ArtikelMelindo: Politik Melanesiasi Diri dan Diplomasi Indonesia

Melindo: Politik Melanesiasi Diri dan Diplomasi Indonesia

Oleh: A. Ibrahim Peyon1

Pengantar

Setelah United Liberation Moverment for West Papua (ULMWP) dibentuk pada 2014 di Vanuatu, dukungan terhadap politik kemerdekaan Papua makin luas di Papua maupun di tingkat regional dan internasional. Masyarakat akar rumput dan pemerintah negara-negara Melanesia menyatakan dukungannya dan mendorong pemerintah mereka untuk menerima menjadi anggota penuh di Melanesian Spearhead Groups (MSG). MSG adalah sebuah forum regional berbasis manusia dan kebudayaan Melanesia dan memainkan peran untuk kepentingan Melanesia. ULMWP sendiri adalah lembaga representatif rakyat Papua yang menginginkan kemerdekaan dan berperan melakukan lobi internasional, untuk mendorong masalah Papua ke perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Melihat momentum itu, pemerintah Indonesia pun mulai menyusun strategi baru menghadapi gerakan itu. Baik melalui pendekatan militer maupun pendekatan politik. Secara politik, Indonesia tidak memiliki alasan lain untuk menghadapi gerakan di Melanesia ini. Maka dimunculkan isu ras Melanesia di Indonesia. Isu ini tidak pernah tertarik dalam kamus kedaulatan Indonesia sejak merdeka. Maka Indonesia pun mulai melakukan pemetaan baru kelompok-kelompok Melanesia di Indonesia. Akhirnya, diklaim ada di lima Provinsi Melanesia di Indonesia dengan populasi 11 juta dan angka itu dinyatakan melebihi penduduk di seluruh wilayah Melanesia.

Dengan dasar argumentasi itu, dibentuk kelompok Melindo dan didaftarkan menjadi anggota di forum regional ini. Melanesia-Indonesia (Melindo) adalah kelompok politik yang dibentuk Pemerintah Indonesia dari lima provinsi di Indonesia yang dianggap memiliki basis budaya Melanesia. Istilah Melindo sendiri adalah sarat makna dan ambiguistis. Istilah itu tidak mencerminkan makna kultural melainkan berorientasi kepada politik dan penuh sarat makna. Hal yang kemudian menjadi pertanyaan banyak pihak adalah klaim kelompok Melanesia di Maluku dan Timor (tiga Provinsi: Maluku, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur). Hal itu kemudian dipertebatkan, apakah Melanesia atau Polinesia untuk diposisikan daerah-daerah itu. Bertolak dari hal itu muncul pertanyaan berikut: Apakah daerah kepulauan Maluku dan Timor termasuk dalam rumpun Melanesia atau Polinesia? Dengan dasar apakah daerah itu diklasifikasi ke dalam rumpun Melanesia? Mengapa kelompok Melanesia-Indonesia dibentuk dan untuk kepentingan apa? Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan itu, kajian ini dilakukan untuk menguji kekuatan kelompok Melanesia-Indonesia dalam konteks sosial politik dan kultur Melanesia.

 

Batas Quadriparti

Telusuri term Melanesia, Mikronesia dan Polinesia menjadi peta politik dan sosial budaya di kawasan Pasifik saat ini memiliki sejarah tersendiri. Dalam literatur antropologi ditemukan, terminologi itu muncul di abad ke-17 untuk mengelompokkan wilayah Pasifik yang berbasis pada karakteristik fisik. Tulisan pertama tentang terminologi ini dimunculkan tahun 1756 oleh Charle de Brosses yang mengusulkan istilah Polinesie. Brosses menunjukkan term itu mencakup di seluruh wilayah Pasifik dewasa ini. Kekuatan terminologi itu, kemudian diperdebatkan para ilmuwan di masa itu dan sesudahnya. Mentelle dan Malte-Brun ialah dua ilmuwan lain yang masih pertahankan istilah Polinesie. Tetapi istilah tersebut kemudian dinilai tidak tepat dengan konteks Pasifik. Oleh karena itu, diganti dengan istilah Oceanique. Pada tahun 1815, Adrien-Hubert Brue menyempurnakan terminologi Oceanique kemudian menjadi Oceanie, untuk istilah Oceania sekarang ini.

Pada tahun 1832, Jules-Sebastien-Cesar Dumont d’Urville mempertimbangkan kekuatan nama Oceania berdasarkan ciri fisik kawasan itu. Ia kemudian dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu: Melanesia, Polinesia dan Mikronesia. Seperti dikenal selama ini, istilah Polinesia berarti banyak pulau-pulau, Mikronesia berarti pulau-pulau kecil dan Melanesia yakni pulau-pulau orang kulit hitam. Kategorisasi quadriparti itu dipublikasikan oleh Gregoire Louis Domeny de Rienzi pada tahun 1836 dalam bukunya Fifth Part of the World’ (Ballard, 2008). Sedang, wilayah di sebelah barat Pasifik oleh George Windsor Earl diberi nama Indu-nesia atau Melayunesya. Istilah Indu-nesia disempurnakan oleh James Richardson Logan kemudian menjadi Indonesia. Terminologi Indu-nesia berarti pulau-pulau orang Indo dan Melayunesya berarti pulau-pulau orang Melayu.

