Rilis PersRencana Kebijakan DOB Berpotensi Menciptakan Konflik Sosial di Papua

Rencana Kebijakan DOB Berpotensi Menciptakan Konflik Sosial di Papua

Siaran Pers Solidaritas Organisasi Sipil Untuk Tanah Papua Nomor: 001/SP-SOS-Papua/VI/2022

“Presiden Republik Indonesia segera batalkan kebijakan DOB Papua yang telah menimbulkan pro kontra dalam masyarakat Papua demi meredam konflik sosial sesuai perintah Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012”

Secara yuridis konflik sosial bersumber dari: a). permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya; b). perseteruan antarumat beragama dan atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis; c). sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi; d). sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha; atau e). distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat, sebagaimana diatur pada Pasal 5 UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Dengan melihat sikap pemerintah pusat mewacanakan kebijakan DOB Papua dan selanjutnya Pansus DPR RI menggunakan hak inisiatif mengusulkan kebijakan DOB Papua telah melahirkan jurang lebar di tengah-tengah masyarakat Papua menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang menolak DOB Papua dan kelompok yang menerima DOB Papua. Selanjutnya dalam rangka mendorong pandangan masyarakat Papua dari kedua kelompok diatas, dilakukan caranya masing-masing mulai dengan cara menggunakan kebebasan demokrasi yang dijamin dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, dan juga melakukan lobby-lobby politik hingga menggugat ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Berdasarkan fakta yang ditemukan dalam memperjuangkan isu menerima ataupun menolak juga telah menuai beberapa fakta pelanggaran HAM seperti pelanggaran hak berdemonstrasi, bebas dari segala bentuk tindakan kekerasan dan bahkan ada hak hidup yang terlanggar. Sekalipun faktanya demikian, Pemerintah Pusat terus merumuskan kebijakan DOB dengan dasar ada dukungan dari beberapa elit politik Papua.

Sikap pemerintah pusat yang terus mendorong kebijakan DOB tanpa melihat perpecahan dalam masyarakat serta melihat fakta pelanggaran hukum dan HAM yang dialami oleh masyarakat Papua sangat dikhawatirkan akan memicu konflik sosial antara kelompok yang menolak kebijakan DOB dan kelompok menerima kebijakan DOB, sebab sesuai dengan penegasan penyebab konflik sosial diatas salah satunya adalah permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya serta sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi.

Untuk diketahui bahwa potensi konflik sosial sudah terlihat melalui fakta adanya gelombang aksi demonstrasi yang terus dilakukan oleh masyarakat Papua yang menolak kebijakan DOB sebagaimana yang ditunjukan dalam aksi damai yang akan digelar pada tanggal 3 Juni 2022 di beberapa kota besar di Tanah Papua dan di sisi lain terlihat adanya beberapa kegiatan yang juga dilakukan oleh kelompok yang menerima kebijakan DOB dengan cara menggelar kegiatan deklarasi dengan mengusung salah satu sikapnya adalah kesetiaan kepada NKRI, mendukung otonomi khusus jilid II dan DOB tiga provinsi di Tanah Papua pada tanggal 1 Juni 2022 di Wamena (Baca: https://tni.mil.id/view-214436-peringati-lahirnya-pancasila-tni-polri-bantu-lma-se-papua-dan-masyarakat-adat-papua-deklarasikan-papua-damai.html).

Baca Juga:  Seruan dan Himbauan ULMWP, Markus Haluk: Tidak Benar!

