Pergerakan Pengungsian Kedua ke PNG (Bagian 3/Habis)

0
2036

Sebagian dari mereka ditangkap, kemudian diadili karena dianggap pelintas batas illegal. Kebanyakan diantara mereka di pulangkan. Namun, ditangkap dan dibunuh oleh Tentara Indonesia. sedangkan sebagian meninggal karena sakit di pengungsian.

Aliran pengungsian orang Papua berlanjut dan mencapai titik tinggi selama gelombang berikutnya, dari 1984 hingga 1987 ketika 12000 orang melintasi perbatasan dan meminta suaka. Pengungsian sebelumnya relative kecil jika dibandingkan dengan tahap ketiga.

Penelitian Diana Glazebrook berjudul: Permissive Residents West Papuan refugees living in Papua New Guinea, dalam penelitiannya menyebutkan, pengungsian orang-orang Papua yang melintasi perbatasan untuk mencari suaka selama periode 1984-1986  dalam empat kelompok: ‘orang Utara’, suku Dani, Muyu dan Sota.

Bagian satu dari serial artikel ini dapat anda baca di sini: Latar Belakang Orang Papua Mengungsi ke PNG (Bagian 1)

Gerakan besar pertama terdiri dari sekitar 1000 orang dari bagian utara menyeberangi perbatasan dekat Wanimo antara Februari sampai Juni 1984. Grup utara ini termasuk orang-orang yang berpendidikan formal dan aktif secara politik dari kota-kota pantai utara (Jayapura, Sorong, Manokwari), dan pulau-pulau (Biak-Numfor dan Serui) serta sebagian penduduk desa dari wilayah perbatasan utara (Kereom dan Pantai Timur). Di Vanimo,  mereka di tempat di sebuah kamp pemukiman di Blackwater (blekwara).

ads

Pengungsian ini dikategorikan menjadi dua status pengungsi. Mereka dari daerah dekat perbatasan dikategorikan sebagai pelintas batas tradisional dan dianggap bukan pengungsi, dan mereka yang datang dari luar daerah perbatasan dianggap bukan pengungsi tanah tradisional (Zocca 2008:128).

Namun, jelas bahwa pergerakan penyeberangan mereka secara massal pada 1984 bukan bersifat sementara dan tidak untuk tujuan kegiatan tradisional. Mereka menyeberang mencari suaka ke PNG dengan rangkaian insiden bentrokan antaran Pasukan OPM dan Pasukan Indonesia di Papua Barat.

Gerakan pengungsian ini dipicuh, Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1 Juli 1971,  gerakan perlawanan bersenjata skala besar dimulai. Pertama adalah penahanan Arnold Ap pada November 1983, dan dibunuh Pada April 1984. Kemudian, Eliezer Awom, seorang Komandan Unit Kesatuan Brimob yang membelot sekitar bulan Maret 1983 dan bergabung dengan OPM. Februari 1984, bersama 100 anggota yang membelot ke OPM, masuk ke gudang senjata Batalyon 751 merebut senapan otomatis, senapan mesin, dan amunisi (Osbone 1985:99).

Setelah pertempuran, 95 orang Papua Barat melarikan diri ke Wutung, Papua New Guinea pada 10 Februari. Namun Zeth Rumkorem, sebagian dari Partai Sosialis Papua Barat, Pemerintahan Defacto dan beberapa pimpinan OPM lainnya tetap mengorganisir sebagian orang Papua untuk melakukan penyerbuan selanjutnya di Jayapura.

Baca Juga:  Zheng He, Seorang Kasim Cina Terkenal Sampai di Nusantara

Kemudian dilanjutkan dengan pengibaran bendera Papua Barat pada 13 Februari 1984, di depan kantor DPRD di Jayapura dengan skala besar yang disebut dengan “Operation Freedom”, namun rencana itu gagal. Osborne juga menyatakan, Elias Warsey, Mantan Kopral ABRI ditembak mati karena menaikan bendera di depan gedung DPRD  Jayapura dan seorang petugas kebersihan setempat juga ikut tewas ditempat kejadian itu.

