Rilis PersF-MRPAM Kutuk Tindakan Kekerasan Aparat Terhadap Massa Aksi di Jayapura 

F-MRPAM Kutuk Tindakan Kekerasan Aparat Terhadap Massa Aksi di Jayapura 

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Front Mahasiswa dan Rakyat Papua Anti Militerisme (F-MRPAM) kutuk tindakan aparat kepolisian yang membatasi ruang demokrasi untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Khususnya yang terjadi pada, Selasa (2/4/2024) di Sentani, Perumnas III Waena, dan kampus USTJ, Kota Jayapra, Provinsi Papua.

“Kami yang tergabung dalam Front Mahasiswa dan Rakyat Papua Anti Militerisme kutuk sikap aparat kepolisian dari Polresta Kota Jayapura yang menghalangi kami menyampaikan pendapat di muka umum,” kata Ones Suhuniap, Penanggung jawab umum aksi tersebut.

Aksi demo tersebut dilakukan F-MRPAM buntut dari penganiayaan warga Papua di Puncak Papua yang diduga dilakukan oleh oknum aparat TNI, yang viral di media sosial 21 Maret 2024.

Ones mengaku, aparat kepolisian dengan peralatan lengkap telah bertindak represif kepada massa aksi di Perumnas III Waena yang melukai 6 orang yang dan ada yang dilarikan ke rumah sakit. Serupa juga kepada massa aksi yang berkumpul di depan kampus Universitas Sains dan Teknologi Jayapura.

Kata Ones, dalam aksi pembubaran massa aksi demo damai ini, khususnya di Perumnas III Waena dan USTJ tidak mengedepankan pendekatan humanis dan dialogis terhadap massa aksi. Tetapi aparat langsung melakukan pembubaran paksa dengan menyemprotkan gas air mata.

Baca Juga:  ULMWP Himbau Rakyat Papua Peringati 1 Mei Dengan Aksi Serentak

“Ini sikap aparat kepolisian yang mencerminkan bahwa aparat kepolisian di daerah Papua anti terhadap demokrasi dan anti terhadap hak asasi manusia,” tukas Ones.

Ungkap Ones, dalam video aksi massa aksi terlihat jelas bahwa tidak bertentangan dengan UU No.9 Tahun 1998 dan peraturan Kapolri tentang  Pedoman Pengendalian Massa (Protap Dalmas).

Bahkan, Protap justru menegaskan  anggota satuan dalmas dilarang bersikap arogan dan terpancing perilaku massa. Protap jelas melarang anggota satuan dalmas melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur dan adapun kewajiban lain bahwa harus menghormati HAM setiap para demonstran.

“Hak konstitusional atau hak demokrasi yang dijamin oleh konstitusi untuk semua orang termasuk hak demokrasi orang Papua dibungkam dan dirampas oleh aparat negara Indonesia dengan dalil keamanan dan ketertiban umum.”

“Ada diskriminasi terhadap hak demokrasi orang asli Papua. Perlakuan polisi menghadapi demonstrasi di Papua dan di luar Papua sangat diskriminatif. Polisi selalu menuduh orang Papua yang demo dengan tindakan anarkis – mengganggu ketertiban umum dan meresahkan masyarakat.”

Baca Juga:  Mahasiswa Papua di Sulut Desak Komnas HAM RI Investigasi Kasus Penganiayaan di Puncak

Buktinya, kata Ones, aparat membubarkan paksa massa aksi secara brutal di Perumnas III Waena dan USTJ. Di mana 7 orang massa aksi mendapat penganiayaan. Satu orang atas nama Edison Tebay dilarikan ke rumah sakit, 2 orang lainnya mengalami luka-luka serius.

Mereka yang mengalami luka-luka adalah Edison Tebay, Sony Douw, Eman Tekege,  Lupiser, Yonas Makay, Eunige Walilo dan Habel Fauwok.

Pembubaran paksa itu kata Ones polisi berdalil karena massa aksi tidak mengantongi ijin melakukan aksi. Menurut Ones, hal tersebut bertentangan dengan UU

Tindakan polisi yang anarkis dengan dalil tidak ada surat ijin bertentangan dengan dengan undang -undang No. 9 Tahun 1998 tentang hak menyampaikan pendapat di muka umum.

Karena menurut undang -undang setiap kegiatan masyarakat hanya diwajibkan untuk melayangkan surat pemberitahuan kepada kepolisian bukan surat izin. Makna surat ijin dan pemberitahuan itu beda esensinya.

Kepolisian cukup mengetahui setiap kegiatan masyarakat melalui surat pemberitahuan dan kewajiban kepolisian untuk mengawasi melindungi dan mengarahkan jalannya setiap kegiatan masyarakat, termasuk demonstrasi damai.

Baca Juga:  PTFI Bina Pengusaha Muda Papua Melalui Papuan Bridge Program
Salah satu massa aksi yang mendapat penganiaya di bagian kepala. (Ist -SP)

Tugas kepolisian bukan membubarkan paksa dengan tindakan brutal hingga massa aksi terluka.

Penggunaan gas air mata dan melakukan penembakan peluru karet ke arah massa aksi sudah melanggar poin-poin UU kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum./

“Oleh sebab itu kami sangat menyesalkan tindakan aparat Polres Jayapura yang membubarkan paksa massa aksi.”

Ones mengakui, sebelumnya pada 31 Maret 2024 saat melayangkan surat pemberitahuan ke Polresta Kota Jayapura telah bersepakat bahwa massa aksi kurang dari jumlah yang ditentukan akan diantar menggunakan kendaraan ke kantor DPR Papua, namun faktanya massa dihadang dan dibubarkan.

Oleh sebab itu kata Ones, Polda Papua harus memberikan teguran kepada Kapolresta Jayapura yang anti terhadap demokrasi.

“Kami kutuk tindakan anarkis dan brutal yang dilakukan kepolisian kota dan Polres Kabupaten Jayapura terhadap massa aksi.”

“Kami juga minta kembalikan segera barang-barang milik kami yang disita pihak kepolisian dari Polres kabupaten Jayapura.”

Terkini

Populer Minggu Ini:

Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Forum Komunikasi Lintas Suku Asli Tambrauw mengingatkan pengurus partai politik di kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, untuk transparan dalam tahapan pendaftaran...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.