Otsus Papua antara Pro vs Kontra

0
2009

Oleh: Yosef Rumaseb)*
)*Penulis adalah anak kampong tinggal di Biak

Apakah UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) akan berakhir tahun 2021? Apakah saat ini sedang dipersiapkan UU Otsus Jilid II? Kekaburan ada di situ dan itu menimbulkan kehebohan social politik yang mengkristal menjadi kelompok Pro Otsus versus kelompok kontra Otsus. Ini seharusnya tidak perlu terjadi apabila materi komunikasi politik mengenai pembahasan UU Otsus jelas.

Pemicu Pro vs Kontra 

Implementasi UU Otsus sudah berlangsung selama 20 tahun, sejak tahun 2001, dan tidak dalam proses untuk dirubah secara keseluruhan. Hanya, pasal-pasal mengenai keuangan yang sedang dipertimbangkan keberlanjutannya karena memiliki batasan waktu masa berlaku.

Pasal-pasal yang memiliki batasan waktu masa berlaku dan  akan direvisi adalah pasal-pasal dalam Bab IX mengenai Keuangan yang terdiri dari Pasal 33 sampai dengan Pasal 37. Masa berlakunya adalah 20 tahun, artinya dari tahun 2001 hingga 2021. Kini, pasal-pasal itu  akan direvisi antara lain  Pasal 34 ayat 5 butir e tantang penerimaan khusus dalam rangka implementasi Otonomi Khusus sebesar 2% Dana Alokasi Umum Nasional. Apakah pasal itu akan dirubah, tetap atau dihapus?

ads

Jadi, masalah apa yang bikin kabur sehingga memicu terjadinya pro vs kontra di kalangan masyarakat luas?

Ada empat masalah itu yaitu (1) kekaburan materi komunikasi politik mengenai revisi UU Otsus; (b) Apakah ini evaluasi? (c) Apakah ini kajian akademik untuk menyusun legal draft baru? (d) Apakah ini uji public terhadap RUU Otsus baru?

Sebelum tiba di pusaran arus yang lebih kabur lagi, ada baiknya kekaburan yang belum amat sangat kabur ini dijernihkan. Kita urai dulu apa itu keempat pokok masalah itu. Baru kemudian membahas  kemungkinan jalan tengah untuk menjernihkan kekaburan ini. Kita bahas satu per satu.

Kekaburan Materi Komunikasi Politik

Agenda utama revisi UU Otsus adalah revisi pasal-pasal mengenai  keuangan yang memiliki batas waktu berlaku 20 tahun, dari tahun 2001 hingga 2021. Itu intinya. Namun demikian, komunikasi politik yang dikembangkan membentuk opini public seolah-olah seluruh UU Otsus akan direvisi dari A – Z. Lanjut atau tidak, dari Jilid I ke Jilid II. Komunikasi politik, misalnya yang dilakukan oleh BAPPENAS dengan membahas pelurusan sejarah, tidak menyentuh pembahasan yang sesungguhnya mengenai keuangan untuk membiayai implementasi UU Otsus.

Kelihatannya simple, yaitu merevisi pasal-pasal mengenai keuangan untuk mendanai implementasi UU Otsus. Namun demikian implikasinya sangat besar. Ketika dana Otsus dikurangi maka harus pula dikurangi komitmen nasional dalam pasal-pasal lain di UU tersebut.  Karena itu, pemerintah (apakah legislative atau eksekutif) seharusnya membangun komunikasi politik secara lebih strategis. Ada berapa scenario dalam merevisi UU Otsus dan apa implikasinya? Misalnya, apabila presentasi dana yang dialokasi untuk membiayai implementasi UU Otsus akan dikurangi, pasal-pasal mana yang harus turut pula dirubah sebab terkena imbas dari pengurangan dana Otsus? Harus ada prioritas dan prioritas itu harus dinegosiasikan antara pusat dan daerah.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Evaluasi

Secara singkat, evaluasi adalah salah satu dari fungsi-fungsi manajemen program. Fungsi-fungsi itu adalah fungsi perencanaan, fungsi implementasi, fungsi pelaporan mengenai implementasi, fungsi evaluasi untuk mendapatkan umpan balik terhadap perencanaan yang baru. Dalam konteks mengevaluasi Otsus maka evaluasi implementasi UU Otsus dapat dipahami sebagai proses untuk mengidentifikasi jarak antara das sollen (komitmen yang tertulis dalam UU Otsus) dengan das sein (komitmen yang sudah dilaksanakan, belum dilaksanakan atau gagal dilaksanakan).

