keluarga, padahal pelaku sendiri dalam lingkungan keluarga,” tegas Ence.

 

Editor: Oktovianus Pogau

 

ELISA SEKENYAP

Terkini

Populer Minggu Ini:

Mahasiswa Papua di Sulut Akan Gelar Aksi Damai Peringati Hari Aneksasi

0
“Jadi hasil akhir dari diskusi bahwa tanggal 1 Mey 2024 akan dilakukan aksi damai (aksi kampanye), sementara yang menjadi penanggung jawab dari aksi 1 Mei 2024 ini adalah organisasi KNPB Konsulat Indonesia yang dibawahi oleh saudara Agusten dan Kris sebagai coordinator lapangan,” jelas Meage.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.