“Pohon beringin adalah simbol nasional Indonesia. Bagi orang Papua Barat, ini pohon menampung roh-roh pengawas, itu adalah tempat Setan… Burung Garuda adalah simbol negara. Ia adalah pemangsa dan pemburu, yang merebut memangsa dengan kejam. Ya, kedua simbol ini mewakili gaya Pemerintah Indonesia. Mengapa orang Papua berkulit hitam tidak dilindungi oleh pohon beringin? Mengapa hak kami tidak sama dengan orang Indonesia lainnya?…” Pidato peringatan Arfai di kamp Blackwater di Vanimo, 1987 (Glazebrook 2008:24)
Menurut hukum Internasional tentang suksesi negara, memang praktik umum bagi negara yang baru merdeka mewarisi seluruh wilayah kekuasaan mantan colonial. Klaim atas wilayah berdasarkan persamaan dijajah sering dilanjutkan oleh negara yang baru merdeka.
Dalam cacatan sejarah Indonesia menunjukan, ada perdebatan pandangan tentang klaim atas wilayah Papua Barat. Dalam pertemuan Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945.
Hatta menolak Papua dimasukkan dalam Indonesia dan mengatakan bangsa Papua berhak untuk menentukan nasib mereka sendiri, tetapi Sukarno dan mayoritas dalam pertemuan itu memilih untuk Papua masuk dalam wilayah jajahan Indonesia.
Setelah mendapatkan kemerdekaan, Indonesia mengklaim seluruh wilayah yang menjadi milik Hindia Belanda. Namun Belanda tidak menghendaki Papua Barat dimasukkan di antara daerah-daerah yang diserahkan Belanda kepada Indonesia yang baru merdeka.
Orang Papua Barat dengan dorongan Kerajaan Belanda, mulai mengambil langkah pertama untuk menentukan nasib sendiri, termasuk pemilihan Dewan (New Guinea Raad), adopsi lagu kebangsaan dan bendera nasional Papua Barat pada tahun 1961.
Pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Sukarno bereakasi untuk mendeklarasikan diri secara total mobilisasi militer untuk merebut dan mengklaim Papua Barat (Dutch New Guinea) dalam kedaulatan Indonesia. Sukarno berupaya mengkontruksikan nasionalisme kebangsaan Indonesia berdasarkan kesamaan dijajah.
Setelah proses negosiasi berkepanjangan, dimana orang Papua Barat tidak mengambil bagian, Belanda dan Indonesia mencapai kesepakatan dimana Niguni Belanda diserahkan ke Indonesia (Perjanjian New York 1962). Namun, ternyata tidak transper langsung ke Indonesia, sebaliknya, menurut perjanjian administrasi PBB adalah untuk mengelolah wilayah untuk minimal tujuh bulan (Saltford 2000:72)
Meskipun tidak memiliki waktu maksimal telah ditetapkan, PBB menarik diri pada Mei 1963. Perjanjian tersebut juga mengacu pada orang-orang Papua menggunakan kebebasan untuk memilih tentang masa depannya.
Act of Free Choice berlangsung pada tahun 1969, setelah otoritas transisi PBB yang sangat singkat. 1022 delegasi yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia memilih untuk tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia. dan Sebagian kecil sekitar 700.000 orang Papua yang mendiami Papua Barat telah memilih memisahkan diri Indonesia. Dengan demikian, Indonesia mencaplok Papua sebagai provinsi ketujuh belas. Hal ini menyebabkan dimensi baru penyebrangan orang Papua ke wilayah Papua New Guinea.
Orang Papua Barat secara konsisten menentang penggabungan wilayah ke Indonesia dengan alasan bahwa Act of Free Choice dilakukan secara tidak benar dan karena itu tidak valid (Tsamenyi 1989: 182-183).
Negara yang baru merdeka sering melakukan penganiayaan terhadap populasi minoritas dipaksa melarikan diri (Zolberg 1983 dan 1989). Dinamika politik Papua Barat sejak 1961 penuh dengan, kekerasan, diskriminasi dan rekayasa politik menjadi latar belakang dimana penyeberangan suaka politik orang Papua.
Maureen Sexton, seorang Suster Belas kasih dari Kongregasi Melbourne yang telah mendukung para pengungsi sejak 2003 kategorikan, tiga insiden kritis utama memicu pergerakan orang yang lebih besar.
