Jendela PapuaApakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

Burung Cenderawasih

Spesies burung Cenderawasih (Paradisaea apoda) merupakan salah satu jenis burung Cenderawasih yang konon sangat terkenal di Nusantara (Indonesia) bahkan mendunia. Burung ini menjadi viral di Negara-negara Eropa abad ke-16 karena keunikannya, keindahannya maupun cerita mitos legenda yang menyelimutinya.

Satu-satunya berbagai jenis habitat burung ini berada adalah di tanah Papua dan di kepulaun Aru, Maluku yang hanya berjarak 445 km dengan tanah Papua. Sampai saat ini, burung Cenderawasih masih bisa ditemukan di tanah Papua (New Guinea) dan kepulauan Aru.

Pertanyaannya: Apakah burung Cenderawasih pernah hidup di Jawa? Tampaknya burung ini tidak pernah hidup di Jawa. Tapi, pernah di bawa ke Jawa. Sebagaimana kita tahu bahwa Cenderawasih bukanlah burung endemik pulau Jawa, Sumatera atau pulau lainnya. Burung Cenderawasih bisa hadir Jawa karena perdagangan pada zaman dulu, dimana banyak Kerajaan-Kerajaan di Nusantara sangat menginginkan bulu Cenderawasih untuk kebutuhan ritual, spiritual dan sebagai hiasan dan komoditi dalam perdagangan dunia. Pada masa lalu, para pedagang Nusantara dari beberapa kelompok suku menyebutnya “manuk dewata” yang berarti burung Surga. Orang Bali menganggap burung ini sangat suci sehingga digunakan dalam tradisi orang mati di Bali. Kontak dagang antara orang Maluku, Papua dan suku-suku Nusantara lainnya telah lama ada sebelum masuknya bangsa Eropa di Nusantara.

Baca Juga:  Zheng He, Seorang Kasim Cina Terkenal Sampai di Nusantara

Dengan meningkatnya kebutuhan akan buluh burung Cenderawasih, ini memicu perburuan besar-besaran oleh para pedagang dari berbagai kalangan baik dalam negeri maupun para pedagang luar negeri.

Pada abad ke-15, Niccolo de Conti (1395-1469), seorang pedagang asal Venesia, yang tinggal di Jawa selama sembilan bulan, pada tahun 1421, sebelum berlayar ke Champa (Vietnam). Nah, di sana ia melihat burung Cenderawasih yang tanpa kaki, serta memiliki ekor yang panjang dan buluh yang halus. Bisa disimpulkan bahwa Cenderawasih yang dimaksudkan telah diawetkan dan sudah mati. Sebab kebanyakan burung Cenderawasih yang diawetkan biasanya kakinya di potong, isi perutnya dikeluarkan, ini yang kadang membuat para pedagang Eropa mengira bahwa burung Cenderawasih memang tidak ada kakinya. Sekarang bagaimana dengan burung Kasuari?

Baca Juga:  Zheng He, Seorang Kasim Cina Terkenal Sampai di Nusantara

Burung Kasuari

Burung Kasuari, merupakan burung raksasa tanpa sayap yang kehidupannya tak pernah terbang. Burung inipun bukanlah burung endemik pulau Jawa, namun burung ini menjadi bagian dalam komoditi penting di masa lampau. Sebagaimana dalam literatur tempo dulu burung ini pun ada dalam perdagangan dunia.

Dalam salah satu manuskrip tua “Description Anatomique D’un Casuel, 1731 menulis tentang burung Kasuari yang dimiliki oleh pangeran pulau Jawa (Banten) dimana pada 1596, sang raja menghadiakan burung kasuari kepada ekspedisi pertama orang Belanda, Cornelis de Houtman yang dibawa pertama kali ke Eropa tahun 1597. Pada 1603 dua ekor burung Kasuari dibawa lagi ke Eropa, sayangnya keduanya mati dalam perjalanan.

Baca Juga:  Zheng He, Seorang Kasim Cina Terkenal Sampai di Nusantara

Catatan tentang kedua burung di atas memperlihatkan bahwa pada masa lampau burung-burung ini telah dibawa dari pulau Papua sampai di pulau Jawa untuk diperdagangkan, yang jelas burung-burung ini bukanlah burung endemik pulau Jawa. Hanya melalui perdaganganlah burung-burung ini bisa ada di sana. (*)

)* Artikel ini disadur dan diterbitkan ulang dari pustakapapua.com setelah mendapat izin untuk menerbitkan ulang dari pengelola situs web Pustaka Papua. Anda bisa membaca artikel-artikel menarik tentang Papua di PustakaPapua.com

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP Himbau Rakyat Papua Peringati 1 Mei Dengan Aksi Serentak

0
“ULMWP sebagai wadah koordinatif gerakan rakyat, siap bertanggung jawab penuh atas semua rangkaian aksi yang dilakukan dalam bentuk apa pun di hadapkan kolonialisme Indonesia dan dunia Internasional.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.