Melanesia

Istilah Melanesia pertama kali diperkenalkan Bory de Saint-Vincent, ahli ilmu alam berkebangsaan Prancis. Kemudian disempurnakan Dommon d”Urville dengan dibagi batas quadriparti tadi. Melanesia dari istilah Melanien asal kata Yunani melas (hitam) dan nesos (pulau) adalah cermin dari rambut dan warna kulit hitam. Istilah itu mencerminkan kepada karakteristik fisik manusia Melanesia. Berbagai literatur menjelaskan, batas geografis Melanesia adalah sebelah utara Ausralia, bagian timur dari laut Arafura, di bagian barat dari Kepulauan Raja Ampat, Pulau New Guinea, Kepulauan Bismark, Kepulauan Salomon, Santa Gruz, New Hibriden (Vanuatu), Lusiada, New Caledonia dan kepulauan Fiji paling timur (Wickman dkk, 2016; Murra, 2008, Terry, 1999). Secara politik, Melanesia saat ini ada empat negara merdeka dan satu calon negara. Mereka bentuk forum regional MSG dan menjadi anggota organisasi itu. Sementara itu, Papua Barat masih diduduki Indonesia sebagai koloni. MSG adalah bentuk nyata geopolitik Melanesia dan terkadang ambil peran interes Melanesia.

Melanesia mengikuti definisi tradisional d’Urville dan di sebelah barat adalah garis batas Richard Lydekker (1895), dipisahkan New Guinea dari daerah-daerah Maluku. Peta geografi Melanesia itu sekaligus peta sosial politik dan kultur. Studi-studi lama dilakukan Prichard, Wallace dan George Windsor Earl konsisten definisikan batas antara New Guinea dengan Melayu di garis itu.

Dalam kajian Prichard, divisi Oceanic Negroid merupakan suatu ras khusus terpisah sendiri dan ras asli hanya terbatas di New Guinea, New Britain, New Ireland dan Kepulauan Solomon. Mereka dibedakan dari kelompok manusia campuran di Waigeo dan penduduk di kepulauan sekitarnya. Meskipun, mereka sama-sama ras manusia hitam tetapi penduduk di waigeo telah banyak mengalami perubahan dengan penduduk Melayu di sebelah barat (Ballard 2008). Berbasis pada karakteristik itu, Crawfurd kelompokkan penduduk Maluku dan Timor ke dalam ras negro-malay atau Quasi-Negro (Crawfurd 1856). Wallace dengan tegas menyatakan, daerah transisi ini ditempati kelompok ras tersendiri, mereka terpisah dari ras negro di New Guinea dan Melayu di sebelah barat dan kepada kelompok transisi ini dinamakan ras Alfuru atau Alfuro (Wallace 1856:207). Banyak studi menunjukan bukti yang kuat bahwa Maluku dan Timor bukan kelompok Melanesia. Murray mengatakan, Maluku dan Timor ditempatkan dalam posisi ambiguitas. Karena D’Urville, Wallace, Weber dan Lydekker konsisten tidak didefinisikan ke dalam Melanesia (Murray, 2008: 46).

Penelitian genesis dengan sampel DNA dilakukan di seluruh Oceania diidentifikasi menjadi tiga golongan major dalam lineage DNA. Lineage P4a, P dan Q ditemukan silang frekuensi di wilayah Indo-Pasifik. Lineage P4a atau linege B itu absen di Pegunungan Tengah New Guinea. Komponen genetik itu banyak ditemukan kepada populasi penutur bahasa Austronesia di daerah-daerah pantai New Guinea sampai di kepulauan Fiji. Dalam komponen genetik itu ditemukan juga motif Polinesia pada penduduk Samoa dan Maori di Selandia Baru (Murray, 2008: 55). Dua tipe DNA lain yaitu: Q dan P diidentifikasi dekat dengan dataran New Guinea dan kedua tipe DNA itu ditemukan di populasi dataran rendah dan Pegunungan New Guinea secara bersamaan (Redd and Stoneking 1999). Darah P dan Q ditemukan di daerah-daerah secara geografis merupakan batas tradisional Melanesia dan relasi genetik itu absen dengan Maluku dan Melayu (Friedlaender dkk. 2005). Pola-pola distribusi lineage DNA B4a versus P dan Q dibedakan secara statistik antara populasi di daerah pantai dan pegunungan, dan populasi antara penutur bahasa Austronesia dan bahasa Non-Austronesia (Murray, 2008: 56). Jadi, pola-pola distribusi DNA diklasifikasi B4a. P dan Q itu absen dengan populasi di kepulauan Maluku dan Timor. Lineage genetik itu berhenti pada batas tradisional Melanesia tersebut.

