ArsipLPMA SWAMEMO Komitmen Tuntaskan Masalah Pertambangan Emas Degeuwo

LPMA SWAMEMO Komitmen Tuntaskan Masalah Pertambangan Emas Degeuwo

Senin 2015-02-09 00:41:30

Dalam tahun 2015 ini, Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni (LPMA SWAMEMO) Wilayah Adat Meepago Kabupaten Paniai berkomitmen untuk fokus pada agenda dan langkah-langkah kerja penyelesaian permasalahan pertambangan emas liar/ilegal di sepanjang Sungai Degeuwo.

Oleh: Thobias Bagubau*

 

Wilayah sepanjang Sungai Degeuwo hingga hari ini terus dieksploitasi banyak pengusaha dan perusahaan ilegal. Sudah 12 tahun mereka mengeruk kekayaan emas, sejumlah pengusaha mendatangkan minuman keras (Miras) hingga Wanita Tuna Susila (WTS) dari luar Papua.

 

Tak sedikit persoalan terjadi sejak daerah milik tiga suku (Walani, Mee dan Moni) ini ditemukan butiran emas di Tagipige pada tahun 2003 lalu. Seiring hadirnya pengusaha dan perusahaan ilegal, puluhan warga setempat korban, akibat ditembak aparat keamanan.

 

Sementara, hak-hak dasar masyarakat adat di sepanjang Sungai Degeuwo masih terus diabaikan. Oleh karena itu, LPMA SWAMEMO berkomitmen mendorong agar persoalan-persoalan tersebut harus segera diselesaikan dalam masa kepemimpinan Bupati Kabupaten Paniai, Hengky Kayame.

 

Perlu diketahui, sejak tahun 2007 hingga 2012, kami terus advokasi persoalan Degeuwo ke instansi pemerintah, berbagai jaringan LSM/NGO di tingkat lokal, Nasional, Regional, bahkan Internasional. Agar persoalan Degeuwo segera diatasi dengan mengambil sebuah solusi yang memuaskan keinginan masyarakat adat di sepanjang Sungai Degeuwo.

 

Upaya tersebut agar mewujudkan keadilan, keselamatan kemanusiaan dan kekayaaan alam yang ada di daerah ini untuk dikelola dan hasilnya dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat pemilik hak ulayat di sekitar Degeuwo.

 

Jujur bahwa selama ini masyarakat pribumi terpinggirkan dari hak ulayatnya, sementara kekayaan terus dikeruk orang luar Degeuwo. Masyarakat benar-benar tak mendapat hasil sedikitpun. Ekonomi keluarga, kesejahteraan, pendidikan, kesehatan dan pembangunan jauh dari yang didambakan.

 

Hak-hak dasar masyarakat adat Degeuwo tidak mendapat perhatian layak, selalu diabaikan sampai saat ini.

 

Oleh sebab itu, untuk menjawab beberapa persoalan mendasar yang kami jelaskan tadi, akhirnya awal tahun 2007 lalu, sesuai dengan keinginan masyarakat adat Degeuwo dan beberapa tokoh masyarakat mengharapkan agar segera membentuk sebuah wadah atau organisasi yang dinamakan Aliansi Intelektual Suku Walani Mee dan Moni (AISWMM), berkedudukan sementara di Jayapura.

 

AISWMM dibentuk secara mendadak karena melihat berbagai persoalan yang terjadi di lokasi pendulangan emas di Degeuwo, untuk kepentingan advokasi dan koordinasikan langsung kepada lembaga-lembaga terkait yang ada di Jayapura.

 

Sedangkan Tim Terpadu kedudukan di Kabupaten Paniai dan Nabire, yang untuk bekerjasama dan mengakomodir masyarakat adat Degeuwo serta AISWMM di Jayapura agar memudahkan koordinasi kerja antara kedua wadah yang dibentuk. Wilayah kerja kedua wadah ini, lebih fokus di sepanjang Sungai Degeuwo.