Insiden pertama adalah pada tahun 1960, ketika Belanda menyerahkan Papua Barat ke Indonesia. Insiden Kedua, bertepatan dengan pemberontakan yang mengikuti “Act of Free Choice” tahun 1969, ketika Indonesia memilih minoritas orang Papua untuk memilih menjadi bagian dari Indonesia. Insiden ketiga, pada tahun 1984 ketika sekitar 15.000 orang Papua Barat melintasi perbatasan di berbagai titik.
Infiltrasi dan Operasi Militel sebelum dan Sesuda Penyerahan kekuasaan
Menurut Amiruddin al Rahap dalam tulisannya : Operasi-Operasi Militer Di Papua Pagar Makan Tanaman?, Operasi militer untuk memaksa Papua berintegarasi ke dalam Indonesia secara faktual dirintis mulai tahun 1961 dengan masuknya bala tentara Indonesia ke Papua dengan sebutan sukarelawan dalam rangka melakukan infiltrasi untuk menguasai sebagian wilayah Papua dari Belanda dan kemudian daerah itu dimanfaatkan untuk mengacaukan jalannya pemerintahan Belanda atas Papua. Sejak tahun 1961 itulah, masyarakat Papua mengenal Indonesia secara nyata berkat adanya pasukan-pasukan ABRI yang menyusup ke Papua. Artinya, wajah pertama Indonesia di Papua diwakili oleh sepak terjang para pasukan infiltran ini.
Amiruddin menjelaskan, Fase infiltrasi ini ditujukan untuk membentuk basis-basis gerilya dan mempersiapkan pembentukan pos terdepan bagi upaya penyerbuan Papua oleh Indonesia. Dalam fase ini, dimasukkan lebih kurang 10 kompi prajurit ABRI ke Papua. Fase kedua ‘adalah melakukan serangan terbuka di beberapa daerah seperti Biak, Fak-fak, Sorong, Kaimana, dan Merauke. Fase ketiga adalah konsolidasi pasukan sebagai kekuatan militer Indonesia di Papua.Kehadiran dan sepak terjang ABRI yang kerap melakukan kekerasan di Papua di kemudian melahirkan satu sikap yang khas Papua pula, yaitu Indonesia diasosiasikan dengan kekerasan. Untuk keluar dari kekerasan, orang-orang Papua mulai membangun identitas Papua sebagai reaksi untuk menentang kekerasan yang dilakukan oleh para anggota ABRI yang menjadi representasi Indonesia bertahun-tahun di Papua. Makna yang terbangun di balik itu adalah menolak menjadi Indonesia berarti menolak menjadi korban kekerasan dari ABRI.
Amirudin menyebutkan, Sikap ABRI atas reaksi orang-orang Papua bukannya mencari jalan penyelesaian secara damai, melainkan mengintensifkan kekerasan dengan skala yang lebih besar melalui operasi militer dengan menjadikan Papua sebagai DOM. Akibatnya, kekerasan menjadi lingkaran yang tiada putus di Papua selama puluhan tahun.
1 Mei 1963, Secara resmi berakhir penguasaan Administrasi Papua Barat dari tangan UNTEA dan Ketika pemerintah Indonesia mulai mempunyai wewenang di Papua, kekerasan sistematis terhadap masyarakat Papua terjadi melalui berbagai operasi militer di Papua.
Pertempuran pertama Arfai pada 28 Juli 1965 di mana anggota Papua Barat mantan Batalion Belanda berperang melawan tentara Indonesia. Yohanes, seorang veteran Arfai, menggambarkan pertempuran ini sebagai aktivitas pertama perlawanan Papua Barat terhadap Indonesia.
Antara tahun 1963 dan 1965, tentara Indonesia menembak atau memukul Tentara Papua Barat dan warga sipil tanpa pengadilan. Penggunaan kata Papua Papua Barat ’adalah tindak pidana. Bendera Papua Barat di kantor-kantor pemerintah diturunkan, direndam dengan minyak tanah, dan dibakar. Pencarian dari rumah ke rumah dilakukan, bendera dan buku nyanyian Kijne yang berisi lagu kebangsaan disita. ‘Tentara Indonesia’ seharusnya tidak dianggap sebagai kategori monolitik, untuk unit militer yang berbeda menopang kepentingan bersaing yang telah mengarah ke fisik bentrokan.