Selain itu, terlihat melalui fakta pernyataan seorang tokoh masyarakat di Kabupaten Mimika atas dasar keputusan penetapan ibu kota Provinsi Papua Tengah di Nabire mengancam masyarakat Suku Mee di Timika. Untuk menghindari ancaman tersebut, maka Kepala Suku Mee di Timika mengimbau kepada seluruh orang Mee di Timika dengan 3 tiga poin penting: 1). Mama-mama tidak menjual barang-barang setiap hari Minggu di pasar. 2). Isu-isu yang sedang beredar dari suku lain, masyarakat Mee tidak boleh tanggapi. Ini masalah pemerintah, bukan masalah orang Mee di Timika, dan 3). Bulan ini bulan puasa Papua dan Papua Barat, jadi khusus suku Mee di Timika batasi kegiatan besar atau kecil yang menciptakan konflik. Semua kita fokus doa puasa sampai 30 Juli 2022. Keputusan ini disepakati oleh kepada suku Mee di Timika dan diimbaukan kepada seluruh orang Mee di Timika untuk ditaaati, (Baca: https://www.detikpapua.com/2022/06/26/ini-himbahuan-kepala-suku-mee-paniai-di-timika/).

Pada prinsipnya melalui beberapa fakta diatas telah jelas menunjukkan fakta perumusan rencana kebijakan DOB di Papua telah memicu potensi konflik sosial di Papua. Fakta itu sepertinya dilihat juga oleh pihak Kepolisian Daerah (Polda) Papua, sehingga Polda Papua mengimbau siaga jelang sidang pleno penetapan daerah otonomi baru (DOB) di Provinsi Papua oleh DPR RI. Pasukan Brigade Mobile (Brimob) Nusantara pun siap diterjunkan untuk mengantisipasi penolakan dari kelompok masyarakat di daerah itu. Kapolda Papua Irjen Pol Mathius D Fakhiri mengaku telah meminta bantuan dari Mabes Polri untuk menerjunkan personel Brimob Nusantara ke Papua. Mereka nantinya ditempatkan di 29 kabupaten/kota di Papua. “Itu kita lakukan untuk mencegah adanya penumpang gelap yang mengatasnamakan DOB untuk membuat kericuhan di Papua,” ujar Fakhiri, Rabu (22/6/2022), (Baca: https://www.merdeka.com/peristiwa/jelang-penetapan-dob-polda-papua-siagakan-personel-brimob.html). Sebagai jawabannya, Mabes Polri telah mengirimkan lima kompi Brimob Nusantara menjelang disahkannya Rancangan Undang-Undang Daerah Otonom Baru (RUU DOB) Papua. UU DOB Papua dijadwalkan disahkan pada 30 Juni mendatang. “Lima kompi Brimob Nusantara yang berasal dari Mabes Polri, Polda Sumatra Utara dan Polda Riau sudah ditempatkan di Wamena, Nabire, dan Jayapura,” kata Karo Ops Polda Papua Kombes Wijatmika, (Baca: https://www.republika.co.id/berita/re30u9436/mabes-polri-bko-lima-kompi-brimob-jelang-penetapan-uu-dob-papua).

Baca Juga:  F-MRPAM Kutuk Tindakan Kekerasan Aparat Terhadap Massa Aksi di Jayapura 

Berkaitan rencana pengesahan kebijakan DOB Papua yang akan dilakukan pada tanggal 30 Juni 2022 dipertanyakan dasar hukumnya, sebab UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang memberikan kewenangan atribusi (pemberian kewenangan menjalankan pemerintahan oleh pembentuk undang-undang kepada suatu organ pemerintahan) kepada DPR RI untuk merumuskan kebijakan DOB di Papua masih dalam tahapan Uji Materil di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Atas dasar itu yang dikhawatirkan adalah informasi rencana pengesahan yang digembar-gemborkan oleh Anggota DPR RI justru akan semakin meruncing konflik sosial di tengah masyarakat Papua.