Baca Juga:  Polisi Bougainville Berharap Kekerasan di Selatan Mereda

 

Polinesia

Istilah Polinesia seperti disebutkan, diperkenalkan oleh Charle de Brosses dan istilah itu asal dari bahasa Yunani yakni polloi-nesos. Polloi berarti banyak dan nesos berarti pulau. Istilah polinesia menunjuk di daerah kepulauan segi tiga mulai dari Selandia Baru ujung paling bawah, kepulauan Samoa, Tonggo, Kepulauan Cook, Kepulauan Societes, Kermadek, Tuvalu, Tekelau, Niue, Walles dan Futuna, Prancis Polinesia, Kepulauan Easter dan pulau Rapa Nui paling timur serta kepulauan Hawaii ujung paling atas (Wickman dkk, 2016, Frederica dkk 1984). Bila dirujuk peta sosial politik dan budaya Polinesia didefinisikan D’Urville tersebut, jelas kepulauan Maluku dan Timor tidak termasuk dalam rumpun Polinesia.

Karena Polinesia secara geografis terpisah jauh dari Maluku dan Timor. Posisi itu pun ditentukan dengan pertimbangan dan pertebatan melalui berbagai kajian yang telah menguju kekuatan. Tentang itu, banyak antropolog dan naturalis bertebat mengenai genus manusia di Pasifik yang diklasifikasi ke dalam aneka macam kategori, tetapi mengacu kepada dua kelompok manusia, yaitu kelompok berwarna kulit terang dan berkulit hitam (Ballard 2008). Kategori pertama ditunjuk kepada Melayu dan Polinesia, sedang kategori kedua ditunjuk kepada Melanesia. Pada tahun 1825, Bory de Saint-Vincent mengambil keputusan kontras dalam pertebatan itu dan dibagi genus manusia di Pasifik ke dalam tiga kelompok, yaitu: Melayu, Polinesia dan Papua. Dia memperkenalkan istilah Oceanic untuk genus Polinesia. Pada tahun 1878, Abraham Oenandee memisahkan antara kelompok polinesia dari Melayu di Asia dan Mongolik di Mikronesia. Dalam esainya “origin and migrations the polyjstesian race“ menyatakan keluarga Polinesia berasal dari Teluk Persia di barat daya Indian. Mereka kemudian menempati kepulauan Asia, dari Sumatra ke kepulauan Timor, Gilolo di Halmahera dan Filipina. Keluarga Polinesia terus berpindah ke timur masuk Hawaii dan terus ke selatan hingga di Selandia Baru dan sebaliknya dari Selandia Baru ke timur dan ke utara (Abraham 1825:1-6). Mereka terusir oleh arus migrasi Melayu dari Tibet kemudian ditempati pulau-pulau Indonesia modern saat ini.

Penduduk Polinesia diklasifikasi sebagai penutur bahasa Arya (Abraham 1825:1-8). Arya adalah keluarga bahasa Indo-Eropa dan istilah itu diasosiasikan dengan kekejaman Nazi. Pada abad 16 ilmuwan philologis kelompokkan orang Arya hidup pada 3-4000 tahun lalu antara pegunungan Hindu-Kush sampai lautan Caspian sebagai penutur bahasa Indo-Eropa (McLean, 2014:11). Abraham menghubungkan istilah tertentu dalam bahasa Arya dengan bahasa Melayu-Polinesia. Semisal istilah Nusa, Pulo dan Nuku sebagai perbandingan bahasa Melayu dan Polinesia. Ketiga istilah itu menunjuk  pulau, nusa istilah Melayu, pulo istilah di Maluku dan Timor sedang nuku istilah bahasa Polinesia (Abraham 1825:6). Istilah-istilah ini signal kesamaan keluarga bahasa Austronesia. Penduduk Polinesia adalah penutur bahasa Proto-Polinesia dari Proto-Central Pasifik dari turunan Proto-Oceanik. Proto-Polinesia terbagi dalam Western Polinesia dan Eastern Polinesia. Penutur Western Polinesia termasuk penduduk bagian timur Fiji, Tonga dan Samoa (Otsuka, 2005). Penutur Proto-Polinesia bermigrasi dari Taiwan melalui Filipina, Melanesia, Fiji  dan terus ke daerah-daerah Polinesia.