 

Pembentukan dua wadah ini, dengan tujuan mengakomodir masyarakat adat tiga suku yakin Walani, Mee dan Moni guna melakukan sosialisasi, pemberian kesadaran dan pemahaman kepada masyarakat adat tiga suku di sepanjang Sungai Degeuwo.

 

Selain itu, kedua wadah ini lebih fokus pada melakukan ivestigasi di lapangan dan kajian yang kemudian dijadikan bahan seminar, audiens, dan advokasi kepada pihak terkait, pemerintah dan LSM/NGO.

 

Adapun beberapa persoalan yang terjadi selama ini di Degeuwo, yaitu:

 

1). Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pembunuhan dan intimidasi terhadap Masyarakat Adat suku Walani, Mee dan Moni di sepanjang Sungai Degeuwo oleh oknum aparat TNI/Polri yang selama ini terus dibacking pengusaha dan perusahaan ilegal, mulai sejak tahun 2003 hingga 2014.

 

2). Perampasan dan pencurian hasil kekayaan alam oleh oknum pengusaha dan perusahaan liar baik orang pendatang maupun orang Papua yang nota bene bukan pemilik hak ulayat di sepanjang Sungai Degeuwo.

 

3). Kerusakan Lingkungan; penebangan hutan, kehancuran tanah, penggusuran gunung keramat milik masyarakat Degeuwo.

 

4). Munculnya berbagai penyakit sosial dan HIV/AIDS karena adanya WTS yang didatangkan oleh pengusaha ilegal di sepanjang sungai Degeuwo.

 

5). Persoalan administrasi surat izin yang dikeluarkan oleh mantan Bupati Naftali Yogi dan Bupati Nabire kepada oknum pengusaha dan perusahan skala besar maupun menengah di Degeuwo. Semuanya tidak sah secara hukum.

 

Melihat situasi dan persoalan demikian, akhirnya pada tahun 2012 pengurus AISWMM dan Tim Terpadu Kabupaten Paniai dan Nabire bersama masyarakat adat pemilik hak ulayat Degeuwo berkumpul di Jayapura dengan tujuan untuk membentuk sebuah lembaga yang representatif.

 

Lembaga tersebut diberi nama Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni (LPMA SWAMEMO). Saat itu dibentuk berdasarkan masukan, saran dan pendapat dari masyarakat adat bersama beberapa pihak guna penyatuan dalam sebuah musyawarah resmi.

 

Kehadiran lembaga resmi secara hukum ini dengan tujuan agar terus mendorong persoalan pertambangan emas ilegal di sepanjang Sungai Degeuwo dan memediasi atau menyuarakan aspirasi masyarakat ulayat Degeuwo kepada pemerintah daerah, provinsi serta instansi terkait, termasuk LSM/NGO agar dapat diketahui semua persoalan yang selama ini terjadi di Degeuwo.

 

Upaya tersebut diharapkan bisa membantu mencarikan solusi yang memuaskan keinginan masyarakat Degeuwo, bahkan berbagai persoalan yang selama ini terus terjadi di wilayah Adat Meepago bisa teratasi secara baik.

 

Tetapi, hingga sekarang hal ini belum terwujud. Mengapa? Karena di Degeuwo banyak kepentingan untuk meraup keuntungan dan memberi kaya oknum-oknum itu sendiri, bahkan TNI/Polri juga terus biarkan bukannya menangkap oknum pengusaha ilegal yang mencuri hasil kekayan alam Degeuwo. Justru backing pengusaha dan perusahaan liar yang selama ini mencuri hasil kekayaan alam di sepanjang Sungai Degeuwo .

 

Berbagai persoalan yang kami uraikan tadi merupakan ancaman serius bagi generasi penerus masa depan anak cucu kita, suku Walani, Mee dan Moni, orang Papua secara umum. Sebab faktanya, masalah-masalah yang ada tak pernah diseriusi oleh Pemda Paniai dibawah kepemimpinan Naftali Yogi.

