ArtikelOAP Bisa Hidup Tanpa Otsus Jilid II!

OAP Bisa Hidup Tanpa Otsus Jilid II!

Oleh: P. Santon Tekege, Pr)*
)* Penulis adalah Aktivis Human Right dan Petugas Pastoral dari Keuskupan Timika

Orang Asli Papua (OAP) di Tanah Papua punya tanah dan dusun. Dengan itu mereka bisa berkebun, mengolah tanah dan dusunnya. Mereka bisa makan ubi, keladi, ikan, udang, dan babi serta sayur-mayur dari kebun dan hutan. Mereka tidak kesulitan ketika mereka berada di hutan, dusun dan tanahnya sendiri. Dari sinilah mereka mengalami suasana damai dan menyatu dengan alam di tanah dusunnya.

Dengan suasana yang sudah dan sedang dirasakan itu, mereka tidak butuhkan dana besar untuk membangun Papua. Pemerintah Indonesia paksakan dengan dana besar Otonomi Khusus (Otsus) juga akan sama saja tak ada rasanya. Semua akan hilang ditengah jalan sampai masyarakat kecil di kampung-kampung tak merasakan apa-apa.

Saya mau beritahukan kepada Presiden RI Joko Widodo, Mendagri Tito Karnavian, dan Menkopolhukam Mahfud MD bahwa masyarakat asli Papua yang kecil, miskin, dan lemah yang tinggal di dusun maupun tanahnya sendiri bisa hidup, aman, damai tanpa Otsus jilid dua. Tanpa perusahaan tambang emas, OAP bisa hidup. Tanpa perusahaan sawit, OAP bisa makan sagu dan petatas. Tanpa perusahaan minyak dan gas, OAP bisa aman dan damai hidupnya.

Dalam tulisan ini akan dibeberkan bagaimana realitas hidup OAP di era Otsus, rentetan kekerasan dan konflik, juga Otsus membuka peluang bagi para transmigran, hingga kenyataan OAP bisa hidup tanpa Otsus dari Jakarta.

Realitas Hidup Rakyat Papua

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat karena gejolak politik Papua Merdeka semakin panas di dalam negeri maupun luar negeri sejak tahun 1998-2001. Untuk meredam situasi politik Papua Merdeka, diberikan Otsus sejak 21 November 2001.

Saat ini umur Otsus sudah mau mencapai 20 tahun. Tujuannya adalah peningkatan kesejahteraan OAP mencakup dalam beberapa aspek: Pembangunan di bidang insfrastruktur, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi OAP, hak-hak dan martabat OAP, serta pembangunan dalam bidang iman dan kepercayaan. Semua aspek itu telah dinyatakan gagal di Tanah Papua. (Baca Laporan Situasi Umum di Tanah Papua oleh SKPKC Fransiskan Keuskupan Jayapura, SKPKC Sinode GKI Tanah Papua, dan LIPI). Akhir dari laporan itu adalah “Jakarta telah menipu dan bohong kepada orang asli Papua” dengan semboyan: “Otonomi Khusus untuk peningkatan kesejahteraan Orang Asli Papua”.

Padahal OAP hidup dalam kemiskinan di negerinya sendiri. Walaupun dana Otsus yang dikucurkan ke Papua sangat tinggi, belum terhitung uang yang dikelola lembaga-lembaga non-pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar. Tetapi nyatanya kemiskinan sangat tinggi di Tanah Papua. Tingkat kemiskinan yang amat tinggi ini oleh BPS Provinsi Papua tahun 2010 menyatakan sebagai kemiskinan absolut dan ekstrim. Bersifat absolut karena hal-hal pokok (basic needs) yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup nyaris tak terpenuhi.

Bagi saya, UU Otsus rupanya diidentikan dengan uang. Otsus adalah uang, sehingga hampir setiap tahun dana triliunan rupiah dikucurkan ke Papua. Pengalokasian dana Otsus yang jumlahnya tidak sedikit itu, misalnya dari tahun 2002 hingga 2007 sebesar 1,2 triliun (2000), 1,3 triliun (2003), 1,4 triliun (2004), 1,5 triliun (2005), 1,7 triliun (2006), dan 3,2 triliun (2007). Jumlah total anggaran Otsus untuk Papua sejak 2000 hingga 2007 sebesar 10,3 triliun. (Sumber data: Buletin Keuskupan Manokwari-Sorong No. 33/September 2007, hal. 42).