Penelitian genetik di Polinesia diklasifikasi DNA tipe B dan Q adalah migran dari Asia masuk ke Polinesia. Dengan tipe lineage B4 diklasifikasi 44.000 tahun lalu masuk ke Polinesia (Addison dan Smith, 2010). Dari sini dibedakan dalam beberapa bagian yakni lineage B4a1a diidentifikasi migran dari Taiwan melalui Asia Timur ke Polinesia, lineage B4alal dekat dengan Oceania dan paling pasti terkontribusi pada populasi di seluruh Polinesia dengan frekuensi 90%, sedang kontribusi tipe Q1 populasi Polinesia di kepulauan Gambier dan Cook (Sykes B, dkk, 1995). Selain populasi Polinesia, Komponen B4alal juga diidentifikasi genetik dari populasi di Mikronesia, kepulauan Salomon, pantai utara New Guinea dan Filipina. Komponen lineage B4alala diidentifikasi kontribusi genetik dari Tekelau, New Guinea dan kepulauan Salomon, kemudian komponen lineage B4alalm diidentifikasi genetik dari populasi kepulauan Salomon, Maori di Selandia Baru, kepulauan Gook dan Prancis Polinesia (Edana Lord, 2014), komponen genetika populasi Polinesia itu absen untuk populasi kepulauan Timor dan Maluku.

Kelompok Intermediasi

Lepas dari Melanesia atau Polinesia, kajian ilmiah memberikan bukti kuat bahwa Maluku dan Timor adalah kelompok intermediasi. Para ilmuwan beberapa abad lalu, semisal Prichard, Blumenbach dan Cuvier Freycinet menjelaskan bahwa penduduk di kepulauan Maluku dan Timor adalah transisi luas secara geografis dan karakteristik morfologis. Penduduk di kawasan itu terbentuk oleh proses pembauran atau hibriditasi dari kedua kelompok ras yang kontras itu (Douglas 2008). Quoy dan Gaimard juga mencatat bahwa kelompok ras mirip dengan penduduk di Afrika Selatan terdampar di tengah-tengah ras Melayu mendiami kepulauan seperti Sunda, Kalimantan, dan Maluku. Kelompok ini melakukan kawin silang dengan Melayu dan melahirkan keturunan dengan ciri berbeda. Penduduk dengan ciri ini ditemukan di Gilolo, Aru dan Timor, ciri mereka sama sekali berbeda dengan negro asli.

Antropolog lain Latham, menetapkan penduduk di Gilolo merupakan bukti untuk orang Papua dalam bentuk suatu populasi menengah antara orang Papua di New Guinea dan Melayu (Latham, 1850: 211). Ketika dua ras besar ini langsung mengalami modifikasi satu dari yang lain akan menemukan ras-ras asli di daerah transisi ini dengan karakter-karakter menengahnya (Wallace, 1880a: 529). Karena itu, seperti disebutkan di atas kepada mereka diberikan nama ras negro-malay dan Alfuru.

Intermediasi dibentuk oleh biogeografi dan sosiogeografi di kawasan ini. Intermediasi karena human relasi, perubahan kultur mereka dalam waktu, inovasi dan interes dengan orang-orang lain di sekitar. Kontak interregional dan interaski dengan Melayu, Melanesia dan sebaran budaya neolitik dari kompleks kultur Lapindo. Kontak interregional dan interaksi sosiogeografi itu membentuk intermediasi kultur di daerah ini. Dalam model ini bentuk-bentuk perdagangan, kultur materi, sosial politik dan sistem kerajaan yang tersebar di kawasan itu. Kontak interregional dan interaski dengan New Guinea terlihat bentuk perdagangan di pantai utara dan sebaran kerajaan dari Raja Ampat ke Kaimana. Sedang, biogeografi kawasan ini berada dalam dua batasan alam Indo-Pasifik regional yang terkadang mengambil peran. Batas garis biogeografi ditetapkan Wallace, konsep yang berbasis pada divisi alam antara Oriental dan Australo-Papua dari observasi biota di kawasan itu. Batas garis biogeografi itu dibagi secara permanen Asia dengan Pasifik.

Intermediasi dalam linguistik diklasifikasi bahwa penduduk di Maluku dan Timor adalah penutur Austronesia dan Non-Austronesia atau Papua. Sebaran bahasa di Nusa Tenggara (Nusa Tenggaran Barat, Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste) diklasifikasi ada 80 bahasa, dimana 22 bahasa masuk Non-Austronesia, seperti bahasa Abui, Tareweng, Sawila dan Lamma di Nusa Tenggara Timur. Bahasa Atabe, Bunak, Makasae dan Mambae di Timor Leste, dan Nusa Tenggara Barat absen bahasa Non-Austronesia. Sementara itu, 68 bahasa di Kawasan itu adalah masuk keluarga Central Melayu-Polinesia (CMP) dan Western Melayu-Polinesia (WMP) keduanya turunan bahasa Austronesia (Grimes dkk, 1997). Bahasa Non-Austronesia di Timor memiliki hubungan khusus dengan penutur bahasa Non-Austronesia di Maluku.