Berdasarkan fakta perumusan kebijakan DOB Papua yang telah sukses menciptakan dua kelompok yang dapat berpotensi konflik sosial semestinya ditangani menggunakan pendekatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Untuk diketahui bahwa pengertian penanganan konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik sebagaimana diatur pada pasal 1 angka 2 UU Nomor 7 Tahun 2012. Berkaitan dengan penanganan sebelum terjadi konflik sosial, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat diwajibkan untuk melakukan beberapa upaya seperti: a). memelihara kondisi damai dalam masyarakat; b). mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai; c). meredam potensi konflik; dan d). membangun sistem peringatan dini sebagaimana diatur pada Pasal 6 UU Nomor 7 Tahun 2012.

Berdasarkan pada ketentuan upaya pencegahan adalah meredam potensi konflik, maka sudah sewajibnya pembahasan rencana kebijakan DOB Papua yang diusung secara sepihak oleh DPR RI menggunakan hak inisiatif tanpa mengambil pendapat masyarakat sesuai ketentuan: “Pembentukan daerah provinsi dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan selanjutnya akan dijadikan dokumen aspirasi Masyarakat” (Pasal 14 huruf a dan huruf d angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah) karena telah berujung pada terpecahnya masyarakat Papua ke dalam dua kelompok baik kelompok yang menolak DOB maupun kelompok menerima DOB yang sangat rentan memicu konflik sosial harus dihentikan untuk menghindari terjadinya konflik sosial yang berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan dasar menimbang terbentuknya UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial adalah “perseteruan dan/atau benturan antarkelompok masyarakat dapat menimbulkan konflik sosial yang mengakibatkan terganggunya stabilitas nasional dan terhambatnya pembangunan nasional”, sehingga sudah sepantasnya Pemerintah Pusat menghentikan pembahasan rencana kebijakan DOB Papua yang merupakan dasar pro kontra masyarakat Papua karena dikhawatirkan akan menuai konflik sosial.

Baca Juga:  Perusahaan HTI PT Merauke RJ di Boven Digoel Diduga Melakukan Tindakan Melawan Hukum

Dengan berdasarkan uraian diatas, maka Solidaritas Organisasi Sipil Untuk Tanah Papua menggunakan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 101 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menegaskan kepada:

  1. Presiden Republik Indonesia segera batalkan kebijakan DOB Papua yang telah menimbulkan pro kontra dalam masyarakat Papua demi meredam konflik sosial sesuai perintah Pasal 6 huruf c UU Nomor 7 Tahun 2012;
  1. Ketua DPR RI segera hentikan Tim Pansus Perumusan Kebijakan DOB Papua yang telah menimbulkan pro kontra dalam masyarakat Papua demi meredam konflik sosial sesuai perintah Pasal 6 huruf c UU Nomor 7 Tahun 2012;
  2. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia segera menegakkan UU Nomor 7 Tahun 2012 dalam pro kontra kebijakan DOB di Papua;
  3. Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat segera menjalankan perintah Pasal 6 UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dalam pro kontra kebijakan DOB di Papua.
  4. Tokoh masyarakat Papua dilarang terlibat aktif dalam menciptakan potensi konflik sosial dalam pro kontra kebijakan DOB Papua.

Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.

Jayapura, 28 Juni 2022

Hormat Kami

Solidaritas Organisasi Sipil (SOS) Untuk Papua

Berikut nama-nama organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Organisasi Sipil (SOS) Untuk Papua yang menyatakan sikap dalam Siaran Pers:

  1. Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua)
  2. JERAT Papua
  3. KPKC Sinode GKI di Tanah Papua
  4. YALI Papua
  5. PAHAM Papua
  6. UKM Demokrasi HAM dan Lingkungan Uncen
  7. AMAN Sorong
  8. WALHI Papua
  9. Teraju Foundation
  10. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

Narahubung: 082199507613 (Koordinator SOS Untuk Papua)

 

Terkini

Populer Minggu Ini:

AMAN Sorong Malamoi Gelar Musdat III di Wonosobo

0
“Kita harus berkomitmen untuk jaga dan lindungi tanah adat untuk keberlanjutan hidup generasi kita,” kata Yulius kepada suarapapua.com pada 30 April 2024.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.