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Belum dengan anggaran Otsus tahun 2008 dan 2009. Juga dana Otsus sejak 2010-2019 terus meningkat nilainya hingga ratusan triliun rupiah. Dana yang begitu banyak dikucurkan, tetapi tetap saja masyarakat asli Papua hidup dalam keterpurukan.

“Kini, dana Otsus harus tambah besar,” kata Mendagri Tito Karnavian. Katanya, dana Otsus akan ditambah bagi Provinsi Papua dan Papua Barat (Berita AntaraNews, 22 Juli 2020). Sementara Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan, “Saat ini Presiden Jokowi sedang menyiapkan instruksi presiden (Inpres) yang lebih konprehensif terkait percepatan pembangunan daerah kedua propinsi Indonesia bagian Timur ini. Tujuannya adalah lebih pada kesejahteraan orang asli Papua. (Berita Sindonews edisi 22 Juli 2020).

Banyaknya dana dan program yang diberikan kepada Provinsi Papua dan Papua Barat itu dipandang sebagai upaya untuk kesejahteraan OAP akibat kegagalan pembangunan di Tanah Papua. Singkatnya karena kegagalan pembangunan, dana dan program Otsus harus lebih banyak diberikan untuk kesejahteraan OAP.

Meskipun persoalan di Papua disebabkan oleh kegagalan pembangunan, Otsus sendiri tidak akan pernah berhasil meningkatkan kesejahteraan OAP. Nyatanya sejak Otsus diberlakukan, pertumbuhan ekonomi masyarakat justru menurun drastis bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi sebelum Otsus.

Menurut LIPI, pertumbuhan ekonomi tahun 1995, 1996, 1997, 1998 mencapai 20,18%, 13,87%, 7,42%, dan 12,72%; sedangkan pertumbuhan ekonomi sesudah Otsus diimplementasikan pada tahun 2002, 2003, 2004, hanya mencapai 8,7%, 2,96%, dan 0,53%. (Buku Papua Road Map, Widjojo: 2009: 14). Sementara menurut BPS Pusat tahun 2010 bahwa situasi ekonomi di kedua provinsi ini berada pada posisi terendah yakni 0,51%. Fakta ini mau menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam pola pendekatan dan pembangunan di Tanah Papua.

Data kemiskinan menurut BPS Pusat 2010 memperlihatkan bahwa Provinsi Papua (Data kemiskinan: 37,53%) dan Papua Barat (Data Kemiskinan: 35,71%) berada pada posisi paling bawah dari seluruh provinsi di Indonesia. Nah, sekarang kita lihat lagi data kemiskinan kedua provinsi ini setelah 9 tahun yaitu data kemiskinan pada 2019 di Papua 26,55%, sedangkan Papua Barat 21,51.

Secara nasional Provinsi Papua dan Papua Barat berada pada posisi penduduk kemiskinan paling terendah yaitu 9,22%. Padahal Jakarta kucurkan dana Otsus lebih besar, tetapi dana Otsus hilang di aparat keamanan Indonesia serta aparatur pemerintah kabupaten/kota dan provinsi, sementara masyarakatnya semakin terpuruk. Tujuan Otsus sudah gagal total di Tanah Papua.

Kekerasan dan Konflik

Di era Otsus banyak terjadi pelanggaran HAM berat maupun ringan yang dilakukan oleh negara melalui pendekatan aparat keamanan Indonesia di Tanah Papua.

Dalam laporan ELS-HAM Papua pada 2019 diperlihatkan berbagai kasus pelanggaran HAM. Kasus pelanggaran HAM itu adalah kasus Biak Berdarah (1998), kasus Abepura berdarah (2000), kasus Wamena berdarah (2000), kasus Merauke berdarah (2000), kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay (2001), kasus Wasior berdarah (2001), kasus Wasior berdarah (2003), kasus Wamena berdarah (2003), kasus Abepura berdarah (16 Maret 2006), kasus penembakan warga di Puncak Jaya (1 Mei 2009 dan Juni-Oktober 2010 serta September Oktober 2011 dan Mei 2012).

Kasus penganiayaan warga di Kurulu Wamena 2 November 2011, kasus penembakan 13 warga sipil meninggal di Honelama dan Sinakma di Wamena 6 Juni 2012, kasus penembakan 4 warga di Degeuwo Paniai 13 November 2011 dan 2012, kasus penembakan 3 warga sipil tewas di Mil 32 Timika (2011 dan 3 orang warga tewas di Kwamki Lama 18-20 Juni 2012).