Baca Juga:  Seorang Fotografer Asal Rusia Ditangkap Apkam di Paniai

Dalam studi Blust (1998), mencatat penduduk Maluku adalah penutur bahasa Central Melayu-Polinesia (CMP) dan Eastern Malayu-Polynesia  (EMP). Penutur EMP ditemukan di selatan Halmahera sekeluarga dengan bahasa-bahasa di Melanesia, Polinesia dan Mikronesia (Spriggs,1998:8). Populasi penutur bahasa CMP tersebar mulai dari Tanimbar ke semenanjung Bomberai di New Guinea (Blust, 1993: 278), keduanya keluarga bahasa Austronesia. Populasi penutur bahasa Non-Austronesia di Halmahera utara dan Morotai dari keluarga Western New Guinea (Spriggs,1998:8). Studi linguistik dilakukan Mark Taber di Maluku Tenggara diklasifikasi 24 bahasa, dan 23 bahasa termasuk Central Melayu Polinesia (CMP). Hanya bahasa Oirata diklasifikasi satu-satunya dalam keluarga bahasa Non-Austronesia dari keluarga Timor-Alor-Pantar. Penutur bahasa Oirata 1.200 orang tersebar di dua kampung kecil dan leluhur mereka bemigrasi dari pulau Timor ke Kisar ratusan tahun lalu (Taber 1992: 8). Penutur bahasa Non-Austronesia di Maluku terhubung dengan penutur Non-Austronesia di pulau Timor karena proses migrasi itu. Bahasa Oirata misalnya masih terhubung dengan bahasa Makasae di Timor Leste (Grimes 1992 dan Taber 1992). Bahasa Non-Austronesia di Maluku dan Timor diklasifikasi dalam keluarga Timor-Alor-Pantar dari West New guinea fhylum. Pada sisi lain, dalam kajian-kajian itu tidak menemukan bukti kuat bahwa leluhur orang Maluku dan Timor bermigrasi dari dataran New Guinea dan Melanesia lain.

Hasil penelitian DNA menunjukkan kontribusi yang signifikan untuk menentukan genetik historis manusia di daerah-daerah itu. Studi-studi itu memilih sampel di Adonara, Alor, Lembata, Flores dan Solor. Sampel dipilih pada populasi di desa-desa penutur bahasa Central Melayu-Polinesia (CMP) dan desa-desa penutur bahasa Non-Austronesia. Dalam penelitian itu diidentifikasi DNA Q1 dan Q2 adalah komponen-komponen Melanesia yang berkontribusi hanya 3% dari total. Kontribusi populasi 3,3% penutur bahasa Austronesia dan 1,8% penutur bahasa Non-Austronesia (Mona dan Grunz dkk 2009). Dalam waktu yang sama tipe DNA Ela, Elb dan B2 adalah motif Polinesia dengan frekuensi signifikan 26.7% dari total. Dimana 27,7% distribusi penutur bahasa Austronesia dan 24,6% penutur bahasa Non-Austronesia. Sementara, DNA tipe B dan D dengan lineage semisal B4a, B4b1, B5a dan B5b, lineage D semisal D5dl, lineage Fla, Fla1, M7b, R9c diidentifikasi motif Asia Tenggara dengan frekuensi 43% dari total. Kontribusi dari populasi penutur bahasa Austronesia dan Non-Austronesia (Mona dan Grunz dkk 2009; Richards dkk. 1998; Trejaut dkk. 2005). Sedangkan frekuensi 0,4% diidentifikasi motif DNA Australia dari penutur bahasa Austronesia dan sisanya tidak teridentifikasi.

Data-data itu mengantarkan pada kompleks genetik historis di kawasan itu, dengan komponen yang berkontribusi penutur bahasa Austronesia bermigrasi dari Asia Timur. Migran Asia ini berkontribusi komponen genetik dengan frekuensi tertinggi. Komponen genesis kedua ditempati tipe Polinesia dengan frekuensi signifikan. Komponen ketiga ditempati tipe Melanesia dan terendah tipe Australia (Mona dan Grunz dkk 2009: 1875). Bukti-bukti itu mengantarkan kepada kesimpulan bahwa penduduk di kepulauan Timor dan Maluku terbentuk proses intermediasi: Australia, Melayu, Polinesia dan Melanesia dengan ciri khusus.