Dalam upaya pengejaran anggota yang membelot dan anggota OPM, Militer Indonesia melancarkan operasi Militer ke daerah perbatasan dan Pantai Timur Kabupaten Jayapura.  Laporan Stop Sudah! (kesaksian perempuan Papua korban kekerasan dan Pelanggaran HAM 1983-2009) juga menyebutkan operasi militer di wilayah Pantai Timur, Kabupaten Jayapura, dari Distrik Bonggo hingga Distrik Sarmi, berkaitan dengan beberapa peristiwa kekerasan  yang  bergolak di Jayapura.

Sebelum pembakaran, warga kampung diperingatkan oleh OPM untuk segera mengungsi ke hutan. Sebagian besar orang di wilayah Pantai timur mengungsi ke  PNG.

Bagian kedua dari serial ini dapat anda baca di sini: Pergerakan Pengungsi Tahap Pertama dari West Papua ke PNG (2)

Setelah rentetan insiden itu, 13 Februari hingga Mei 1984, pengungsi Papua yang melarikan diri dan melintasi batas ke PNG  berjumlah 8000 orang. Namun rentetan pengungsian terus berturut-turut. 26 Juni 1984, Sekitar 9000 orang Papua Barat diyakini telah menyeberang ke  Papua  Nugini sejak Februari.

Gerakan kedua, terjadi pada tahun 1985 ketika sekitar 350 Dani dari Lembah Baliem menyeberang dekat Bewani, selatan Vanimo. Grup ini juga dipindahkan ke Blackwater. Keduanya gerakan-gerakan ini terjadi di Provinsi Sandaun utara PNG.

Ketiga, Pergerakan terjadi selama periode 18 bulan antara April 1984 dan September 1985 ketika 9500 Muyu melintasi perbatasan ke Provinsi Barat di banyak titik persimpangan.

Gerakan keempat terjadi pada 1992 ketika sekitar 100 keluarga dari kota perbatasan Sota mencari perlindungan di seberang perbatasan di Morehead District, PNG.

Gerakan besar kelima terjadi ketika sekitar 400 orang dari Lembah Baliem, yang tinggal di dan sekitar ibu kota Jayapura, melintasi perbatasan dekat Vanimo dan mencari suaka.

Baca Juga:  Penghargaan Musik di Eropa untuk Black Brothers

Banyak Pengungsi Diadili Karena Dianggap Pelintas Batas  Ilegal

Pada tahun 1984, Setelah melihat jumlah pengungsi orang Papua cukup tinggi, Pemerintah PNG melalui Kedutaan di Jakarta meminta informasi terkait pengungsian itu. Setelah mendapat penjelasan dari Indonesia, pada 24 Februari 1984, Michael Somare menyatakan, semua pelintas batas  akan diadili karena masuk secara illegal.

Bersamaan dengan itu, ada juga laporan tentang OPM yang memberikan tekanan pada masyarakat setempat untuk bergabung dengan OPM atau melarikan diri ke PNG untuk mendapatkan publisitas internasional.

Laporan Palang Merah PNG mengkonfirmasi: Kesan hampir universal dari berbicara dengan para pengungsi dan dikonfirmasi oleh pejabat PNG bahwa orang-orang melarikan diri ke PNG terutama karena para pemimpin OPM telah memberi tahu mereka untuk mengungsi ke PNG.

Pengungsi Papua Barat di PNG (Dok Jubi.co.id)

Pertama, menurut Pemerintah PNG, Papua Barat bukan pengungsi di bawah hukum internasional. Kedua, PNG tidak mengakses Konvensi Pengungsi dan Protokolnya dan karenanya tidak memiliki kewajiban hukum terhadap pencari suaka bahkan jika mereka adalah pengungsi.

Sebagai Akibatnya, orang Papua Barat sering dituntut dan dipenjara karena memasuki PNG secara ilegal dan beberapa dipulangkan secara paksa (Tsamenyi 1989: 186).

Sisi lain, Indonesia melalui kekuatan militer menekan Pemerintahan PNG, seperti: Menerjunkan terjun payung pasukan di daerah perbatasan dan melakukan pertempuran, menghancurkan kebun masyarakat PNG dekat Perbatasan, mengejar pengungsi hingga masu ke wilayah PNG dan menuding PNG melindungi Pemberontak dari  Indonesia, dan jet-jet tempur  melintasi wilayah  PNG.

Australia pun turut menekan dengan mengatakan, bahwa Indonesia menjadi ancaman terbesar bagi Australia dan menekankan perlunya Papua New Guinea untuk menekan aktifitas pemberontak anti- Indonesia  di  Wilayahnya.

