ArsipOtsus dan UP4B Gagal Total, Tuntutan Referendum Semakin Menguat

Otsus dan UP4B Gagal Total, Tuntutan Referendum Semakin Menguat

Jumat 2014-10-17 20:43:00

JAKARTA, SUARAPAPUA.com — Dalam seminar sehari yang diselenggarakan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI), kemarin, disimpulkan bahwa Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) telah gagal total, dan tuntutan referendum semakin menguat.

Dalam seminar bertema “Refleksi 10 Tahun Kepemimpinan SBY bagi Tanah Papua”, yang dibuat di Aula Utama Universitas Kristen Indonesia, Cawang, Jakarta, Kamis (16/10/2014), tampak hadir Ketua Pusat Studi Kajian Papua UKI, Antie Solaiman, Komisioner Komnas HAM Natalis Pigai, Anggota Pokja Papua Tim Transisi Jokowi-JK Hironimus Hilapok, dan Tokoh Buruh Indonesia Mochtar Pakpahan.

 

AMPTIPI menyatakan, selama 10 tahun berkuasa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai gagal mengoptimalkan pelaksanaan Otsus Papua dan UP4B untuk membawa kesejahteraan bagi rakyat Papua.

 

Padahal, semangat dasar penawaran Otsus dan UP4B adalah meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua dalam segala segi pembangunan, agar meminimalisir aspirasi tuntutan orang Papua untuk merdeka dan aspirasi pelanggaran (Berat) HAM Papua selama 40-an tahun.

 

“UU RI Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua telah mengatur dengan jelas tentang perubahan UU Otsus, pemekaran provinsi dan berbagai hal menyangkut kepentingan orang asli Papua." 

 

"Tetapi selama kepemimpinannya, SBY mengeluarkan kebijakan yang bertolak belakang dengan UU Otsus sehingga Otsus ini tidak efektif,” ujar Sekretaris Jenderal AMPTPI, Markus Haluk.

 

Menurut Markus, salah kebijakan yang bertolak belakang dengan UU Otsus adalah UU Nomor 35 tahun 2008 yang merupakan revisi sepihak dan terbatas atas UU Otsus untuk mengakomodir Provinsi Papua Barat sebagai provinsi dalam Otsus Papua dengan cara mencoret atau menambahkan.

 

Padahal, cara mengakomodir dengan mencoret dan menambahkan melanggar UU Otsus karena dalam UU Otsus jelas diatur bahwa perubahan UU Otsus harus mendapat persetujuan seluruh rakyat Papua melalui Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPRD Papua.

 

“SBY tidak mempedulikan aspirasi masyarakat adat Papua dalam pelaksanaan Otsus tersebut,” ujarnya.

Markus juga mengungkapkan bahwa program pokok dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua adalah pemerintah Provinsi harus mengambil kebijakan yang berpihak terhadap orang asli Papua, aksi perlindungan dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua. 

 

Inti dari ketiga bidang kebijakan tersebut, lanjut dia, adalah penetapan perdasus-perdasus substansial untuk keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua.

“Akan tetapi pada 11 tahun berjalannya Otsus perdasus-perdasus substansial ini belum disahkan oleh pemerintah pusat di Jakarta. Sementara program di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur belum ada perubahan yang mendasar hingga saat ini,” katanya.

Sementara untuk Program UP4B, Markus melihatnya sebagai program SBY yang diambil secara sepihak untuk menjawab persoalan di Papua di hadapan rakyat Indonesia dan dunia internasional.

 

Menurutnya, mustahil UP4B mampu menjawab persoalan pembangunan di Papua selama tiga tahun (2011-2014), sementara 50 tahun Indonesia berada di Papua, pembangunan gagal total.

 

“Mengapa hanya dibuat UP4B saja? Lalu, bagaimana penyelesaian kasus HAM dan Politik di Papua? Apakah perlu ada unit khusus untuk selesaikan kedua kasus tersebut? SBY terlalu parsial menyelesaikan kasus di Papua. Persoalan Papua harus diselesaikan secara komprehensif dan tuntas,” tegasnya.

Sementara, Ketua Pusat Studi Kajian Papua UKI Antie Solaiman menilai kehadiran UP4B sudah ditolak oleh DPRD dan aktivis di Papua. Mereka menilai UP4B merupakan program yang sia-sia yang dibentuk karena Otsus tidak berhasil.

 

Antie mencontohkan Program UP4B yang tidak berhasil adalah program pembangunan infrastruktur pendidikan di Papua.

“Di bidang pendidikan, UP4B berjanji memberikan beasiswa ke 50 orang Papua. 20 di antara untuk fakultas kedokteraan, tetapi sampai sekarang tidak terealisasi." 

 

"Anehnya, pemerintah mengirimkan anak-anak Papua ke daerah lain untuk studi seperti Semarinda, Semarang dan Lumajang. Namun, anak-anak Papua cepat kembali karena UP4B hanya memberikan uang makan dan hidup selama dua bulan awal, setelah itu dilepas,” jelasnya.

Tokoh Buruh Indonesia Muchtar Pakpahan dan Komisioner Komnas HAM Natalis Pigai mendorong agar Otsus dan UP4B dievaluasi lagi agar program-program tersebut benar-benar mensejahterakan rakyat Papua.

 

MARSELINO TEKEGE

Terkini

Populer Minggu Ini:

TPNPB Mengaku Membakar Gedung Sekolah di Pogapa Karena Dijadikan Markas TNI-Polri

0
“Oh…  itu tidak benar. Hanya masyarakat sipil yang kena tembak [maksudnya peristiwa 30 April 2024]. Saya sudah publikasi itu,” katanya membalas pertanyaan jurnalis jubi.id, Kamis (2/5/2024).

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.