PolhukamHAMSalah Apa Warga Sipil di Intan Jaya Korban Tembak Sembarang?

Salah Apa Warga Sipil di Intan Jaya Korban Tembak Sembarang?

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Komunitas Mahasiswa Independen Somatua Intan Jaya (KOMISI) mengutuk oknum TNI dan Polri yang masih terus mengorbankan warga sipil selama dua tahun terakhir.

KOMISI juga mendesak negara bersama institusi militer segera bertanggungjawab terhadap kasus penembakan warga sipil tak bersalah di kabupaten Intan Jaya.

Ferry Belau, ketua KOMISI, menyayangkan kian gemarnya petinggi institusi militer Indonesia menyampaikan ucapan minta maaf setelah anggotanya menembak warga sipil Papua.

“TNI dan Polri stop membiasakan diri dengan ucapan minta maaf. Ucapan minta maaf itu selalu dipakai oleh pihak keamanan dalam setiap kali menembak warga sipil di Papua. Semua orang tidak terima dengan cara begini. Stop tembak-tembak sembarang,” ujarnya kepada wartawan di Kota Jayapura, Minggu (14/11/2021).

Ferry juga mengutuk tindakan sewenang-wenang aparat keamanan menembak dua anak di Intan Jaya, Nopelinus Sondegau (2) yang meninggal dunia, Yoakim Majau (6) sedang rawat di rumah sakit. Kemudian, Apolo Belau (26) masih dirawat di RSUD Nabire, dan Agustina Ondou (24) masih dirawat di rumah sakit Charitas Timika.

Baca Juga:  Tolak PSN, Transmigrasi dan Semua Kebijakan Kolonial Bergema di Sulawesi Utara

“Mengapa selalu warga sipil yang korban? Apa salah mereka? Kami dari KOMISI Somatua minta pihak TNI/Polri segera bertanggungjawab atas penembakan orang yang tidak bersalah itu. Sudah jelas bukti dan saksi bahwa pelakunya adalah TNI dan Polri,” tegasnya.

Lebih lanjut, pihak terkait diminta segera usut tuntas pelaku penembakan terhadap Agustina Ondou.

“Harus diproses sesuai hukum yang berlaku di negara ini. Kami mendesak, pelaku segera dipecat dan dipenjarakan,” ujar Ferry.

Selain itu, KOMISI mendesak Gubernur Lukas Enembe segera mencabut kembali surat izin operasi PT Mind ID masuk ke kabupaten Intan Jaya untuk eksplorasi Blok B Wabu.

Marion Bagubau, sekretaris KOMISI, menduga masih berlanjutnya konflik bersenjata hingga memakan korban warga sipil itu demi kepentingan eksploitasi tambang emas di Blok B Wabu.

Bagubau menilai pasukan bersenjata makin brutal karena warga sipil pun ditembak tanpa alasan yang jelas.

Solusinya, kata Marion, segera tarik kembali pasukan militer non organik dari seluruh wilayah kabupaten Intan Jaya.

Baca Juga:  Wartawan dan Organisasi Sipil di Papua Tengah Desak Polda Papua Ungkap Pelaku Teror Bom Kantor Jubi

“Semua itu terjadi karena kepentingan Blok B Wabu. Jadi, segera batalkan rencana eksploitasi tambang itu dan tarik militer dari tanah Migani,” tegas Bagubau.

Terpisah, Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, mengatakan, dalam konflik bersenjata antara TPNPB-OPM dan TNI/Polri di Intan Jaya, aparat keamanan diduga menembak dua orang anak, yang satu masih dalam kondisi kritis dan satunya telah meninggal dunia. Kemudian, kasus berikutnya Agustina Ondou ditembak aparat militer.

Sementara, tentang perlindungan anak diatur dalam Undang-undang nomor 35 tahun 2014.

“Kasus ini, kami dengar ada pernyataan maaf dari Kapolres Intan Jaya. Berkaitan dengan jaminan perlindungan dalam konteks hak atas keadilan, apakah dengan minta maaf? Ini kan menunjukkan fakta bahwa perlindungan kepada perempuan dan pemenuhan hak kepada perempuan dan anak ini tidak terlihat,” ujarnya saat dihubungi suarapapua.com, Minggu (14/11/2021).

Hanya dengan permintaan maaf, kata Gobay, berpeluang bagi oknum aparat keamanan mengulangi tindakan yang sama akibat penyalahgunaan senjata api.

Baca Juga:  Dua Jurnalis Muda Australia Berjanji Kampanyekan Papua Merdeka

Emanuel menyatakan, penyalahgunaan senjata api merupakan tindakan melanggar Undang-undang nomor 12 tahun 1951.

“Pertanyaannya adalah aparat kepolisian yang memang bertugas untuk menegakkan hukum, apakah kemudian akan melakukan penegakan hukum untuk memberikan hak atas keadilan perempuan dan anak yang menjadi korban? Karena salah satunya hak atas keadilan tidak mampu diberikan kepada mereka yang menjadi korban-korban itu,” tuturnya.

Gobay juga menilai Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak baik tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota di Tanah Papua tak mampu memberikan jaminan hukum bagi perempuan dan anak, khususnya di daerah-daerah konflik.

“Institusi-institusi yang berwenang untuk melindungi anak dan perempuan, seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak baik provinsi maupun kabupaten/kota, kami menilai selama ini mati. Nah, pertanyaannya, apa saja tugas dari dinas tersebut? Karena fakta yang kami temukan, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terus bertambah,” tandasnya.

Pewarta: Atamus Kepno
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.