Pergerakan Pengungsi Tahap Pertama dari West Papua ke PNG (2)

0
2184

Pada masa Administrasi Australia di PNG, banyak pengungsi dipulangkan kembali ke tanah air, karena dianggap pelintas batas illegal. Namun mereka diintimidasi oleh Militer Indonesia. Kondisi ini memaksa mereka memilih bermukim di daerah sekitar perbatasan dengan nasib yang tidak jelas.

Bagian pertama baca di sini: Latar Belakang Orang Papua Mengungsi ke PNG (Bagian 1)

Pemerintah Australia mengklasifikasikan, pada 1960-an gerakan timur-barat orang di sepanjang perbatasan sebagai pergerakan ‘pelintas batas tradisional’. Gerakan ditandai dengan sifatnya sementara dan untuk tujuan kegiatan tradisional seperti berkebun, berburu, memancing, perdagangan perbatasan adat, kontak dan upacara sosial seperti pernikahan (Glazebrook 2001: 10).

Pergerakan melintasi perbatasan telah terjadi secara turun-temurun karena penduduk setempat memiliki tanah dan koneksi komunitas di kedua sisi perbatasan. Namun, Maureen Sexton, Suster Belaskasih dari Kongregasi Melbourne Australia percaya, bahwa mereka mencari pengakuan internasional atas perjuangan panjang mereka untuk kemerdekaan.

Mereka menyeberang pada waktu yang berbeda, sebagai individu dan dalam kelompok, pada banyak tempat di sepanjang perbatasan internasional. Gerakan luas dikategorikan berdasarkan tempat asal bersama dan titik persimpangan dalam hal dari empat fase.

ads

Antara 1962 dan 1969, Administrasi PNG Australia mencatat sekitar 4.000 penyeberangan oleh orang Papua Barat. Penyeberangan itu didorong oleh pertempuran antara tentara Indonesia dan Pejuang kebebasan Papua Barat.

Secara periodic kedatangan pengungsi Papua Barat di PNG, ada empat gelombang utama (Zocca 2008: 122-127). Kedatangan Gelombang pertama terjadi selama masa Administrasi Australia PNG (1963-1975).

Pada tahun 1975 diperkirakan 4200 orang telah menyeberang ke PNG yang paling banyak di antaranya dipulangkan oleh otoritas Australia. Peristiwa di Papua Barat sejak 1961 menyediakan latar belakang dimana penerbangan orang Papua Barat.

Hasil Survei Pengungsi dunia 2008 memperkirakan, Pemerintah Papua Nugini (PNG) menampung sekitar 10.000 pengungsi, sebagian besar dari wilayah Papua Barat Indonesia. Orang Papua Barat mulai berdatangan pada tahun 1960-an, dengan jumlah terbesar masuk antara tahun 1984 dan 1986.

Baca Juga:  Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

Ada dua Insiden memicu terjadi pengungsian. Pertama, pada tahun 1960, ketika Belanda menyerahkan Papua Barat ke Indonesia.  Insiden Kedua,  bertepatan dengan pemberontakan yang mengikuti “Act of Free Choice” tahun 1969, ketika Indonesia memilih minoritas orang Papua untuk memilih menjadi bagian dari Indonesia.

Fakta sejarah dalam Chronology of  Papua mengungkap beberapa penyeberangan orang Papua akibat kekerasan militer Indonesia terhadap orang-orang Papua Barat yang anti  Indonesia, diantaranya:

Pada 21 Januari 1963, empat puluh empat pelajar Papua melarikan diri  Wilayah Papua New Guinea jajahan Australia. Mereka lari dari tidakan brutal aparat Indonesia terhadap mereka, namun kembali dipulangkan ke New Guinea Barat setelah mendapat jaminan dari UNTEA. Tetapi pada Malam hari, sekitar 30 orang pro-Indonesia bersenjatakan Pisau menyerang mereka di asrama. Dua pelajar dirawat rumah sakit.

Mei-Juni 1963, Pengungsi Papua Barat berjumlah 220,  dari daerah Merauke melintas batas dan masuk ke wilayah New Guinea.  Kemudian pada Juli 1963, sekitar 400 orang pemukim di dekat merauke menyeberang ke Bensbach Papua New Guinea; kemudian  mereka diberikan izin tinggal.

Awal tahun 1967,  Lodewijk, Barend Mandatjan dan  Awom menyatakan Manokwari sebagai negara  Papua Merdeka, pemberontakan orang Papua terjadi di Merauke, Kokonao, Fakfak yang dipimpin oleh prajurit-prajurit dan Polisi Papua, situasi ini mengakibatkan penyeberangan orang Papua ke wilayah PNG meningkat. Situasi itu memicu, lebih dari 350 orang  pengungsi Papua Barat Barat tiba di Weam PNG pada April 1967.

Direktur Jenderal untuk Irian Barat Kolonel Marwito  menuduh Australia memberikan perlindungan kepada orang-orang Papua anti Indonesia di New Guinea Australia, yaitu kelompok subversive yang menamakan diri Gerakan Papua Merdeka. Merespon pernyataan itu, pada Mei 1967, Menteri Urusan Eksternal Australia Hasluck memastikan bahwa kurang lebih 1.200 orang Papua Barat telah melintasi perbatasan sejak 1963, dari jumlah ini hanya sejumlah kecil saja yang meminta suaka politik.

