LBH Papua: PT Freeport Wajib Hargai 8.300 Buruh

0
1754

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Manajemen PT Freeport Indonesia didesak segera menghargai 8.300 buruh yang melakukan mogok kerja sejak empat tahun lalu.

Desakan ini disampaikan Lembaga Bantuan Hukum Papua selaku kuasa hukum bagi 8.300 buruh PT. Freeport Indonesia, Senin (12/4/2021) dalam konferensi pers di Jayapura.

“Pimpinan Presiden dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C. Anderson dan manajemen PT Freeport Indonesia wajib menghargai perjuangan mogok kerja dari para buruh sesuai ketentuan pasal 137 ayat (1), Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan menjalankan Surat Dinas Tenaga Kerja nomor 560/1455/2019 perihal Nota Pemeriksaan I tertanggal 16 Desember 2019 dengan cara memberikan upah dan mempekerjakan kembali 8.300 buruh PT Freeport Indonesia,” ujar Emanuel Gobai, direktur LBH Papua, Senin (12/4/2021).

Hal sama disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Tenaga Kerja yang ditegaskan agar harus memerintahkan manajemen PT Freeport Indonesia untuk menjalankan perintah Surat Dinas Tenaga Kerja nomor 560/1455/2019 perihal Nota Pemeriksaan I tertanggal 16 Desember 2019 dengan cara memberikan upah dan mempekerjakan kembali 8.300 buruh PT Freeport Indonesia.

Kuasa hukum juga menyampaikan tuntutan kepada pemerintah provinsi Papua.

ads

“Gubernur provinsi Papua melalui Dinas Perindustrian, Koperasi dan Ketenagakerjaan provinsi Papua segera perintahkan manajemen PT Freeport Indonesia untuk menjalankan perintah Surat Dinas Tenaga Kerja nomor 560/1455/2019 perihal Nota Pemeriksaan I tertanggal 16 Desember 2019 dengan cara memberikan upah dan mempekerjakan kembali 8.300 buruh itu,” ujarnya.

Baca Juga:  Velix Vernando Wanggai Pimpin Asosiasi Kepala Daerah se-Tanah Papua

LBH Papua juga meminta ketua Komnas HAM RI dan kepala kantor Komnas HAM RI Perwakilan Papua segera tindaklanjut dugaan pelanggaran hak hidup buruh yang telah diadukan dan terdaftar dalam dalam Surat Tanda Penerimaan Pengaduan nomor 037/STTP-HAM/VIII/2020 tertanggal 11 Agustus 2020.

Diketahui, Freeport McMoRan and Gold Copper Ing adalah perusahaan tambang pertama di Indonesia yang menandatangani perjanjian pada 7 April 1967 pasca diberlakukan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan yang beroperasi di Tanah Papua.

Sekalipun penandatangannya menggunakan kedua ketentuan hukum tersebut, tulis LBH Papua dalam siaran pers, secara hukum penandatanganan kontrak karya pemerintah dan PT Freeport Indonesia menyimpan sejuta pertanyaan sebab penandatangannya dilakukan sebelum pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969.

Tanpa melibatkan masyarakat adat Papua sebagai pemilik tanah adat Papua di atas fakta pada saat itu pengakuan terhadap hak ulayat telah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

Baca Juga:  Atasi Konflik Papua, JDP Desak Pemerintah Buka Ruang Dialog

Berbagai persoalan hukum yang mewarnai penandatangan kontrak karya pertama antara pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia, pada perkembangannya selama 54 tahun PT Freeport Indonesia di Tanah Papua menunjukan sikap yang kebal hukum dan tidak menghargai hak-hak buruh yang dijamin dalam peraturan hukum yang berlaku di Indonesia sebagaimana terlihat dalam kasus nasib 8.300 buruh mogok kerja PT Freeport Indonesia yang telah melakukan mogok sejak tanggal 1 Mei 2017.

“Perjuangan mogok kerja yang dilakukan oleh 8.300 buruh PT Freeport Indonesia sejak tanggal 1 Mei 2017 sampai sekarang (2021) diakibatkan karena PT Freeport Indonesia memberlakukan kebijakan Furlough secara sepihak kepada buruh PT Freeport Indonesia pasca pemerintah mengeluarkan dan mengesahkan PP nomor 1 tahun 2017 tentang perubahan keempat atas peraturan pemerintah nomor 23 tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara dimana melalui Kontrak Karya (KK) diubah menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang mempengaruhi produksi PT Freeport, sehingga Freeport mengeluarkan program fourloght,” bebernya.

LBH menyatakan kebijakan Furlough tidak diakui dalam UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal itu dikuatkan oleh Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Perumahan Rakyat kabupaten Mimika sebagaimana dalam surat nomor 560/800/2017 perihal furlough dan penetapan mogok kerja PUK SP KEP SPSI PT FI tertanggal 28 Agustus 2017.

Baca Juga:  Akomodir Aspirasi OAP Melalui John NR Gobai, Jokowi Revisi PP 96/2021

Di tempat yang berbeda, pada saat demonstrasi menolak kontrak kerja PT. Freport pada 7 April 2021, ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cenderawasih, Yops Itlay juga menyampikan beberapa hal mendasar untuk menolak dengan tegas berlanjutnya kontrak kerja PT Freport di Tanah Papua.

“Pada kesempatan ini mewakili masyarakat Papua, kami mahasiswa Papua dengan tegas mendesak kepada pemerintah provinsi Papua dan pemerintah pusat segera hentikan kontrak kerja Freeport di Tanah Papua,” ujar Itlay.

Ketua BEM Uncen menegaskan, desakan ini mengingat dampak luar biasa yang dihadapi rakyat Papua terutama suku Amungme dan Kamoro serta beberapa suku kerabat di sekitar kawasan konsesi PT Freeport.

“Selama bertahun-tahun rakyat Papua tidak mendapat manfaat positif, justru banyak dampak negatifnya. Masalah bertambah lagi dengan tidak terselesainya aksi mogok kerja yang dilakukan oleh mantan karyawan Freeport yang diberhentikan akibat berbenturan dengan aturan baru dari manajemen Freeport,” bebernya.

Pewarta: Hendrik Rewapatara
Editor: Markus You

Artikel sebelumnyaKOMEE Berkomitmen Mewadahi Potensi Generasi Muda
Artikel berikutnyaSurat Gembala Dewan Gereja Papua 2 April 2021