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Kasus penembakan yang menewaskan 3 warga sipil di Aimas Sorong 2014. Dan kasus Paniai berdarah 8 Desember 2014 yang menewaskan 4 orang siswa SMA, Nduga berdarah mulai dari 1 Desember 2018 sampai 2020, Dogiyai berdarah 2015 yang menewaskan 2 warga sipil, Koperapoka Timika 2015 yang menewaskan 3 pemuda, Oneibo Deiyai berdarah 1 Agustus 2017 yang menewaskan 3 warga sipil, kasus Fayit, Asmat berdarah 2017 yang menewaskan 7 orang sipil, dan kasus penolakan rasis yang berujung pada korban penembakan 9 warga sipil di Deiyai 28 Agustus 2019, dan kasus gugurnya beberapa pelajar akibat ujaran rasisme dari seorang ibu guru di Wamena pada September 2019.

Dan begitu banyak korban penembakan terhadap warga sipil di Tanah Papua selama ini. Di sini saya tidak menulis semua korban tewas di ujung bedil negara.

Kalau konflik dan kekerasan di Tanah Papua hanya direduksi ke dalam kegagalan pembangunan, maka Otsus jelas-jelas gagal mensejahterakan OAP. Bila Otsus gagal meningkatkan kesejahteraan OAP, maka tuntutan kemerdekaan tidak pernah selesai, sebab mereka belum sejahtera. Akibatnya konflik dan kekerasan pun tidak akan pernah selesai. Tuntutan kemerdekaan dan pengibaran bendera Bintang Kejora pun juga tidak akan pernah berhenti.

Tetapi bagi saya, konflik dan kekerasan di Tanah Papua bukan hanya disebabkan oleh kegagalan pembangunan, kendati kegagalan pembangunan merupakan salah satunya. Konflik dan kekerasan di Tanah Papua lebih pada persoalan sejarah berdirinya sebagai sebuah negara pada 1 Desember 1961, tetapi sejarah itu dijajah dan ditindas hingga kini. Dan persoalan identitas jati diri bangsa Papua. Persoalan manipulasi dan pencaplokan sejarah integrasi dan identitas bangsa merupakan persoalan dasar yang mendorong timbulnya upaya untuk perjuangan meraih kemerdekaan yang pernah ada.

Apabila pemerintah pusat dapat menyelesaikan persoalan sejarah integrasi dan identitas bangsa Papua, maka tuntutan kemerdekaan mungkin saja bisa dikurangi bahkan tidak ada lagi. Para perumus UU Otsus tidak memperhatikan persoalan fundamental ini. Para menteri khususnya Mendagri dan Menkopolhukam mengira bahwa konflik dan kekerasan di Tanah Papua diakibatkan oleh kegagalan pembangunan. Sementara Jakarta mengabaikan sisi fundamental dari konflik dan kekerasan yang terjadi di Tanah Papua selama ini.

Sengaja saja para petinggi Jakarta abaikan semua usulan demi terciptanya perdamaian melalui jalan dialog. Kalau dialog itu terjadi, maka situasi damai dan aman.

Namun Jakarta malah mengirim aparat keamanan untuk menambah konflik dan kekerasan di Tanah Papua. Negara sengaja mengirimkan aparat keamanan untuk pendudukan Indonesia di Tanah Papua. Sementara Jakarta sengaja abaikan tawaran orang Papua dialog supaya membuka peluang pendudukan melalui transmigrasi yang banyak ke Papua dengan tujuan masyarakat Papua tersingkirkan dari tanahnya sendiri.

Peluang Transmigran

Realita berbicara bahwa peningkatan warga migran semakin melebihi standar internasional di Tanah Papua (7,5% setiap tahun), menurut mantan Gubernur Papua Barnabas Suebu. Setiap tahun, migran makin meningkat. Laju pertumbuhannya dapat mempengaruhi corak hidup dan kekhasan penduduk asli setempat.

Data BPS Provinsi Papua dalam bidang transmigran didatangkan ke Papua sejak 1971 hingga 1992 berjumlah 12.500 jiwa. Tahun 1992/1993 sebanyak 16.391 jiwa, Sejak tahun 1994/1995: 22.234 jiwa. Penduduk kian bertambah di tahun 1995/1996: 35.716 jiwa. Setahun kemudian menjadi 36.778 jiwa. Transmigran semakin bertambah ruah di tahun 2000/2001: 40.788 jiwa.