Baca Juga:  Zheng He, Seorang Kasim Cina Terkenal Sampai di Nusantara

Selama Pemerintahan Australia berkuasa atas PNG, minoritas aktivis politik diberikan penghargaan dengan status permitif dengan syarat menahan diri untuk tidak terlibat dalam aktivitas politik sementara di PNG.  Selama periode ini, Anggota OPM dan TPN terus tinggal di beberapa kamp di sepanjang perbatasan.

Tahun 1968, Pemerintah Australia memindahkan 40 orang pengungsi dari Vanimo ke Pulau Manus PNG. Kemudian 31 Oktober 1968, pasukan Patroli dikirim oleh pemerintah Papua New Guinea untuk membersihkan para pemukim liar di kamp-kamp pengungsian dekat perbatasan. 

Pada tahun 1969 Administrasi Australia kembali mencacat, 1695 orang Papua Barat melintasi perbatasan pada tahun (Grazebrook 2004:207). Sejak  saat itu orang Papua menentang kedudukan Indonesia atas Papua setelah PEPERA 1969. 

26 April 1969, 111 orang Papua Barat menyeberang ke kamp karantina di Yako PNG, 15 orang tentara berseragam memasuki wilayah Papua New Guinea untuk mencari pengunsi di Kampung Wutung. Mereka menembak ke arah perwira yang mengepalai Pos Patroli Wutung dan dua orang yang adat di situ.

Di bagian selatan, pada 27 April 1969, orang-orang dari suku Muyu menyerang sebuah pos tentara angkatan darat dekat Merauke dan menewaskan tiga orang tentara Indonesia.  Peristiwa ini memicu penyeberangan pengungsi orang Muyu.

Dalam pengejaran para pengungsi pada 18 Mei 1969, Pasukan Tentara Indonesia melintasi perbatasan dan masuk ke wilayah PNG dan menembaki sebuah kamp pengungsi di Kwari. Menteri Luar Negeri Adam Malik mengklaim bahwa tentara Indonesia diserang oleh Pemberontak yang berbasis di wilayah PNG. 

Melihat pengungsian orang Papua di PNG, pada 24 Mei 1969, sekitar 500 mahasiswa Universitas Papua New Guinea memprotes pelaksanaan pemilihan tindakan bebas yang disebut dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat).

Baca Juga:  Zheng He, Seorang Kasim Cina Terkenal Sampai di Nusantara

29 Mei 1969, Klemens Runaweri dan Wilhelms Zonggonao menyeberang perbatasan ke Papua New Guinea.  Dalam pengejaran  mereka, Tentara Indonesia melewati perbatasan sampai sejauh 10 mil dan menembak mati seorang pengungsi bernama Yulis Yam.

18 Juni 1969, Adam Malik mengklaim, sesuai dengan persetujuan perbatasan antara Indonesia dan Australia, Australia Wajib mengembalikan setiap orang Papua Barat yang menyeberang ke wilayah Australia di PNG.

Tekanan pemerintah Indonesia ini memicu pemerintah Australia kembalikan pengungsi. 15 Desember 1969, pengungsi berjumlah 286 berasal dari sebelah Selatan dekat perbatasan menerima amnesty dan diterbangkan ke Merauke, namun 40 orang diantaranya kembali  melintas perbatasan ke PNG.

Selama administrasi Pemerintahan Australia di PNG, minoritas aktivis politik diberikan penghargaan berstatus permisif dengan syarat mereka menahan diri untuk tidak terlibat dalam politik aktivitas sementara di PNG. Selama periode ini, anggota OPM dan TPN terus tinggal di beberapa kamp di sepanjang perbatasan.

Ketika PNG mencapai kemerdekaannya pada tahun 1975, mereka yang telah menetap jauh dari perbatasan diberi kewarganegaraan.

Status pengungsi Papua Barat di PNG bervariasi dan merupakan masalah yang kompleks. Maureen menjelaskan bahwa orang-orang yang datang sebelum kemerdekaan pada Papua New Guinea pada tahun 1975 telah berasimilasi dan diakui sebagai warga negara PNG.

Selama pengungsian, mereka mengalami banyak persoalan, seperti masalah ekonomi, makanan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan yang mendapatkan upah, perumahan, kebebasan gerakan, pengungsi secara tidak sah di negara pengungsi, pengusiran dan tentang naturalisasi.

PNG baru menyetujui Konvensi 1951 yang berkaitan dengan status Pengungsi dan 1967 dan  Protokol pada Juli 1986 (berlaku untuk PNG pada 15 Oktober 1986).

Tim Riset Suara Papua

Artikel sebelumnyaKapolda Papua: Saya Tidak Setuju Petisi Rakyat, Itu Namanya Provokasi
Artikel berikutnyaOtsus Jilid II dan Referendum, Dua Agenda Aktual di Tanah Papua