Chronology of  Papua mengungkap,  Indikasikan bahwa Indonesia akan menyerang PNG, 15 Maret 1984, Thomas Negints (Tambul-Nebilyer) Ketua Komite Penasihat Kewarganegaraan, menghentikan aplikasi dariI rian Jaya untuk kewarganegaraan Papua Nugini dan menyerukan kriteria yang lebih ketat untuk menilai aplikasi. Dan Pius Sangumai (Kandrian-Gloucester) menyerukan pelatihan militer bagi orang dewasa wajib untuk mempertahankan  Papua  Nugini dari serangan Indonesia.

Dalam sebuah pertemuan di Jayapura pada 15-17 Maret 1984, antara Pemerintah PNG dan Indonesia di Jayapura membahas peristiwa Februari, namun pihak Indonesia tidak menghadiri pertemuan tersebut dan Matane, Perwakilan PNG hanya ketemu seorang  yang  kedudukannya jauh  lebih rendah.

Baca Juga:  Penghargaan Musik di Eropa untuk Black Brothers

Sumber-sumber pemerintah Papua Nugini melaporkan, bahwa para pejabat Indonesia tidak akan membahas keadaan yang  mengarah ke pelintas perbatasan; Pejabat Indonesia mewajibkan  PNG untuk menyerahkan nama semua pelintas batas dan nama sejumlah prajurit yang membelot sebelum keputusan tentang masa depan pelintas batas dibuat.

Papua Nugini memasok jumlah mereka yang telah menyeberang. Tapi menurut satu sumber, delegasi Indonesia menolak untuk percaya bahwa begitu banyak pengungsi telah menyeberang. Mengatakan bahwa hanya dua orang yang menyeberang dan dua orang itu  adalah penjahat yang dikenal.

Tekanan-tekanan itu juga pengaruhi pemerintah PNG bertindak pada dua sisi. Pertama, perasaan sebagai sesame keluarga serumpun, kadang mereka mencari jalan dengan memberikan suaka politik, berikan status pelintas Tradisional dan berikan ijin tinggal sementara (Permissive Residents) dan memberikan lokasi pengungsian. Namun, sisi lain sebagai negara, PNG juga menahan dan mengadili para pengungsi dan sebagian lainnya dipulangkan ke Papua Barat. Namun kemudian dieksekusi oleh militer  Indonesia.

Pengungsi dipindakan ke Awin Timur

Setelah pemerintah PNG menyetujui Konvensi dan Protokol PBB terkait dengan Status Pengungsi pada tahun 1986, Kemudian Pemerintah PNG mengidentifikasikan tanah seluas 6.000 hektar di Awin Timur (East Awin), sebuah devisi dari Distrik Kiunga di bagian Provinsi Barat (Western Province), sekitar 120 kilometer sebelah timur perbatasan Indonesia-PNG.

UNHCR mendirikan Pemukiman pengungsi untuk orang Papua barat pada tahun 1989. Hal itu menentukan orang Papua Barat dipindahkan dari 17 kamp informal di perbatasan internasional ke lokasi pedalaman tunggal seperti direkomendasikan oleh UNHCR.

Pada saat penelitian 1989-1998, Diana Glazebrook menemukan, pemukiman di Awin Timur terdiri dari 17 kamp  membentang di sepanjang jalan Kiunga-Nomad antara 40 hingga 70 kilo meter.

Populasinya sekitar 3500 dengan 20 orang persegi kilometer dibandingkan 10 orang persegi kilometer dia area tetangga. Pada tahun 1998, 1999 dan 2007, sebagian besar pengungsi Papua Barat melamar untuk  izin tinggal permisif di PNG.

Maureen Sexton menyatakan, para pengungsi yang datang pada 1980-an, 1990-an dan antara 2002 dan 2004 terbagi dalam dua kelompok: mereka yang pindah ke situs pengungsi East Awin sekitar 2.700, dan mereka yang memilih untuk tetap di perbatasan antara 5.000 dan 6.000 orang.

Tim Riset Suara Papua

Artikel sebelumnyaBupati Mamteng: Berikan Ruang kepada Masyarakat Kalau Mau Revisi UU Otsus
Artikel berikutnyaRibuan Rakyat Vanuatu Pawai di Port Villa Sambut Hut Kemerdekaan ke 40