UU Otsus Pasal 78 menyebutkan bahwa evaluasi terhadap implementasi UU Otsus dilakukan pertama kali pada tahun ketiga sejak Otsus resmi diundangkan dan setiap tahun sesudah itu. Artinya, seharusnya pada tahun 2004 sudah ada laporan implementasi UU Otsus dan sudah dilakukan evaluasi pertama. Sesudah itu, setiap tahun ada laporan implementasi UU Otsus dan ada evaluasi tahunan. Evaluasi implementasi UU Otsus seharusnya dilakukan oleh MRP dan DPR Papua dan Papua Barat.

Pada saat ini sedang beradu dua pandangan subjektif yang berisi evaluasi mengenai implementasi UU Otsus. Ada pandangan subjektif yang mengklaim bahwa implementasi UU Otsus berhasil dan karena itu harus dilanjutkan. Ada pula pandangan subjektif bahwa implementasi UU Otsus gagal dan karena itu tidak perlu dilanjutkan. Kedua pandangan ini subjektif karena tidak berdasarkan laporan berdasarkan data-data dan fakta-fakta mengenai evaluasi implementasi UU Otsus yang dikeluarkan oleh lembaga resmi penerima mandate konstituional untuk melaksanakan evaluasi implementasi UU Otsus yaitu DPR dan MRP Papua/Papua Barat.

Media beberapa kali memberitakan adanya kegiatan evaluasi implementasi UU Otsus yang dilakukan oleh Kemendagri. Juga hasil evaluasi yang disampaikan oleh Presiden dan Menteri Keuangan bahwa dana trilyunan sudah dikucurkan selama 20 tahun masa implementasi UU Otsus namun belum berhasil mengurangi posisi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dari 3 besar provinsi dengan rakyat termiskin di Indonesia. Sementara Gubernur Papua di salah satu media TV pernah mengkritik pemerintah pusat karena usulan perdasi dan perdasus dari provinsi untuk mendukung implementasi UU Otsus tidak disetujui oleh pemerintah pusat. Gubernur dengan kecewa mengusulkan agar kelanjutan Otsus didasari dengan penjanjian yang melibatkan pihak ketiga (internasional)

Kajian Akademik dan Uji Publik

Kajian akademik dan Uji Publik adalah konsep yang dalam tataran implementatif mirip-mirip dengan evaluasi. Disebut mirip-mirip karena ada  kesamaan dan perbedaan.  Sama-sama memiliki kajian evaluative. Perbedaannya, kajian akademik dilakukan sebelum suatu legal draft (draft hukum) disusun. Uji public dilakukan sesudah legal draft (RUU) disepakati dan kemudian disosialisasikan. Dan evaluasi dilakukan sesudah suatu UU diimplementasi.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Kajian akademik dan uji public adalah bagian dari suatu proses penyusunan dan pengesahan legislasi baik di tingkat daerah maupun pusat. Apabila rencana membuat produk hukum sudah disetujui dan didaftarkan secara resmi dalam Program Legislasi maka tahapan berikut adalah melakukan kajian akademik, menyusun legal draft, melakukan harmonisasi, melakukan uji public, RUU disetujui sebagai UU,  dicatat dalam lembaran negara dan diundangkan.

Amatlah kabur bila dikatakan bahwa yang sedang terjadi saat ini adalah suatu proses melakukan kajian akademik. Apakah UU Otsus Jilid II sudah sah tertera dalam daftar Program Legislasi Nasional? Apakah ini inisiatif pemerintah atau inisiatif legislative? Lembaga mana yang mendapat mandate untuk melakukan kajian akademik ini? Sama sekali tidak jelas.

Apakah yang sedang terjadi ini adalah uji public terhadap UU Otsus Jilid II? Mana RUU yang hendak diuji? Siapa lembaga yang mendapat mandate untuk melakukan sosialiasasi RUU Otsus Jilid II dan menyusun perubahannya? Apakah lembaga itu dari legislative atau dari eksekutif? Sama sekali tidak jelas.

Ketidak-jelasan ini kemudian mengkristal ke level masyarakat di Tanah Papua. Sama sekali tidak jelas argument pro keberlanjutan UU Otsus maupun penolakan Otsus Jilid II. Apa yang hendak diterima dan apa yang mau ditolak? Mengapa diterima dan mengapa ditolak? Hendak dikatakan bahwa yang diterima atau ditolak  ini adalah kajian akademik, salah!. Mau dikatakan bahwa yang diterima atau ditolak ini adalah RUU Otsus Jilid II, lebih salah lagi karena RUU itu saja tidak dipublikasi atau malah belum ada.