 

Lagian surat izin dikeluarkan oleh mantan Bupati Paniai itu kepada sejumlah pengusaha dan perusahaan pun tak sah secara hukum. Pemerintahan Naftali Yogi tak pernah mengambil suatu kebijakan yang betul-betul memihak kepada masyarat adat dan menyelamatkan kemanusiaan dan kekayaan emas di sepanjang Sungai Degeuwo .

 

Sebaliknya, berbagai persoalan yang terus terjadi. Itupun belum pernah diatasi dengan baik dan bijaksana. Malah, penambangan emas liar di Degeuwo dijadikan bisnis pribadi hasil pencurian emas oleh pengusaha illegal sebagian besar disalurkan ke kantong Naftali Yogi bersama beberapa instansi tertentu di dalamnya.

 

Data yang ada, beberapa instansi terlibat dan bermain langsung untuk menikmati hasilnya secara tertutup. Bayangkan, PAD yang diterima pada waktu kepemimpinan Naftali Yogi mencapai Rp12 Miliar lebih.

 

Tetapi kenyataannya, mantan bupati dan kroninya tak berbuat apa-apa untuk masyarakat Walani, Mee dan Moni di Degeuwo, justru puluhan orang yang korban di atas kekayaan alam mereka.

 

Sejak beberapa tahun lalu, masyarakat merasakan langsung dampak buruk akibat kehadiran pengusaha dan perusahaan ilegal yang selama dibacking oleh oknum TNI/Polri.

 

Selain itu, mantan bupati dan jajarannya juga mengabaikan teriakan Masyarakat Adat di Degeuwo. Akibatnya, masyarakat di sana tetap saja mengalami kemiskinan, menderita, dan korban di atas aneka kekayaan alam.

 

Bukan itu saja, hal lain yang kami lihat dan amati selama ini, ada beberapa kelompok besar yang masih juga terus eksis bekerja sama dangan pengusaha liar dan selalu melakukan penagihan di Bandara Nabire; menagih setiap flight helicopter ke Degeuwo.

 

Kelompok tertentu ini selalu mengatasnamakan masyarakat pemilik hak ulayat Suku Walani Mee dan Moni. Pengusaha ilegal di Degeuwo alokasikan dana sebagian pada tiap flight helicopter terbang ke Degeuwo kurang lebih sekitar 50% lebih, tetapi yang menjadi pertanyaan kami adalah dana-dana yang sudah dialokasikan hasil penangihan setiap flight helicopter, dan dana lain yang dibantu oleh pengusaha kepada kelompok tertentu ini, pertanggungjawabannya sejauh mana?

 

Juga, kepada sasaran mana dana tersebut digunakan? Sebab selama ini penggunaan dana hasil tagihan setiap flight helicopter ataupun bantuan lain dari pengusaha kepada kelompok tertentu ini, sangat tertutup dan tidak jelas.

 

Mulai tahun 2015 ini, mereka harus pertanggungjawabkan kepada masyarakat adat pemilik hak ulayat; berapa banyak yang mereka bantu kepada masyarakat pemilik ulayat Degeuwo?

 

Dan pengusaha yang menyalurkan dana kepada kelompok itupun semestinya juga memberikan penjelasan atau keterangan kepada publik dan kepada kami pengurus LPMA SWAMEMO sebagai lembaga representatif masyarakat adat di sepanjang Sungai Degeuwo.

 

Beberapa hal ini penting untuk diketahui lebih jelas, jangan sampai pengusaha dan kelompok tertentu ini bekerja sama mencari keuntungan bisnis belaka.

 

Inkuiri Nasional

 

LPMA SWAMEMO ikut kegiatan Inkuiri Nasional dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) di Jayapura, 24-28 November 2014.

 

Kegiatan yang dilaksanakan Kanwil Hukum dan HAM Propinsi Papua, kami bergabung dan terlibat langsung dalam Inkuiri Nasional tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas wilayah di kawasan hutan di seluruh Indonesia, lebih khusus di Papua.

 

Beberapa kabupaten yang bermasalah antara lain Masyarakat Suku Walani Mee dan Moni di Degeuwo, berkaitan dengan persoalan penambangan liar di sepanjang Sungai Degeuwo Kabupaten Paniai.