Pengamat internasional seperti Amnesty International telah mengidentifikasi sebuah pola penangkapan dan penahanan orang Papua Barat oleh negara Indonesia. Pertama, di mana seseorang diduga terlibat OPM, penangkapan, interogasi dan penahanan tanpa pengadilan terjadi. Kedua, orang-orang yang sebelumnya ditahan dan dibebaskan kemungkinan akan ditahan lagi. Ketiga, setelah penahanan dan pembebasan, orang-orang diharuskan melapor ke polisi dua atau tiga kali per minggu. Keempat, kapan insiden terjadi, penangkapan massal dilakukan. Kelima, kerabat tersangka adalah ditahan, dan keenam, tahanan direkrut sebagai mata-mata untuk negara.
Amiruddin menilai, ABRI di Papua memiliki dua misi, formal merupakan alat kelengkapan dari UNTEA dalam UNSF, sementara infomal adalah untuk melanjutkan komando Trikora. Maka dari itu, ABRI dalam Kotindo, lebih mementingkan tugas informalnya, yaitu mengawasi UNTEA agar tidak merugikan Indonesia dan menekan kekuatan-kekuatan sosial politik orang-orang Papua yang menentang Indonesia.
Manipulasi dan Penipuan dalam Pepera
Baru pada tahun 1969 pendudukan Indonesia diakui secara internasional dengan masuknya Irian Jaya sebagai provinsi ke dua puluh tujuh. Barat Orang-orang Papua barat mengungsi ke PNG. Glazebrook dalam penelitiannya, mewawancara beberapa pengungsi di Awin Timur. Mereka menegaskan, Act of Free Choice 1969 sebagai masalah yang utama bukti penipuan Indonesia.
Satu orang satu suara’ seperti aslinya disetujui oleh PBB, Indonesia mengatur ‘1000 diwakili oleh satu pria tua yang tidak bisa membaca atau menulis dipilih; delegasi tidak diizinkan berbicara kepada orang-orang di luar; tentara menjaga pintu masuk dan delegasi disertai kemanapun mereka pergi; delegasi diberi makan dengan baik dan diberi hadiah teko, piring, Radio Sanyo, sepeda dan sepeda motor Honda; dan beberapa diberikan perempuan Jawa dan dibawa ke Jakarta di mana mereka menginap di hotel-hotel mewah.
Yohanes bersaki kepada Diana Glazebrook menyatakan: “Mereka mengira mereka hidup akan seperti itu di bawah Indonesia. ‘Pada hari pemungutan suara, pemilih diberikan beras dan ikan kaleng didistribusikan oleh asosiasi lingkungan dan tinta jempol mereka ‘dibimbing’ oleh petugas pemilihan Indonesia. Pesawat kemudian tersebar ribuan pamflet dari langit yang berbunyi: “Kami rakyat Papua Barat, dengan ini, jadilah satu dengan Republik Indonesia.
Johanes menjelaskan, kehidupan kembali seperti semula. Dari belakang kami menyadari bahwa kami telah menjual diri kami sendiri, menjual tanah kami.Pemilihan hanya bersifat taktis, penyembunyian, penyuapan dan rayuan oleh benda-benda yang berhubungan dengan kesenangan.
Dalam periode akhir 1960-an, barang-barang impor seperti radio Sanyo dan sepeda motor Honda keduanya sangat mahal, dan jarang dimiliki oleh orang Papua Barat. Ini adalah hadiah pertama dalam serangkaian penipuan yang dilakukan oleh negara Indonesia, dan pendatang, dikerahkan untuk mendapatkan kekuatan dan tanah.
Lanjutaan Operasi Militer setelah Pepera
Pemilu 1971 ini merupakan pemilu pertama Indonesia di bawah kekuasaan rezim Orde Baru Soeharto. Pemilu ini juga merupakan pemilu pertama bagi orang Papua dalam kekuasaan Indonesia. Dalam mempersiapkan Pemilu 1971 ini, Kodam juga menghadapi perlawanan, terutama di Biak Utara dan Barat, serta di kepala burung Manokwari. Untuk menghentikan perlawanan tersebut dilancarkan operasi militer. Sandi operasi adalah Operasi Pamungkas dengan pendekatan pada operasi teritorial yang dibantu tempur dan intelijen.
Bulan Juli 1971 ini, Kodam juga melancarkan Operasi Pamungkas di Manokwari untuk mengejar Ferri Awom yang belum menyerah. Batalion- batalion bertugas mengejar kelompok perlawanan sepanjang hari selama berbulan- bulan, siang, dan malam. Dalam pengejaran ini Kapten Sahala Rajaguguk berhasil membujuk Ferry Awom untuk turun menyerah dengan 400 orang anggotanya.