 

Melindo dan Diplomasi Indonesia

Bukti-bukti ilmiah itu menjelaskan Timor dan Maluku terbentuk proses intermediasi dari kelompok-kelompok manusia yang berbeda. Situasi itu tergambar pada variasi genesis dan sosial-kultur di daerah-daerah itu, maka kelompok Melanesia diklain Indonesia itu tidak memiliki dasar yang kuat dan memalukan diri sendiri. Melanesia-Indonesia dibentuk kepentingan Politik untuk menghadapai diplomasi politik Papua di Melanesia dan Pasifik. Setelah ULMWP dibentuk pada Desember 2014 melalui tiga organ perjuangan – WPNCL, NFRPB, PNWP dan KNPB – di Vanuatu.  Dengan cerdas, Rakyat Papua membentuk ULMWP dan bersatu dalam lembaga politik tersebut. Kondisi ini terkonstruksi karena kontribusi kebangkitan generasi muda dan kesadaran diri atas situasi. Kombinasi antara reflesksi pengalaman perjuangan, situasi ketertindasan sosial politik dan konstruksi inhumanitas oleh sistem kekuasaan.

Ketika lembaga persatuan itu terbentuk peta politik Papua telah berubah, Papua mendapat simpati luas masyarakat di kawasan Melanesia dan Pasifik. Kelompok-kelompok solidaritas dibentuk dimana-mana oleh institusi gereja, organisasi-organisasi sipil, mahasiswa, seniman dan group-group olahraga. Gerakan ini direspon dengan cepat anggota parlemen dan pemerintah di kawasan Melanesia. Kondisi ini mengambarkan politik Papua mendapat momentum di level regional dan internasional.

Di Papua sendiri, dimana-mana orang berkumpul melakukan syafat, syukuran, pesta, demonstrasi dan membuat statemen. Ketiga organ pendiri lembaga representatif itu dengan aktif melakukan konsolidasi dan sosialisasi di seluruh tanah Papua. Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dengan gagah dan berani memediasi dan memobilisasi masa di seluruh Papua. Mereka melakukan dibawah ancaman, kekerasan dan pembunuhan oleh kekuasaan melalui militer dan polisi.

Situasi itu, bagi Indonesia telah menjadi ancaman atas pendudukan mereka di Papua. Menyikapi itu, Indonesia menerapkan setidaknya dua pendekatan, yaitu: 1). Pendekatan Militer dan pra-militer. 2). Pendekatan diplomasi politik internasional. Dalam pendekatan yang pertama ini setidaknya ada dua strategi: pertama, Indonesia masih mempertahankan kekerasan militer dengan modifikasi teknik-teknik tertentu dengan target dan reproduksi libat ganda. Kedua, Indonesia membentuk kelompok-kelompok milisi, mengorganisir dan mobilisasi demonstrasi untuk meningkatkan densi kekerasan. Model terakhir ini, Indonesia mengulangi kembali kisah di Timor-Leste menjelang dan pasca referendum. Barisan Pembela Indonesia (BARA) adalah bentuk nyata kelompok milisi itu. Kelompok itu didominasi para migran termasuk eks milisi dari Timor Leste.

Pendekatan kedua, Indonesia meningkatkan diplomasi Internasional di negara-negara yang menjadi basis dukungan politik Papua. Dalam model ini, setidaknya ada empat strategi yang sedang diterapkan. pertama, Indonesia membentuk kelompok Melanesia-Indonesia yang menjadi ujung tompak saat ini di forum MSG dan negara-negara Pasifik. Kedua, Indonesia menerapkan politik ekonomi dengan bantuan keuangan dan tawaran program ekonomi. Ketiga, mobilisasi diplomat dari negara-negara lain untuk mengunjungi Papua dan membuat statemen yang memihak Indonesia untuk memainkan opini publik. Keempat, Indonesia membentuk kelompok penuntasan kasus HAM di Papua diluar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam pendekatan ini, kelompok Melanesia-Indonesia adalah ujung tompak diplomasi politik Indonesia di Melanesia dan Pasifik. Diplomasi kepada pemerintah dan forum-forum resmi semisal MSG dan Pacific Islands Forum (PIF) untuk menghadapi diplomasi ULMWP. Tiga lain – ekonomi, mobilisasi diplomat, penuntasan HAM – adalah strategi pendudung kerja-kerja kelompok Melanesia-Indonesia.

