DOGIYAI, SUARAPAPUA.com — Masih berlanjutnya pro dan kontra terhadap pembentukan Polres Dogiyai ditanggapi Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia.
Usman menyatakan, pembangunan Polres baru di Dogiyai tidak sesuai dengan riset ilmiah dan kriteria yang ditetapkan dalam peraturan kepala kepolisian Republik Indonesia (Perkapolri).
“Soal pemekaran Polres Dogiyai, harus sesuai dengan riset ilmiah dan cara yang sama, termasuk harus memenuhi kriteria yang ditetapkan Perkapolri,” kata Usman Hamid kepada suarapapua.com, Kamis (26/5/2022).
Menurut Usman, pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi baru akan diikuti dengan pembentukan satuan-satuan teritorial militer yang baru, termasuk markas kepolisian.
“Pemerintah belum melakukan riset ilmiah terkait dengan calon DOB tersebut. Selain itu, pemerintah melakukan pembuatan kebijakan DOB dan pembentukan Polres Dogiyai tanpa persetujuan MRP, tanpa konsultasi dengan rakyat OAP. Seharusnya itu dilakukan atas persetujuan MRP,” ujar Usman.
Terpisah, Benny Goo, koordinator Solidaritas Rakyat Papua (SRP) Dogiyai, menilai pembentukan Polres Dogiyai sebagai bagian dari DOB, tetapi kebijakan tersebut tidak memenuhi kriteria yang termuat dalam Perkapolri nomor 7 tahun 2014 tentang pembentukan dan peningkatan status kewilayahan kesatuan.
“Kelayakan geografis tidak cukup terpenuhi. Jalan Trans Papua yang berjarak 200 Km antara Nabire dan Dogiyai sudah bagus dan teraspal. Tidak seburuk dulu, di mana jalan agak terjal dan jurang, sehingga meski jarak waktu tempuh hanya membutuhkan lima jam, tugas kepolisian tetap dapat berjalan dibawah kendali Polres Nabire,” bebernya.
Pewarta: Yance Agapa
Editor: Markus You