Masyarakat Klaso Tolak Kehadiran PT. Mega Mustika Plantation di Wilayah Adatnya

0
4145

SORONG, SUARAPAPUA.com — Sem Ulimpa, ketua Ikatan Pemuda Klaso dengan tegas meminta PT. Mega Mustika Plantation yang mendapatkan izin usaha perkebunan Kelapa Sawit oleh Pemerintah Kabupaten Sorong dengan nomor 660.1/127/Tahun 2014 agar tidak melakukan usahanya di wilayah adat Klasou Sorong.

Hal ini dikatakan Sem Ulimpa lantaran wilayah yang akan dikerjakan PT. Mega Mustika Plantition adalah lahan tradisional dan hutannya merupakan tempat pencarian makanan warga adat Klasou Sorong.

“Apabila ada perusahaan yang masuk, maka warga masyarakat akan merubah budaya tradisi yang ada, hutan gundul, kayu kami hilang tempat pencarian makanan akan hilang. Kita tahu kelapa sawit sangat merusak tanah, air dan hutan,” kata Ulimpa di kantor Papua Forest Watch (PFW) Kilo 12 Moyo Sorong, Rabu (17/7/2019).

Menurut Ulimpa, pihaknya telah melakukan dialog dengan pihak berwenang di Pemerintah Sorong dan telah menyerahkan surat peryataan pencabutan izin usaha nomor 660.1/127/Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Sorong.

Baca Juga:  Tragedi Penembakan Massa Aksi di Dekai 15 Maret 2022 Diminta Diungkap

Namun sejauh ini, kata Ulimpa, petunjuk dari dinas teknis di Sorong agar pernyataan penolakan harus diajukan kepada Bupati, karena surat tersebut dikeluarkan olehnya.

ads

Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini, pihaknya meminta agar Bupati Kabupaten Sorong segera mencabut izin PT. Mega Mustika Plantation.

Yusak Malak, Kepala Suku Marga Klasou yang membawahi 7 marga di daerah Klasou meminta Bupati Kabupaten Sorong untuk segera mencabut izin PT. Mega Mustika Plantation.

“Dialog yang kami lakukan dengan Kabag Hukum, BPN, Dinas Pertanian dan Dinas Perkebunan Kabupaten Sorong ada informasi bahwa izin bisa dicabut dan belum punya sertifikat HGU, maka kami harapkan bupati untuk bisa melihat penolakan masyarakat ini, agar kelangsungan hidup masyarakat adat Klasou di wilayah adat Klabem bisa terjaga,” kata Yusak.

Ia mengakui, alasan penolakan pihaknya berdasarkan pengalaman perusahaan-perusahaan di Papua yang melakukan pengoperasian dengan penebangan hutan tanpa mempertimbangkan kelangsungan hidup masyarakat setempat.

“Penolakan masyarakat Klasou sudah dilakukan sejak tahun 2012 dan puncaknya 2017, dimana pada saat itu dihadiri oleh kepala distrik, Asisten III Kabupaten Sorong dan pihak perusahaan. Kami melakukan pemalangan dan pemotongan bambu Tui (Ben Masan) secara adat yang mengikat dan tidak ada nilai tawar dari siapapun untuk memasukan perusahaan kelapa sawit di distrik Klasou wilayah adat Klabem.”

Baca Juga:  Seorang Fotografer Asal Rusia Ditangkap Apkam di Paniai

Sementara kajian Yayasan Pusaka terkait Amdal PT. Mega Mustika Plantation yang disampaikan Demianus Safe.

“Kami temukan dalam kajian terhadap Amdal bahwa prosesnya tidak melibatkan masyarakat adat. Selain itu, ada beberapa hewan seperti Kera dan Musang yang tidak ada di Klasou tertulis sebagai fauna yang ada di Klasou. Hal ini membuat kami curiga bahwa tim kajian Amdal tidak melakukan proses langsung di lapangan. Dokumen ini hanya sebagai syarat untuk memenuhi proses perizinan saja,” jelas Safe.

Selanjutnya, kata dia, PT. Mega Mustika Plantation di wilayah Papua Barat ada dibawah Ciptana Group, dimana di dalamnya PT. Mega Mustika Plantation, PT. Cipta Papua Plantation, PT. HCW Papua Plantation dan PT. Bintuni Sawit Makmur.

Baca Juga:  Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil Papua

Ia mengatakan, sebenarnya sudah jelas bahwa amanat Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999, Pasal 4 ayat (1) dan (2), yang mengatur pembatasan maksimum luas penguasaan tanah untuk komoditas tertentu bagi setiap grup perusahaan, yakni untuk usaha perkebunan komoditas lainnya, seperti kelapa sawit ditentukan dalam satu provinsi seluas 20.000 hektar.

Dengan demikian, penguasaan lahan seluas  55.024 oleh perusahaan ini sudah over luasan dari peraturan yang ditetapkan.

“Namun kami belum melihat ada upaya perlindungan dari Pemerintah Kabupaten Sorong terhadap masyarakat adat, padahal Kabupaten Sorong memiliki Perda Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Kami mengharapkan Pemerintah Kabupaten Sorong dapat mengeluarkan suatu kebijakan sesuai dengan permintaan masyarakat distrik Klasou wilayah adat Klabem.”

Pewarta: Ferdinan Thesia
Editor: Elisa Sekenyap

Artikel sebelumnyaBelasan Anggota JW Sagu Yahukimo Dilatih Menulis Berita
Artikel berikutnyaDPRD Deiyai Harus Paham Tupoksi