UU No. 21 Tahun 2001 Pasal 77 sesungguhnya memberikan mandate konstitusi kepada DPR Papua (dan Papua Barat) dan MRP (Papua dan Papua Barat) untuk menjaring aspirasi dalam proses melakukan perubahan terhadap UU tersebut. Namun mandate ini sulit dilakukan karena tidak jelas pada tahapan mana hendak dilakukan. Apakah kajian akademik, uji public RUU Otsus Jilid II atau evaluasi. Karena itu dapat dipahami bahwa hingga menjelang penghujung masa berlaku UU No. 21 Tahun 2001 ini belum ada kabar mengenai pembentukan Pokja (Kelompok Kerja) Bersama antara DPR Papua dan Papua Barat maupun MRP Papua dan Papua Barat untuk melakukan penjaringan aspirasi.

Jalan Tengah

Kerja sama untuk melakukan perubahan yang lebih baik hanya dapat dicapai apabila para pihak yang berbeda persepsi memiliki niat tulus untuk tidak mempertahankan persepsi masing-masing sebagai harga mati. Baik persepsi pro otonomi harga mati atau pro referendum harga mati tidak terbuka untuk negosiasi maka hasilnya adalah tidak ada solusi.  Apalagi jika masing-masing harga mati itu dipertahankan dengan kekerasan. Korban akan berjatuhan dan konflik kekerasan yang menimbulkan tragedy kemanusiaan yang paling lama di Indonesia ini akan berkelanjutan.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Oleh karena itu, para pendukung dua harga mati yang bertentangan ini hendaknya merendahkan hati dan mulai mengkaji ulang persepsi harga mati masing-masing juga dari perspektif korban. Bila anda adalah korban-korban kekerasan yang bahkan tidak sedikit yang sudah mati, apakah anda mau terus merawat tragedy kemanusiaan dengan mempertahankan masing-masing harga mati ini? Manusia yang percaya kepada TUHAN dan yang di hatinya ada nilai-nilai kemanusiaan pasti tidak mau.

Pada injury time masa berlaku pasal-pasal mengenai pembiayaan implementasi UU No. 21 Tahun 2001 yang berimplikasi terhadap seluruh komitmen Otsus ini dapat dipertimbangkan untuk membuat kebijakan atau terobosan jalan tengah. Sebuah Tim Independen, perlu dibentuk untuk menjembatani diskusi di antara kubu pro kontra itu. Anggota Tim Independen ini sebaiknya disepakati antara daerah dan pusat dan diberikan mandate secara tertulis dan kuat secara hukum. Tugas Tim Independen itu adalah berdiskusi dengan kelompok Pro Otonomi, dari pusat hingga daerah, dan dengan kelompok Pro Referendum dari level ULMWP hingga rakyat. Tugas mereka adalah menjelaskan agenda revisi UU Otsus dan menggali persepsi kedua kubu itu dengan pertanyaan “mengapa dan bagaimana”.

Mengapa ada pandangan berbeda dan bagaimana solusinya? Dari proses ini akan muncul daftar persoalan dan usulan. Misalnya, daftar itu berisi jawaban atas pertanyaan mengenai mengapa ada banyak perdasi dan perdasus yang diusulkan oleh pemerintah daerah ditolak oleh pemerintah pusat? Bagaimana solusinya? Dan akan pula muncul pertanyaan dari pemerintah pusat, mengapa dana banyak tetapi masyarakat miskin? Bagaimana solusinya? Proses kerja Tim Independen diharapkan juga akan menjawab pertanyaan, mengapa ada komitmen-komitmen penyelesaian masalah pelanggaran HAM dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tetapi tidak direalisasikan? Bagaimana membuat kesepakatan sebagai solusi?

Para pihak yang berkonflik sebaiknya sepakat untuk stop melakukan kekerasan dan mengumumkan niat tulus untuk berbicara mencari solusi. Aparat pemerintah RI stop menggunakan stigma makar dan separatis untuk mengambil tindakan kekerasan dalam mensikapi protes-protes di Papua. Begitu juga, pra pihak pro referendum, menahan diri untuk melakukan tindakan yang dapat mengundang aparat melakukan tindakan represif dan kriminalisasi atau menerapkan pasal-pasal makar seperti menstigma Indonesia sebagai penjajah.

Keduanya menahan diri dan memberikan kesempatan kepada Tim Independen untuk bekerja menjawab pertanyaan “mengapa dan bagaimana” tragedy kemanusiaan di Papua dapat diselesaikan.

Demikian dan semoga. (*)

Biak 22 Juli 2020

 

Artikel sebelumnyaVIDEO: Peluncuran Petisi Rakyat Papua Tolak Otsus Jilid II
Artikel berikutnyaVIDEO: Ini Alasan Egianus Kogeya Angkat Senjata dan Lawan Indonesia