Operasi militer yang masif di tahun 1971 ini alih-alih membuat sentimen anti Indonesia surut, malah perlawanan berkembang ke berbagai kota dalam bentuk penyerangan terhadap pos-pos ABRI dan pemerintahan. Melihat perlawanan menguat, Kodam kian memperkuat kekuasaannya di Papua dengan menutup Papua bagi media.
Menjelang Pemilu 1977 kembali perlawanan dilancarkan oleh kelompok- kelompok OPM di Papua, terutama di daerah Kobagma, Bokondini, Mulia, Ilaga, Piramid, Kabupaten Jayawijaya. Perlawanan ini dipicu oleh penempatan kesatuan-kesatuan ABRI di hampir seluruh wilayah Papua.
Perlawanan ini dipicu oleh penempatan kesatuan-kesatuan ABRI di hampir seluruh wilayah Papua. Operasi- operasi militer untuk mematahkan perlawanan menjelang Pemilu 1977 dan Sidang Umum MPR 1978 ditingkatkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Selain itu, perlawanan juga pecah di Enarotali, Biak, dan Mimika serta di sepanjang daerah perbatasan dengan PNG Era ini dianggap oleh orang Papua sebagai era awal status Daerah Operasi Militer bagi Papua diterapkan.
Di Jayawijaya, terutama di daerah sekitar Tiom dan Kwiyawage yang merupakan lembah- lembah di Baliem dilangsungkan pula operasi militer untuk menghentikan perlawanan dan mempersiap-kan Pemilu 1977. Operasi dilancarkan di bulan April dan Juni.
Di areal PT Freeport di Timika bulan Juli 1977juga teijadi gejolak. Penduduk setempat yang ditengarai digerakkan oleh OPM juga melancarkan serangan terhadap pipa-pipa dan fasilitas PT Freeport karena merasa kecewa atas kehadiran perusahaan itu. ABRI membalas aksi penduduk itu dengan melakukan penembakan dari udara menggunakan pesawat Bronco. Setelah itu, ke berbagai deretan kampung di sekitar Agimuga diteijukan pasukan infantri dari Batalion 753/Tjendrawasih untuk mengejar penduduk dan membakar perkampungan.
Robin Osbome mencatat operasi militer di tahun 1977—1978 adalah operasi militer paling buruk. Dalam setiap operasi pengejaran terhadap mereka yang disebut kelompok OPM diterjunkan pasukan dalam jumlah besar yang berintikan kesatuan RPKAD dan pasukan angkatan darat lainnya.
Di daerah selatan Jayapura yang berdekatan dengan perbatasan yang dikenal sebagai daerah Markas OPM diterjunkan 10.000 orang tentara setelah daerah itu dibombardir dari udara oleh dua pesawat Bronco. Dalam penyerangan ini, diperkirakan 1.605 orang para pendukung OPM dan penduduk di wilayah itu tewas.50 Operasi militer di tahun-tahun ini selalu diingat oleh orang-orang tua di daerah itu, sebagai kenyataan paling pahit dalam hidup mereka.
Sepanjang tahun 1977—1978 itu, Dubes Indonesia untuk PNG memperkirakan 1.800 orang pasukan dikerahkan beroperasi di hutan-hutan untuk melakukan pengejaran dan 3.000 orang siaga berada di Jayapura untuk setiap saat menggantikan.
Gejolak kembali membuncah di tahun 1980-an, terutama sekitar tahun 1984. Di tahun 1980-an. Di awal tahun 1980-an, Kopkamtib mengeluarkan analisis bahwa kekuatan OPM telah mengecil dan terpencar-pencar ke dalam kelompok kecil-kecil dengan senjata yang sangat terbatas. Meskipun demikian, Laksusda Irian Jaya kala itu juga melihat gerakan kelompok-kelompok OPM itu kembali mulai aktif setelah menerima pukulan telak sepanjang tahun 1977—1978. Gerakan OPM itu aktif sepanjang daerah perbatasan dengan PNG. Antara bulan Maret dan Juni 1984, pasukan dari Kopasandha (Kopassus) mulai melakukan penyusupan ke daerah-daerah sekitar perbatasan.
Aksi pasukan baret merah ini adalah dengan melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang dicurigai. Osborne mencatat gerakan pasukan ini sangat menakutkan penduduk sekitar perbatasan karena perlakuan buruknya terhadap penduduk. Akibatnya, ratusan orang melarikan diri ke daerah PNG karena takut.