 

Sedangkan Masyarakat Adat Kerom berkaitan dengan persoalan Kelapa Sawit. Juga hal yang sama Masyarakat Adat Yerisiam di daerah Sima-Wami Kabupaten Nabire, dan Masyarakat Adat Malind Kabupaten Merauke.

 

Selain itu, Masyarakat Adat Wasior Kabupaten Teluk Wondama, persoalannya berkaitan dengan Kelapa Sawit dan persoalan pelanggaran HAM tahun 2001.

 

Berkaitan dengan persoalan tersebut, hadir dalam Inkuiri Nasional Komnas HAM RI sejumlah pihak korban dan pihak terkait dari berbagai unsur yaitu pemerintah ,TNI Polri, perusahaan dan pengusaha untuk melakukan sidang guna mendengarkan keterangan umum dari pihak korban dan pihak terkait, lalu persoalan ini nantinya akan didorong dan ditindaklanjuti oleh Inkuiri Nasional Komnas HAM bekerja sama dengan instansi terkait.

 

Termasuk terlibat pula 6 kementerian antara lain Kementerian Pertambangan dan Energi, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Perkebunan, dan Kementerian Pertanian.

 

Selain itu, bekerja sama dengan konsultan KPK. Hasil akhir adalah perubahan peraturan atau kebijakan, peningkatan kesadaran pemangku kebijakan/publik, pemberdayaan masyarakat hukum adat, Road Map persoalan geografis, persoalan hak masyarakat hukum adat wilayahnya di kawasan hutan lindung.

 

Agenda 2015

 

Mulai tahun ini, LPMA SWAMEMO fokus pada beberapa agenda dan program kerja prioritas.

 

1). Berupaya mendorong kepada Pemerintah Kabupaten Paniai dalam hal ini Dewan Perwailan Rakyat Daerah (DPRD) yang baru dan instansi terkait untuk merancang atau mempersiapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pertambangan Emas di Degeuwo, Perda tentang Minuman Keras (Miras), juga Perda tentang Perlindungan Masyarakat Adat, dan lain-lain.

 

2). Berupaya semaksimal mungkin untuk terus mendorong penyelesaian persoalan penambangan emas liar di sepanjang Sungai Degeuwo bekerja sama dengan Pemda Paniai.

 

3). LPMA SWAMEMO memanggil dan menyurati secara resmi kepada Saudara M. H. Ary sebagai pemilik helicopter dan pengusaha di lokasi Ndeotadi atau 81 dan beberapa pengusaha dan perusahaan yang selama ini beraktivitas di sepanjag Sungai Degeuwo untuk meminta keterangan. Nantinya LPMA SWAMEMO kembali koordinasi dengan pemerintah untuk diakomodir kembali.

 

4). Apabila pengusaha dan perusahaan yang selama ini masih melakukan aktivitas penambangan emas di sepanjang Sungai Degeuwo tidak memenuhi surat panggilan kami, maka LPMA SWAMEMO tidak akan memberikan rekomendasi kepada Bupati untuk diakomodir selanjutnya.

 

5). LPMA SWAMEMO dalam waktu dekat akan memiliki Sekretariat Sentral di Nabire dan kedepan kami juga berupaya buka sekretariat di Paniai dan Degeuwo, untuk menampung aspirasi masyarakat adat di sepanjang Sungai Degeuwo atas dukungan Pemerintah Kabupaten Paniai.

 

*Thobias Bagubau, S.Ip, Ketua Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni (LPMA SWAMEMO) Wilayah Adat Meepago Kabupaten Paniai-Papua

Terkini

Populer Minggu Ini:

TPNPB Mengaku Membakar Gedung Sekolah di Pogapa Karena Dijadikan Markas TNI-Polri

0
“Oh…  itu tidak benar. Hanya masyarakat sipil yang kena tembak [maksudnya peristiwa 30 April 2024]. Saya sudah publikasi itu,” katanya membalas pertanyaan jurnalis jubi.id, Kamis (2/5/2024).

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.