Tetapi, tampaknya model-model strategi itu akan menghadapi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Pertama, keberadaan kelompok Melanesia-Indonesia telah mendapat penolakan keras dari pemimpin-pemimpin Melanesia bahwa Melanesia tidak bisa disamakan dengan Polinesia. Tiga provinsi Melanesia-Indonesia diluar dua Provinsi Papua adalah orang-orang Polinesia. Meskipun, mereka telah terima Melindo anggota asosiasi di forum itu. Kedua, mobilisasi para diplomat untuk meyakinkan negara-negara yang menjadi basis pendukung politik Papua merdeka, memotong diplomasi Papua dan mengalihkan dukungan kepada Indonesia. Tetapi, model strategi ini pun kelihatan tidak akan berhasil. Signal itu bisa terlihat jelas di sini. Pada bulan Juni, Dr. Jose Ramos Horta setelah mengunjungi Papua menyatakan pemerintah Indonesia mampu selesaikan sendiri masalah Papua dan tidak perlu melibatkan dunia internasional. Satu bulan setelah itu, di bulan Juli Dr. Jose Ramos Horta menyatakan saya sedih melihat kekerasan di Papua. Dunia internasional segara membantu Indonesia dan Papua untuk menyelesaikan masalah ini. Statemen ini sebagai signal ketidak percayaan mereka kepada Indonesia. Ketiga, tentang penuntasan HAM di Papua, model strategi ini pun tampaknya tidak akan berhasil. Penolakan tim misi pencari fakta PIF dan tawaran dialog dari ketua MSG adalah bukti ketidak mampuan Indonesia. Sementara itu, kelompok penuntasan HAM itu tidak memiliki dasar hukum, melibatkan elemen militer dan diposisikan Wiranto Menkopolhukam adalah bukti kegagalan lain. Dimana Militer dengan Wiranto sendiri terlibat dalam pelanggaran HAM dan kondisi itu mengambarkan Indonesia telah gagal menuntaskan masalah HAM di Papua.

Baca Juga:  Pasukan Keamanan Prancis di Nouméa Menjelang Dua Aksi yang Berlawanan

Indonesia sendiri menyadari situasi itu, lalu segera diganti dengan pendekatan ekonomi kepada negara-negara Melanesia. Melalui pendekatan itu, Indonesia mendekati Papua New Guinea dan Fiji untuk mempengaruhi kebijakan forum regional tersebut. Diubahnya sistem hukum MSG dari agenda dekolonisasi Melanesia ke pendekatan ekonomi dan perdagangan lintas negara adalah bentuk intervensi itu. Model strategi terakhir ini tidak hanya untuk menghadang ULMWP menjadi anggota penuh MSG tetapi juga mengancam status Fron Pembebasan Kaledonia Baru sebagai pendiri organisasi regional tersebut. Hal ini membuat jenggel pemimpin Melanesia dan meminta komisi Hukum lembaga itu mendefinisikan kembali. Mereka menyatakan bahwa dasar falsafah organisasi tidak bisa diganti dengan kepentingan ekonomi. Lembaga regional itu dibentuk untuk mendekolonisasi daerah-daerah Melanesia dari pendudukan khususnya Kaledonia Baru dan Papua Barat.

Kondisi-kondisi itu mengambarkan Indonesia sedang mempermalukan diri sendiri dan makin lama keporokan akan terbuka. Maka, negara-negara Melanesia dan Pasifik mengetahui karakter asli Indonesia selama ini. Situasi ini akan menjadi modal politik orang Papua untuk dikelola dengan baik dan mengorganisir itu dalam diplomasi-diplomasi regional. Akhirnya, politik Indonesia dengan model-model pendekatan itu kelihatan tidak akan berhasil. Solusi terakhir adalah Indonesia dengan jiwa besar mengantur kemerdekaan Papua secara damai dan bermartabat.

Kesimpulan

Daerah-daerah di kepulauan Timor dan Maluku terbentuk relasi interregional Indo-Pasifik dan pada posisi dua regional itu membentuk variasi-variasi khusus oleh dua hal: biogeografis dan sosiogeografis. Kontak biogeografi dengan relasi-relasi biota pada kedua alam yang berbeda membentuk karakteristik khusus dalam struktur biologis dan variasi-variasi flora dan fauna. Kedua, kontak sosiogeografis dengan relasi interregional itu membentuk struktur genesis manusia dan sosial budaya dengan karakteristik khusus. Dengan itu, mereka telah membentuk intermediasi melalui proses hibriditasi dan percampuran melahirkan tipe khusus. Dengan fakta-fakta itu kawasan kepulauan Timor dan Maluku tidak termasuk dalam kelompok manapun, termasuk Melanesia, Polinesia dan Melayu. Fakta-fakta itu mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa klaim Indonesia tentang posisi Melanesia-Indonesia adalah tidak benar dan tidak berdasar. Maluku dan Timor merupakan kelompok campuran dengan ciri khusus.

 Maka, kelompok Melanesia-Indonesia dibentuk Indonesia adalah murni kepentingan politik untuk menghadapi politik Papua merdeka di kawasan Pasifik. Pendekatan diplomasi itu pun kelihatannya tidak akan berhasil untuk meredam dukungan politik Papua di Pasifik dan solusi tersisa adalah penentuan nasib sendiri untuk kemerdekaan Papua.

Penulis adalah staf pengajar Jurusan ANtropoligi Uncen dan andidat doktor di Universitas Ludwig-Maximilians.