Pengungsian ke PNG di tahun 1984 ini kian banyak ketika Suku Muyu di Mindiptana, Woropko, dan Merauke juga masuk ke PNG. Pengungsian Suku Muyu ini dipicuh oleh kehadiran pasukan ABRI, yaitu intelijen Kopassus di daerah itu untuk mencari anggota OPM setelah terjadinya penyerangan pos ABRI di desa Kanggewot dan Kakuna tanggal 11—12 April 1984. Gerakan suku Muyu ini kemudian juga diikuti oleh penduduk dari daerah lainnya, yaitu dari Jayapura, Wamena, Sorong, Mimika (Amungme), Manokwari, dan Fak-fak. Seluruh pengungsi asal Papua yang masuk ke PNG ini diperkirakan mencapai 10.000 orang.55 Sementara Yafet Kambai mencatat dari seluruh pengungsi itu hanya sekitar 7.500 berhasil masuk ke PNG dan 1.900 orang berdiam diri di hutan-hutan sekitar perbatasan. Seluruh pengungsi ini ditempatkan di kamp East Aswin dan Western Province, PNG.
Pelanggaran Hak asasi Manusia dan Gerakan Perlawanan
Theo van den Broek, Returnees from PNG to Irian jaya: Dealing in Particular with Returnees to Woropko- Mindiptana Area menyebutkan, Gerakan pengungsian ke PNG, selain faktor operasi militer di daerah perbatasan itu, juga disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan yaitu aktifnya OPM di daerah itu, munculnya rasa kecewa karena macetnya pembangunan, banyaknya operasi intelijen, dan masuknya arus transmigrasi secara besar-besaran ke Papua terutama di sekitar daerah perbatasan.
Penyebab struktural yang lebih mendalam dan mengakar konflik dan penyeberangan para pengungsi daripada pertempuran tentang pengibaran bendera. Dapat ditemukan bahwa Penyeberangan terdorong karena kekuatan Negara Indonesia dalam praktek indoktrinasi budaya, eksploitasi ekonomi, kecaman ekspresi politik Papua, dan perampasan tanah melalui kebijakan transmigrasi yang disahkan oleh Negara.
Menurut wawancara yang dilakukan oleh International Commission of Jurists (ICJ) dengan para pengungsi di kamp-kamp perbatasan, penyebrangan dari Papua Barat terjadi sebagai akibatnya ‘Masalah hak asasi manusia – kebebasan berserikat, diskriminasi terhadap orang Melanesia dalam pendidikan dan layanan publik, penistaan budaya Melanesia dan upaya untuk melemahkannya, dampak kebijakan transmigrasi Indonesia, subordinasi dari proses hukum yang tepat untuk kontrol politik.
Beberapa berbicara tentang masalah ekonomi – Orang Indonesia mendominasi bisnis dan kehidupan ekonomi, orang Melanesia kurang mampu suap yang dianggap perlu untuk kemajuan dan layanan publik ‘(ICJ 1986: 49). Bersamaan dengan itu, ada juga laporan tentang OPM yang memberikan tekanan pada masyarakat setempat untuk bergabung dengan OPM atau melarikan diri ke PNG untuk mendapatkan publisitas internasional.
Laporan Palang Merah PNG mengkonfirmasi: Kesan hampir universal dari berbicara dengan para pengungsi dan dikonfirmasi oleh pejabat PNG bahwa orang-orang melarikan diri ke PNG terutama karena para pemimpin OPM telah memberi tahu mereka untuk lari ke PNG. Disarankan bahwa mereka sangat takut pada OPM, meskipun tidak ada yang akan mengatakan pembalasan macam apa yang akan dilakukan terhadap mereka jika mereka menolak untuk patuh (Palang Merah PNG dalam Tsamenyi 1989: 185).
Ini membuat pemerintah PNG menyebut mereka sebagai pelintas batas ilegal. Pemerintah mendukung pandangan bahwa mereka tidak memiliki kewajiban hukum untuk mengakui klaim mereka untuk status pengungsi atau untuk memberikan suaka berdasarkan dua alasan. Pertama, menurut Pemerintah PNG, Papua Barat bukan pengungsi di bawah hukum internasional. Kedua, PNG tidak mengaksesi Konvensi Pengungsi dan Protokolnya dan karenanya tidak memiliki kewajiban hukum terhadap pencari suaka bahkan jika mereka adalah pengungsi.
Sebagai Akibatnya, orang Papua Barat sering dituntut dan dipenjara karena memasuki PNG secara ilegal dan beberapa dipulangkan secara paksa (Tsamenyi 1989: 186).
Tim Riset Suara Papua