Grafiknya terus bertambah pada tahun 2008/2009 yakni 43.456 jiwa. Akhirnya 2010/2011 grafik transmigran menanjak hingga 61.998 jiwa. Penambahan warga luar melanggar etika transmigran internasional yang diakui bersama sebagai kesepakatan bersama. Jika warga dikalkulasikan, maka penduduk Papua dikuasai 80% oleh orang non Papua.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

BPS Provinsi Papua tahun 2012 menyatakan bahwa 30% penduduk OAP. Sedangkan 70% adalah orang non Papua. Sementara jumlah penduduk di Provinsi Papua Barat 35% OAP, sedangkan 65% orang non Papua. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Tanah Papua dikuasai oleh orang non Papua hingga kini.

Saya pikir laju pertumbuhan penduduk akan berkurang karena ada kewenangan dan hak-hak Otsus di Tanah Papua. Tetapi Otsus malah membuka peluang bagi para migran kuasai seluruh aspek yang ada dalam tujuan pemberian Otsus. Faktanya data BPS Papua 2019 berbicara perbandingan antara penduduk asli Papua 30% dan 70% Non Papua. Itu artinya Non Papua sudah mendominasi OAP. Non Papua secara otomatis menguasai segala aspek pembangunan di era Otsus.

OAP Bisa Hidup Tanpa Otsus

Rakyat Papua bisa hidup tanpa Otsus jilid 2 dari Jakarta. Para petinggi Jakarta tidak perlu adakan bermacam-macam program sebagai bentuk tawaran dan paksaan untuk lanjutkan Otsus jilid 2 karena buktinya Otsus sudah gagal total di Tanah Papua.

Orang Asli Papua tidak percaya dengan berbagai tawaran dan gula-gula politik dari Jakarta. Mereka juga tidak percaya kepada pemerintah dengan pemberian Otsus. Faktanya menipu dan bohong OAP. Masyarakat juga tidak percaya dengan pemberian dana Otsus yang besar itu karena dengan adanya dana besar, maka pembunuhan, penembakan, kekerasan dan konflik juga akan bertambah dan lebih parah lagi nantinya. Bisa-bisa OAP akan punah dengan pemberian dana besar itu. Orang asli Papua sudah tingkat mual dengan adanya Indonesia di Tanah Papua.

Makanya itu, Presiden Jokowi, para petinggi dan jenderal di Jakarta jangan berpikir ketika tidak adanya Otsus, orang asli Papua bisa mati. Ingat saja bahwa OAP bisa hidup tanpa Otsus dari Jakarta.

Anehnya Jakarta terus memaksakan kebijakan Otsus jilid 2 dan itu dibarengi dengan berbagai ancaman pengiriman aparat keamanan sebagaimana dikemukakan Menkopolhukam Mahfud MD, atau komentar dari DPD RI Perwakilan Papua, Yorrys Raweyai bahwa tumpas separatis OPM dan Indonesia jangan kalah dari OPM atau separatis Papua (Nusantara Post edisi 22 Juli 2020). Komentar macam ini adalah komentar kekanak-kanakan dan pemaksaan kehendak supaya OAP menerima Otsus jilid 2. Padahal OAP bisa hidup tanpa Otsus jilid 2. Untuk apa adanya pemaksaan Otsus jilid 2 dari Jakarta?

Para petinggi Jakarta harus ingat dan camkan bahwa OAP bisa makan tanpa Otsus jilid 2. OAP juga bisa minum tanpa Otsus. Bahkan OAP bisa hidup dari hasil olah tanah dan berkebun. OAP bisa cari ikan di laut, di danau dan sungai untuk bisa hidupi keluarga tanpa Otsus jilid 2.

OAP menolak dengan tegas kebijakan pemerintah memperpanjang Otsus di Tanah Papua. Otsus bukan yang dikehendaki OAP. Saat ini OAP mau hidup sendiri tanpa adanya Indonesia di tanah air West Papua. OAP sudah tidak percaya Indonesia duduki di tanah kaya raya ini. OAP mual dengan keberadaan Indonesia di Tanah Papua. Biarkanlah OAP merasakan udara kebebasan dari pendudukan Indonesia. Makanya itu OAP meminta hak penentuan nasib sendiri dari tanah air sendiri di West Papua. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP Himbau Rakyat Papua Peringati 1 Mei Dengan Aksi Serentak

0
“ULMWP sebagai wadah koordinatif gerakan rakyat, siap bertanggung jawab penuh atas semua rangkaian aksi yang dilakukan dalam bentuk apa pun di hadapkan kolonialisme Indonesia dan dunia Internasional.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.