1 A. Ibrahim Peyon staf pengajar Jurusan Antropologi Uncen dan kanditat doktor di Ludwig-Maximilians-universität Jerman.

Referensi

Addison, D. J. & Matisoo-Smith, E. (2010). Rethinking Polynesian origins: a West Polynesia Triple-I Model. Archaeol. Oceania 45:1-12.

Brown, George (1887). Papuans and Polynesians. Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland 16:311-27.

Ballard Chris (2008). ‘Oceanic Negroes’: British anthropology of Papuans, 1820-1869 dalam Bronwen Douglas dan Chris Ballard (editor) Foreign Bodies  Oceania and the Science of Race 1750-1940, Published by ANU E Press

Blust R. (1993). Central and Central-Eastern Malayo-Polynesian. Ocean Linguist. 32:241–293.

Blust R. (1999). Subgrouping, circularity and extinction: some issues in Austronesian comparative linguistics. Symp Ser Inst Linguist Acad Sinica. 1:31–94.

Charles E. Grimes (1997). A guide to the people and languages of Nusa Tenggara. Artha Wacana Press, Kupang.

Crawfurd, John (1820). History of the Indian Archipelago: Containing an Account of the Manners, Arts, Languages, Religions, Institutions, and Commerce of its Inhabitants, 3 vols. Edinburgh: Archibald Constable.

Crawfurd, John (1848). On the Malayan and Polynesian Languages and Races. Journal of the Ethnological Society of London 1:330-74.

Douglas Bronwen (2008). Foreign Bodies in Oceania, dalam Bronwen Douglas dan Chris Ballard (editor) Foreign Bodies  Oceania and the Science of Race 1750-1940, Published by ANU E Press

Douglas Bronwen (2008). Novus Orbis Australis‘:1 Oceania in the science of race, 1750-1850, dalam Bronwen Douglas dan Chris Ballard (editor) Foreign Bodies  Oceania and the Science of Race 1750-1940, Published by ANU E Press

Edana Lord (2014). Genetic History of Polynesians and New Zealand Maori, AWC Summer Studentship Final Report.

Frederica M. Bunge and Melinda W. Cooke (1984). Oceania a regional study,  Foreign Area Studies The American University.

Grimes, Barbara F. (1992). Ethnologue, 12th ed. Dallas: Summer Institute of Linguistics.

Mervyn McLean  (2014). Music, Lapita, and the Problem of Polynesian Origins, Auckland.

Matthew Spriggs (1998). Research Questions in Maluku Archaeology, dalam Cakalele, VOL. 9, NO. 2 hlm 51–64,  Australian National University.

Murray P. Cox (2008). The Genetic Environment of Melanesia: Clines, Clusters and Contact,  Population Genetics Research Progress and  Nova Science Publishers, Inc.

Mark Taber (1993). Toward A Better Understanding of the  Indigenous Languages of Southwestern Maluku. University of Hawaii Press Honolulu, Hawaii.

Oenandee Abraham (1825).  Origin and Migrations the Polyjstesiak Race, dlm Library of the Johns Hopkins University. Vol. L. Ludgatr Hill, London.

Petar Beron (2015). The Arachnogeography and the “lines” (of Wallace, Lydekker, Weber), Historia naturalis bulgarica.

Trejaut JA dan Kivisild T, dkk (2005). Traces of archaic mitochondrial lineages persist in Austronesian-speaking Formosan populations. PLoS Biol. 3:e247.

Richards M, Oppenheimer S, Sykes B. (1998). mtDNA suggests Polynesian origins in Eastern Indonesia. Am J Hum Genet. 63:1234–1236.

Rouben Azizian and Carleton Cramer (2015). Regionalism,  Security &  Cooperation in Oceania, University of Hawai’i at Manoa.

Sykes, B. dkk (1995). The Origins of the Polynesians: An interpretation from Mitochondrial Lineage Analysis. Am. J. Hum. Genet. 57:1463-1475.

Stefano Mona, dan Katharina E. Grunz, dkk (2016). Genetic Admixture History of Eastern Indonesia as Revealed by Y-Chromosome and Mitochondrial DNA Analysis, http://mbe.oxfordjournals.org/

Wallace, Alfred Russel [1856-61]. Malay Archipelago  Journal, 4 vols. Manuscript. MS 178. London: Library of the Linnean Society of London.

Wallace, Alfred Russel (1869a). The Malay Archipelago: the Land of the Orang-utan and the Bird of Paradise; a Narrative of Travel with Studies of Man and Nature. 2 vols. London: Macmillan.

Yuko Otsuka (2005). History of Polynesian Languages. University of Hawai‘i press. 

 

3 KOMENTAR

Terkini

Populer Minggu Ini:

Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Ronald Kinho, aktivis muda Sorong, menyebut masyarakat nusantara atau non Papua seperti parasit untuk monopoli sumber rezeki warga pribumi atau orang...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.